Jari-jari lentikku terlalu sibuk memencet keyboard laptop. Memaksaku membuat tugas essay dari guru yang cukup menyiksa. 'Aku tidak suka menulis. Oh, ayolah ini segera berakhir'. Aku stagnan dan baru dapat satu paragraf awal. Hmm.. tak ada ide.
Aku masih terus mengetik, sebenarnya pura-pura mengetik, karena ada yang lebih menarik disimak. Siang ini gadis cantik, berambut lurus sebahu, bernama Sonya menginterogasi seorang teman prianya.
"Kau kan yang ngasih surat, coklat sama bunga di mejaq. Udah deh ga usah sok misterius, ngaku aja."
Dan si pria langsung mengangguk. Kini si gadis malah semakin bingung. Mukanya tertekuk.
Ini adalah kali ketiga dia menanyai teman prianya satu persatu. Lebih tepatnya memaksa si pria mengaku. Terang saja semua pria itu malah jadi mengaku sebagai 'pria misterius penggemar si gadis.' Aku tak sengaja mengikuti cerita ini, karena Sonya selalu memilih tempat yang sama saat menginterogasi. Perpustakaan. Tepat 2 meja arah jam 9 dari tempatku (selalu) berada.
Sonya ternyata juga menyadari keberadaanku, karena setelah si pria ketiga pergi dia mendekati mejaku. "Siapa namamu?" tanyanya ketus.
"Rana."
"Jangan ceritakan ke siapa-siapa ya. Terutama teman2q. Jangan sampai mereka tahu, mereka tidak membantu. Sepertinya kau bisa dipercaya. Kalau teman2q sampai tahu, awas kau. Kutandai kau ya."
Aku hanya mengangguk. Dia sudah beringsut sambil mengibaskan rambutnya yg hitam mengkilat dan lembut. Tetiba aku ingin menyampaikan ini, kepadanya:
"Hey, namamu Sonya kan? Pria kedua. Dia adalah pria misteriusmu."
Dia tertegun sejenak "Kau serius? Darimana kau tahu.. Jangan2 kau bersekongkol dengannya untuk menjebakq?! Bisa kau buktikan?! hee!"
"Yaaah, hanya jika kau percaya padaku. Cari tahu sendiri kalau kau tidak percaya."
. . . . .
Dua minggu kemudian, aku masih di meja yang sama. Kali ini mengerjakan r-e-v-i-s-i essay. hmmmff.. Oh God, sampai kapan ini akan berakhir..
Aku sedang sibuk2nya, ngebut 5 paragraf terakhir essay. Dua hari lalu sudah kubuang jauh2 idealismeku, dan membuat essay sesuai "selera" guruku.
Lalu...
"Heey,, Rana.. Gokil lho!!"
Si Sonya berteriak didepanku, wajahnya bersinar girang. Dan cantik. "Anyway, thanks ya.. berkat saran kau, sekarang aq jadian sama Indra. Gokil kau bisa tebak dengan benar. Kok bisa c? Aq tanya Indra dia ga kenal samsek sama kau. Jangan-jangan kau yg kepoin Indra ya? penggemar beratnya ya.. haaa!!?
Mmm... apa jangan2 kau ini.. cenayang??? kasih tahu rahasianya? kamu kepoin aku ya?
Wait.. wait.. plis.. jangan bilang kamu punya kemampuan aneh itu. Tunggu dulu.. mereka nyebutnya apa.. I.N.D.I.G.O??"
. . . . .
Berita mengenai aku dan dugaan aku indigo tersebar luas. Gara2 si cantik Sonya. Awalnya aku tidak terima. Beberapa teman agak menjauhiku. Bahkan ada yang sengaja menghindar tatapan muka jika bertemu. Hanya Kania satu2nya orang yang kupercaya.
"... aku tetep nggak percaya Ran, apapun kata mereka. Kamu bisa tetap mengandalkanku dan mempercayaiku."
"Iya Kan, makasih." (makasih sudah mau mempercayaiku, meskipun perkataan Sonya ada benarnya).
. . . . .
Aku memang tidak sepenuhnya jujur, aku tidak sekedar menebak pria misteriusnya Sonya, seperti ceritaku kepada teman2.
Aku diam2 melakukan riset, tanpa Sonya tahu, hanya dengan duduk didepan laptopku dan mendengarkan percakapan dia dg ketiga prianya. Aku "membaca" mereka.
Hal serupa juga kulakukan kepada guru Bahasa Indonesiaku, terkait essay.
Aku menyelidiki kecil2an kebiasaannya. Trauma di masa lalunya. Dia seorang guru, single parent, penikmat musik jazz, hobby memasak, dan penyuka traveling.
Cukup mudah membuatnya tersentuh jika aku mengambil essay yang beririsan dengan pengalaman hidupnya. 'Pengkhianatan dalam sebuah hubungan rumah tangga.' Kurang lebih begitu temanya. Setidaknya itu yang dia percaya. Dia (merasa) sebagai korban. Dia trauma. Peristiwa itu mengubahnya menjadi pribadi yg tidak mudah percaya kepada orang. Hmm.. cerita yang merefleksikan diri si pembaca mungkin akan menyentuh di awal tetapi ujungnya akan menjadi sulit diselesaikan.
Bisa2 aku diajaknya berlama2 menulis essay ini, hanya untuk memuaskan perspektifnya, mencari pembenaran atas keputusan dirinya, menjadi tempat curhatnya atau apalah.
Akhirnya kuputuskan mengganti topik essay menjadi "traveling". Traveling adalah obat saat ia bersedih.
Sonya benar soal aku punya kemampuan berbeda. Jelas bukan indigo. Sebenarnya aku tidak tahu apa namanya, pokoknya aku mudah "membaca" orang.
Aku adalah salah satu dari 7 murid di sekolah yang tidak pernah mengikuti remedial. Sejak pertama masuk, sampai kelas 3 semester 1 ini. Aku selalu menggunakan strategi "probabilitas". Asal sekolah masih menggunakan "standar deviasi" dalam menyaring siswanya yang remedial.
Untuk bisa lolos dari remedial aku harus menjadi salah satu dari 33% siswa dengan nilai tertinggi. Dari soal2 yang meragukan aku harus menargetkan 60-70% jawabanku kira2 sama dengan jawaban terbanyak teman2ku. Tentunya selama sekolah aku sudah mengetahui karakter dan pola pikir mereka. Dengan asumsi 30% dari mereka menjawab soal secara random.
Selain itu, untuk lulus ujiam, aku harus tahu hal2 penting tentang guruku. Aku harus tahu apa yang mereka sukai. Asal mereka menjadi penilai ujianku, dipastikan aku (selalu) lulus ujian.
Dan mereka yang tidak menyadari tipuanku, akan bilang bahwa aku pintar.
. . . . .
Selama satu bulan rumor itu tersebar, dan pada bulan2 berikutnya, aku menjadi kebanjiran klien. Ada yang meminta saranku bagaimana cara menang lomba essay dimana jurinya adalah wali kelasku, ada yang ingin saran lulus setiap ujian, tetapi sebagian besar meminta saranku tentang masalah cinta, memahami pasangannya. Zzzzz.. Sulit.
Bahkan di suatu siang, saat aku sudah selesai mengemasi laptopku dan bergegas pulang. Seorang guru Bahasa Inggris menghampiriku.
"Rana, bisakah kali ini aku menikah dengannya?" kata si guru yang sudah berusia.. ehm.. hampir kepala 4, sambil menyodorkan foto seorang lelaki kepadaku.
Atau pengalaman ekstrim lain. Seorang adek kelas, super atletis, flower boy, anak mama mendatangiku. "Bisakah kau beri tahu aku kak, apa yang disukai gebetanku ini, aku ingin memberinya kejutan."
"....siapa namanya?"
Daaan.. dia menunjuk.. aku." zzzzzzzzzzzzz.....
. . . . .
Di usiaku yang ke 22 aku bertemu dengannya.
Awal pertemuan adalah di tempat yang sangat tidak romantis. Angkringan.
Petang itu gerimis, aku pulang kuliah. Lapar.. Aku mampir disebuah angkringan. Ibu pedagang baru saja membuka dagangannya.
Aku mengambil (beberapa) bungkus nasi, lauk, memesan susu coklat hangat untuk dibawa pulang. Sialnya si ibu lupa membawa gula. Dia pamit membeli gula, duh aku keburu lapar. Mana gerimis lagi.
Ditengah2 kelaparan, aku melihat dia. Tegap, gagah, tinggi, berbaju necis. Hhaha.. aku sempat berpikir, masnya salah kostum untuk ukuran makan (hanya) di angkringan.
Selama sekian menit perut kosong plus pikiran ikut kosong, imajinasiku masih tertuju pada pria necis itu. Tetiba aku ingat perkataan Kania. "Kalo kamu liat pria necis di angkringan kemungkinannya cuma 3: pegawai yg lagi ngirit, penagih utang, atau intelijen." Hhaha.. aku makin geli membayangkan kemungkinan ketiga. Pria begini, datang ke angkringan yang sangat biasa begini, mau cari2 informasi rahasia?
Duuh, ibunya lama sekali. Aku keburu lapar. Kuputuskan makan di tempat. Saat bungkus kedua aku buka, pria muda itu membuka percakapan dengan bapak disebelahnya. Seorang pria yang kutebak sebagai tukang ojek atau tukang becak. Si pria muda bertanya acak. Yang bisa kusimpulkan mereka sudah kenal lama.
Aku mulai mengikuti alur pembicaraan mereka. Acak, sangat acak pertanyaan si pria muda ini. Bungkus nasi ketiga aku buka dan kembali aku mendengarnya.. dia menyebut angka2.. tahun.. Si pria membuatnya seolah membicarakan tentang tahun, tetapi anehnya angka2 itu berpola. Iseng aku ambil hape, browsing kode2 kepolisian/ militer. Tapi tidak membantu.
20 menit disitu dan aku tahu si pria muda adalah semacam intelijen. Si tukang ojek adalah informan. Dan si pemilik angkringan adalah informan lainnya. Wow. Angkringan ini tiba2 menjadi sangat menarik.
Bulan berikutnya aku sering menyambangi angkringan itu, dan dimulailah perkenalanku dengan si pria muda.
Dan segala hal takdinyana yang menimpaku setelahnya, memaksaku untuk (harus) semakin mengenalnya.
Dialah Rendra.
FLASHBACK SELESAI...
. . . . .
Rendra datang ke kamar berjeruji besi tempat tinggalku selama hampir 10 bulan ini. Di malam sebelum hari eksekusiku, Sebulan pasca aku melahirkan anak keduaku.
Tap..tap..tap..
Suara derap langkah bersepatu memecah keheningan, membuyarkan keteganganku membayangkan hari eksekusi.
Rendra datang. "Rana, aku minta bantuanmu. Jika kamu bisa membantu (kami). Kamu akan dibebaskan dari hukuman."
Aku terdiam.
Rendra melanjutkan. "Aku membutuhkan kemampuanmu. Tolong (kami) mencari tahu siapa mata-mata di sini. Siapa pengkhianat yang berani bercokol di bawah hidung pemerintah ini."
Hmmm... Aku tahu. Aku sudah mencium kebusukan ini. Aku tahu sebenarnya keberadaan Rendra terancam akan hal ini.
Aku masih terdiam. Tatapan Rendra yang dalam, memaksaku mengingat kenangan kami.
Lalu, aku mengangguk perlahan.
Bersambung
Minggu, 24 April 2016
Jumat, 26 Februari 2016
Anak lelaki yang Sok Pahlawan
"Selamat siang Pak Darmawan, silakan duduk." Sang kepala sekolah mempersilakan pria itu duduk. Suasana di ruang kepala sekolah cukup menegangkan. Ada 6 guru (2 laki- laki, dan 4 perempuan), kepala sekolah, dan pria itu.
Pria itu mulai bicara. "Selamat siang bapak ibu guru dan bapak kepala sekolah, saya disini terkait surat peringatan yang diberikan kepada anak saya. Hari Rabu, sepulang sekolah, anak saya menangis dan bercerita kepada ibunya, kalau dia dimarahi oleh seorang pak guru. Saya ingin mengetahui duduk perkaranya."
"Ini terkait kejadian yang menimpa seorang murid kita pak. Kejadian saat ada tawuran antar kelas. Putra anda dipanggil dan ditanyai oleh pak guru mengenai kejadian tersebut. Apa yang dia lihat dan siapa saja anak yang membawa batu. Begitu pak."
"Dari cerita anak saya, ada 2 orang guru yang bertanya. Dihari pertama dia ditanya pak guru Sony, dia bercerita kronologi detilnya anak kelas 9 yang membawa batu. Lalu di hari kedua dia dipanggil lagi. Yang menanyai pak Burhan. Oleh pak Burhan dia dikatai 'mencla-mencle', digebrak meja, dan diminta mengaku kalau dia pelakunya. Anak saya otomatis takut."
Pak Burhan mulai angkat bicara. "Mohon maaf sebelumnya pak, saya memang keras, bicaranya langsung, anak saya tanyai kalau memang dia pelakunya ya ngaku saja."
"Pak, setahu saya, posisi anak saya sejak awal adalah saksi. Tetapi dia jadi diperlakukan seperti tersangka. Setahu kami pak, yang biasa menyidik, sesama penyidik harus koordinasi. Jika pertanyaan yang diajukan ke saksi kontennya sama ya pasti jawabannya sama, tapi jika kontennya berbeda ya pastinya jawabannya berbeda. Kalau seperti itu tidak bisa dikatakan 'mencla-mencle' lalu dituduh pelaku anak saya."
Semua terdiam..
"Kronologinya, dari cerita anak saya begini:"
Siang itu....
Anak-anak kelas 7h diharapkan semua kumpul di dalam kelas.
Suara TOA menggema diseluruh sekolah.
Anak-anak 7h sebagian besar sudah berkumpul di dalam kelas.
Ibu guru: "Anak-anak, ibu guru prihatin dan kecewa. Kalian sudah diingatkan, masih saja kalian berbuat gaduh. Tadi siapa saja yang ikut lempar2an?"
"Semuanya bu... kami cuma pakai biji-bijian kok." Suara anak-anak bersahutan menjawab pertanyaan guru.
"Teman kalian ada yang terkena matanya, sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit, mau dioperasi, doakan semoga masih bisa pulih. Kalian semua sekelas ini, ibu beri sanksi. Ibu akan buatkan surat peringatan. Besok akan ada pertemuan dengan orangtua murid."
Anak-anak mulai ribut... sebagian cemas memikirkan sanksi dari sekolah.
"Sudah-sudah jangan ribut, jadikan pelajaran lain kali tidak boleh bermain2 sembarangan lagi. Ibu dengar ada yang sampai melempar dengan batu. Kemungkinan batu itu yang mengenai mata teman kalian. Sebagai wali kelas ibu prihatin dengan kelakuan kalian. Kelas ini dari dulu selalu bermasalah."
"Buuu.." seorang anak lelaki mengacungkan tangan.
"Ada apa Gus?"
"Yang lempar2an ga cuma kelas 7h bu. Kelas 9f juga. Kami cuma pake biji, anak 9f yang bawa batu."
"Kamu lihat siapa yang membawa batu?"
"Lihat bu."
"Nanti kamu ketemu di ruang guru ya."
"Ya bu."
. . . .
"Sini Gus, duduk sini." Pak Sony menyuruh anak didiknya duduk. "Ceritakan Gus yang kamu lihat.
Bagus menceritakan kronologi kejadian dengan detil. Awalnya siswa kelas 7h iseng main perang-perangan dengan biji-bijian. Lalu ada sekawanan kelas 9f lewat, terkena lemparan. Anak kelas sembilan yang merasa lebih gagah daripada adek kelasnya merasa tersinggung. Mereka ikut terlibat 'peperangan'. Anak kelas 9f mengambil batu. Anak kelas 7h ketakutan. Sebagian bubar. Termasuk Bagus yang ikut lari dari halaman sekolah melewati depan kelas 8 lalu menuju kedalam kelasnya. Saat ia lewat ia melihat ada anak kelas 9 yang membawa batu berdiri di sekitar temannya yang nantinya menjadi korban. Si temannya yg jadi korban itu ikut bermain lempar-lemparan. Tetapi Bagus tidak melihat jelas batu siapa yang mengenai mata temannya.
"Yang taklihat gitu pak."
"Ya sudah sekarang boleh balik ke kelas."
. . . .
Hari berikutnya..
"Gus, sekarang ceritakan kamu melihat kejadian kemarin. Gimana ceritanya?"
Bagus mengulang cerita.
"Loh kamu melihatnya didepan kelas 7 apa kelas 8?"
"Eh, maksud saya kelas 8 pak."
"Lho.. kamu itu gimana to? Katanya kemarin di kelas 7 sekarang kelas 8. 'Mencla-mencle' kamu. Sudah kalo kamu yang nglempar batu, mending ngaku saja. Ayo ngakuu!" Braak!! Pak Burhan menggebrak meja dengan emosi.
Bagus ketakutan. Matanya merah dan mulai akan menangis
. . . .
"Anak saya diperlakukan seperti itu. Ya saya tidak terima. Anak saya itu saksi.. ee malah dituduh tersangka dengan desakan. Ya anak saya syok pak. Anak saya sekarang ketakutan karena dituduh. Niat dia ingin menceritakan yang dia lihat, malah dituduh. Anak saya anak mami, memang betul pak. Sedikit sedikit ibunya. Mentalnya kecil. Tapi ibunya juga yang sudah menjadikan dia begini pak. Berani 'ngacung' dan bilang apa yang dia lihat. Lama lho pak, mental anak saya dibentuk begitu. Tahunan. Sampai dia berani bilang jujur. Tapi sekarang dia takut, pak."
"Memang benar pak, tetapi ada keluarga lain juga pak yang anaknya terkena musibah."
"Oh lha iya pak. Memang benar ada korban. Tapi bukan caranya juga mencari-cari kambing hitam, anak saya itu saksi pak. Dia berani mengadu ke anda. Apa ya kalo anak yang salah berani datang ke anda menceritakan kronologinya. Saya yakin enggak pak. Jangan karena pihak sekolah prihatin dengan korban, lalu mendesak anak lainnya supaya jadi pelaku. Jangan sampai anak saya karena ditekan lalu ketakutan dan mengatakan hal yang tidak benar."
Kepala sekolah bicara lagi. " Baiklah Pak Darmawan kami paham maksud bapak. Sekarang begini saja. Kiranya pihak sekolah tidak ingin peristiwa ini sampai telinga luar. Sebaiknya bagaimana kami menyikapinya. Anda seorang penyidik pasti lebih sering menangani hal begini."
"Kalau masalah itu, lebih baik sekolah melakukan pendekatan ke keluarga korban. Dalam bentuk moril maupun santunan, kompensasi."
"Baik pak. Terimakasih 'njenengan' telah datang ke sini. Mohon maaf atas perlakuan kami terhadap anak bapak.
"Sebaiknya memang cukup pendekatan kekeluarga, bagaimana setelah operasi jaminan pendidikan terhadap anak ini. Dan sepertinya juga sulit pak, kalo mau cari tahu pelaku.. karena posisiny semua anak saling lempar. Semoga keluarganya ikhlas."
. . . .
Di rumah..
"Gimana pah? Anak kita masih disalahkan?"
"Engga mah dah beres. Malah pihak sekolah minta dibantu biar ga masuk ke ranah hukum."
"Waaahaha.. ya sudah." Sambil menyiapkan makan siang si ibu berkata ke anak. "Gus, pokoknya mamah bilang, kalo kamu lihatnya A ya A, jangan karena didesak atau temene bilang B kamu jadi ikutan. Apa yang kamu lihat itu yang kamu sampein. Udahlah besok2 lagi ga usah mau jadi pahlawan Gus. Jujur malah keblasuk. "
Si bapak bilang. "Ga papa Gus. Yang penting kamu jujur. Dan berani bilang. Kamu dah 'ngacung' dan bilang ke bu guru tu dah siip. Sing berani, ga usah ciut nyali. Mental cowok tu ya gitu."
"Oke Mah, Pah."
--Inspirasi dari Kisah Nyata--
Kamis, 18 Februari 2016
Aku Hamil "PSYCHO" Intermezzo
Dooook.. tolong dok, selamatkan isteri saya!! Pria muda berdandan parlente itu terlihat panik, mengikuti laju brankar (tempat tidur pasien) yang membawa isterinya yang sedang hamil menuju instalasi gawat darurat.
Dokter mendekat, lalu memanggil-manggil wanita hamil itu. Bu.. bu.. bangun bu.. namanya siapa? bu... buuuu...
Dokter dengan cepat memeriksa ini itu, kemudian berteriak, memanggil semua perawat untuk membantunya. Seketika para perawat datang membawa berbagai peralatan. Ada alat yang ditempatkan di hidung, ada yang membawa infus, layar monitor, dan sang dokter menempelkan alat itu. Ah, ya, yang aku tahu, itu alat untuk memacu jantung. Apakah berarti wanita itu hampir ma...ti...
Selama kurang lebih 15 menit, aku menunggu di luar ruangan, lalu sang dokter keluar dan mengumumkan bahwa si wanita hamil 8 bulan telah meninggal, beserta bayinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasakan kesedihan yang mendalam. Wanita yang paling kucintai telah meninggal dunia. Wanita itu adalah ibuku.
Setidaknya itulah panggilanku kepadanya. IBU. Dia adalah wanita cantik dan cerdas. Dialah yang mengasuhku sejak aku bayi karena ayah kandungku meninggal. Begitulah kira-kira cerita tentang hidupku yang aku percaya, entah kenyataannya benar atau tidak.
Ibuku meyakinkanku untuk percaya bahwa aku adalah korban dari perbuatannya, sehingga dia menebus kesalahan dengan mengasuhku, menjadi ibu angkatku.
Dari ceritanya, aku dikatakan anak seorang pejabat negara. Pejabat yang terlibat skandal politik besar yang melibatkan ibu angkatku ini. Ibu angkatku berperan "menawarkan solusi" dengan berpura-pura sebagai tangan kanan pemimpin negeri. Dia berhasil membuat ayah kandungku terlalu mempercayai dan mencintainya, hingga ayah sadar dirinya ditipu dan meninggal ditangan musuh politiknya. Ibu angkatku berhasil menjalankan misinya, tetapi dia menyesalinya. Lalu aku yang masih 8 bulan diasuh dan tinggal bersamanya. Kala itu usianya masih muda, 27 tahun.
Dia menikah 5 tahun kemudian dengan seorang pria 'biasa'. Lalu, di usianya yang ke-34, dia meninggal saat hamil, meninggal bersama bayinya. Kematian yang mendadak, yang belakangan aku paham bahwa ibu angkatku mengalami HELLP SYNDROME, sebuah peristiwa patologis dan gawat dari suatu kondisi fisiologis, yaitu kehamilan.
Mulai detik itu, saat aku berhasil memahami apa yang dialami ibu angkatku yang meregang nyawa di usianya yang muda, sebuah pemahaman mengakar. Betapa besar perjuangan seorang wanita, hamil lalu melahirkan. Perjuangan antara hidup dan mati. Meski hamil adalah sebuah peristiwa wajar (fisiologis), tetapi ada risiko menjadi abnormal (patologis).
Lantas aku berjanji, untuk selalu mencintai ibu kandungku, yang menurut cerita, meninggal setelah melahirkanku. Meski aku tidak ingat siapa namanya, aku akan selalu mendoakan dia. Bukankah Tuhan menerima doa anak sholeh kepada orang tuanya?
Aku selalu merasa hamil itu keren, kuat. Sangat kuat. Namun juga rentan. Orang hamil membutuhkan dukungan orang- orang disekitarnya. Terutama orang yang dicintainya.
Pesanku untukmu Rendra. Jika aku lebih dulu mati, aku ingin kau selamanya mengingatku setiap melihat anak-anak kita. Mengingat seorang wanita yang rela membawa janin 9 bulan dirahimnya, rela melahirkan dengan pertaruhan nyawa. Aku rela karena aku yakin kamu pantas menjadi ayah dari anakku. Inilah yang bisa kulakukan sebagai bukti cintaku kepadamu.
Terimakasih Rendra, telah selalu mendukung dan melindungiku disaat aku hamil. Aku kadang takut, tetapi aku menjadi kuat karena kamu.
Dan hari ini, 30 Oktober, H-1 hari kelahiran putri kita, anak kedua kita. Aku tuliskan isi hati ini. Besok aku siap. Semoga Tuhan melancarkan segalanya.
--Bersambung--
Dokter mendekat, lalu memanggil-manggil wanita hamil itu. Bu.. bu.. bangun bu.. namanya siapa? bu... buuuu...
Dokter dengan cepat memeriksa ini itu, kemudian berteriak, memanggil semua perawat untuk membantunya. Seketika para perawat datang membawa berbagai peralatan. Ada alat yang ditempatkan di hidung, ada yang membawa infus, layar monitor, dan sang dokter menempelkan alat itu. Ah, ya, yang aku tahu, itu alat untuk memacu jantung. Apakah berarti wanita itu hampir ma...ti...
Selama kurang lebih 15 menit, aku menunggu di luar ruangan, lalu sang dokter keluar dan mengumumkan bahwa si wanita hamil 8 bulan telah meninggal, beserta bayinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasakan kesedihan yang mendalam. Wanita yang paling kucintai telah meninggal dunia. Wanita itu adalah ibuku.
Setidaknya itulah panggilanku kepadanya. IBU. Dia adalah wanita cantik dan cerdas. Dialah yang mengasuhku sejak aku bayi karena ayah kandungku meninggal. Begitulah kira-kira cerita tentang hidupku yang aku percaya, entah kenyataannya benar atau tidak.
Ibuku meyakinkanku untuk percaya bahwa aku adalah korban dari perbuatannya, sehingga dia menebus kesalahan dengan mengasuhku, menjadi ibu angkatku.
Dari ceritanya, aku dikatakan anak seorang pejabat negara. Pejabat yang terlibat skandal politik besar yang melibatkan ibu angkatku ini. Ibu angkatku berperan "menawarkan solusi" dengan berpura-pura sebagai tangan kanan pemimpin negeri. Dia berhasil membuat ayah kandungku terlalu mempercayai dan mencintainya, hingga ayah sadar dirinya ditipu dan meninggal ditangan musuh politiknya. Ibu angkatku berhasil menjalankan misinya, tetapi dia menyesalinya. Lalu aku yang masih 8 bulan diasuh dan tinggal bersamanya. Kala itu usianya masih muda, 27 tahun.
Dia menikah 5 tahun kemudian dengan seorang pria 'biasa'. Lalu, di usianya yang ke-34, dia meninggal saat hamil, meninggal bersama bayinya. Kematian yang mendadak, yang belakangan aku paham bahwa ibu angkatku mengalami HELLP SYNDROME, sebuah peristiwa patologis dan gawat dari suatu kondisi fisiologis, yaitu kehamilan.
Mulai detik itu, saat aku berhasil memahami apa yang dialami ibu angkatku yang meregang nyawa di usianya yang muda, sebuah pemahaman mengakar. Betapa besar perjuangan seorang wanita, hamil lalu melahirkan. Perjuangan antara hidup dan mati. Meski hamil adalah sebuah peristiwa wajar (fisiologis), tetapi ada risiko menjadi abnormal (patologis).
Lantas aku berjanji, untuk selalu mencintai ibu kandungku, yang menurut cerita, meninggal setelah melahirkanku. Meski aku tidak ingat siapa namanya, aku akan selalu mendoakan dia. Bukankah Tuhan menerima doa anak sholeh kepada orang tuanya?
Aku selalu merasa hamil itu keren, kuat. Sangat kuat. Namun juga rentan. Orang hamil membutuhkan dukungan orang- orang disekitarnya. Terutama orang yang dicintainya.
Pesanku untukmu Rendra. Jika aku lebih dulu mati, aku ingin kau selamanya mengingatku setiap melihat anak-anak kita. Mengingat seorang wanita yang rela membawa janin 9 bulan dirahimnya, rela melahirkan dengan pertaruhan nyawa. Aku rela karena aku yakin kamu pantas menjadi ayah dari anakku. Inilah yang bisa kulakukan sebagai bukti cintaku kepadamu.
Terimakasih Rendra, telah selalu mendukung dan melindungiku disaat aku hamil. Aku kadang takut, tetapi aku menjadi kuat karena kamu.
Dan hari ini, 30 Oktober, H-1 hari kelahiran putri kita, anak kedua kita. Aku tuliskan isi hati ini. Besok aku siap. Semoga Tuhan melancarkan segalanya.
--Bersambung--
Minggu, 07 Februari 2016
Bukan Sianida
Minggu siang, sehabis kondangan, saya bersama 2 teman sengaja tidak makan berlebihan biar di lambung masih tersisa banyak tempat untuk wisata kuliner.
Siang itu di jogja, kota yang magnetis (terbukti banyak orang dari luar kota dan bule juga berwisata ke kota ini) ditambah hujan gerimis, ah jadi romantis, kami mengendarai 2 motor, menyapu jalanan kota. Dengan di bantu sobat saya yang bisa meramal, sebut saja waze, kami mencari sebuah tempat nongkrong asik, juga sehat, bertajuk 'fruit bar'.
Kira- kira pukul 14:00 kami sampai di tempat kejadian. Kenapa disebut tempat kejadian? Karena disini ada kejadian menarik...
Kami masuk disambut pramusaji, disodori menu sebelum sampai tempat duduk. Sekilas teman saya, sebut saja N melirik ke meja kasir.
Kami bertiga duduk di sebuah meja (tinggal 2 meja tersisa). Perlu saya terangkan disini, tidak ada adegan seseorang diantara kami yang melihat2 atas seperti berusaha mencari cctv. Tidak ada adegan pilih tempat duduk dengan pertimbangan 'karena paling jauh dari cctv'. Kami bertiga duduk begitu saja. Melepas jaket dan menaruh tas. Sebagai catatan, kami meletakkan tas di kursi, bukan meja.
Lalu kami bertiga mulai melihat menu. Ada 2 daftar menu, karena sebelumnya, saya yg masuk pertama disodori menu oleh si mbak2 pramusaji, dan teman saya yg satunya, berinisial T, meminta satu daftar menu lagi, mungkin pikirnya ini langkah yang efisien. Awalnya saya tidak punya pikiran apa-apa, hanya mengira teman saya ini cukup cerdas (cantik, badan model, dan cerdas). Mungkin juga dia sering hangout rame2 sehingga dia tahu apa yang harus dilakukan.
Oke, kembali ke adegan saat kami sudah di meja. Seseorang dari kami mulai ribut, yaitu si N, merasa bahwa tempat duduk kami kurang cozy, tidak valuable, terlalu pojok, atau apalah. Dia ribut sendiri (karena tidak pegang daftar menu sendiri), mengajak kami pindah, setidaknya memutari cafe, untuk mencari tempat kosong lain, dan memastikan bahwa ada tempat lain yg lebih layak ditongkrongin. Sementara itu saya dan T tidak menjawab, sibuk melihat2 menu.
Setelah N puas ribut sendiri tapi tidak dijawab, dia meminta daftar menu saya, dimana saya belum memilih satu menu pun. Fine. Saya kasihkan sambil sedikit ngambek. Sementara si T dengan cepat memilih menu. Hmm,, sepertinya dia sudah sangat terbiasa disini, ah tidak, dia juga belum pernah tahu tempat ini.
Tidak sampai 10menit kami selesai memilih menu. Lalu dengan cekatan si T bilang, sini aku aja (menawarkan diri untuk membawa si menu dan daftar pesanan ke kasir). Tetapi dengan sigap si N menyela, eh, biar D aja yang kekasir. Dan rencana si T gagal. RENCANA? R-E-N-C-A-N-A?? Memangnya si T merencanakan apa?? Nanti, deh, sabar, perlahan-lahan akan terkuak.
--Bersambung aah, mo naek kereta soalnya--
Siang itu di jogja, kota yang magnetis (terbukti banyak orang dari luar kota dan bule juga berwisata ke kota ini) ditambah hujan gerimis, ah jadi romantis, kami mengendarai 2 motor, menyapu jalanan kota. Dengan di bantu sobat saya yang bisa meramal, sebut saja waze, kami mencari sebuah tempat nongkrong asik, juga sehat, bertajuk 'fruit bar'.
Kira- kira pukul 14:00 kami sampai di tempat kejadian. Kenapa disebut tempat kejadian? Karena disini ada kejadian menarik...
Kami masuk disambut pramusaji, disodori menu sebelum sampai tempat duduk. Sekilas teman saya, sebut saja N melirik ke meja kasir.
Kami bertiga duduk di sebuah meja (tinggal 2 meja tersisa). Perlu saya terangkan disini, tidak ada adegan seseorang diantara kami yang melihat2 atas seperti berusaha mencari cctv. Tidak ada adegan pilih tempat duduk dengan pertimbangan 'karena paling jauh dari cctv'. Kami bertiga duduk begitu saja. Melepas jaket dan menaruh tas. Sebagai catatan, kami meletakkan tas di kursi, bukan meja.
Lalu kami bertiga mulai melihat menu. Ada 2 daftar menu, karena sebelumnya, saya yg masuk pertama disodori menu oleh si mbak2 pramusaji, dan teman saya yg satunya, berinisial T, meminta satu daftar menu lagi, mungkin pikirnya ini langkah yang efisien. Awalnya saya tidak punya pikiran apa-apa, hanya mengira teman saya ini cukup cerdas (cantik, badan model, dan cerdas). Mungkin juga dia sering hangout rame2 sehingga dia tahu apa yang harus dilakukan.
Oke, kembali ke adegan saat kami sudah di meja. Seseorang dari kami mulai ribut, yaitu si N, merasa bahwa tempat duduk kami kurang cozy, tidak valuable, terlalu pojok, atau apalah. Dia ribut sendiri (karena tidak pegang daftar menu sendiri), mengajak kami pindah, setidaknya memutari cafe, untuk mencari tempat kosong lain, dan memastikan bahwa ada tempat lain yg lebih layak ditongkrongin. Sementara itu saya dan T tidak menjawab, sibuk melihat2 menu.
Setelah N puas ribut sendiri tapi tidak dijawab, dia meminta daftar menu saya, dimana saya belum memilih satu menu pun. Fine. Saya kasihkan sambil sedikit ngambek. Sementara si T dengan cepat memilih menu. Hmm,, sepertinya dia sudah sangat terbiasa disini, ah tidak, dia juga belum pernah tahu tempat ini.
Tidak sampai 10menit kami selesai memilih menu. Lalu dengan cekatan si T bilang, sini aku aja (menawarkan diri untuk membawa si menu dan daftar pesanan ke kasir). Tetapi dengan sigap si N menyela, eh, biar D aja yang kekasir. Dan rencana si T gagal. RENCANA? R-E-N-C-A-N-A?? Memangnya si T merencanakan apa?? Nanti, deh, sabar, perlahan-lahan akan terkuak.
--Bersambung aah, mo naek kereta soalnya--
Jumat, 29 Januari 2016
Blind Date
Ah, berapa kali harus kubilang, aku lagi males, lagi ga mood tauk! tapi kamu selalu sewot, dan nyuruh aku nulis dalam kondisi apapun. Mau lagi ga mood, lagi galau, lagi happy, kamu tetep nyuruh aku nulis. Dan tiap kali begitu, kamu pasti sukses ngebuat aku ngambek tapi tetep nulis.
Tapi, kali ini beda... Kali ini aku tahu maksudmu memintaku begitu.
Ahh, aku happy. Makasih deh buat kamu. Aku jadi ga sabar buat cerita ke orang-orang.
Begini ceritanya.....
Malam itu malam minggu. Malamku waktu itu, sama kayak malam kebanyakan cowok cewek seusiaku. Malam yang romantis.
Aku duduk didepan sebuah meja bundar, sendiri, menunggu dia. Sesekali aku ngelirik jam tangan.
'Dasar si tukang ngaret! Plis ini udah sejam!'
Badan sama mata udah mau nyerah, gegara abis les vokal lanjut les nari sore tadi, dia ga datang-datang.
Dan pas waktunya datang, dia pasang tampang seolah-olah ga punya dosa.
"Hey dah lama Ta? makanya lain kali kalo datang ga usah buru2, nyante dikit lah" astaga kalimat yang keluar dari mulutnya.
Rasanya udah pengen jejalin sendok garpu dan seperangkat alat masak ke mulutnya, kalo ga inget dia ketua murid, ketua klub basket, murid teladan, dicintai semua guru, dan semua emak2 didunia.
"Ya uda cus aja, mo ngapain?" aku udah ga betah sama bau keringat mix deodoran, ditambah bau tanah dan celana basah. 'kayak gini murid teladan?'
Dia nyodorin sebuah kertas. "katanya kamu jago musik. Aku nemuin ini waktu bersih2 ruangan bekas kelas musik. Bisa baca ini?"
Kertas itu berisi not2 balok ditulis rapi.
"Ngapain kamu beres2 ruang angker itu?"
"Mau aku fungsiin, anak basket ga punya tempat nongkrong, masak cuman punya lapangan."
Emang kan butuhnya lapangan doank, batinku. "Ini si ga ada yang spesial, not balok kayak gini anak ekskul tingkat tiga juga bisa."
"Kalo not balok ditambah surat ini gimana?"
Dia ngasih satu kertas lagi, kertasnya jadul banget, tulisannya tegak bersambung, kecil2, seperti tulisan wanita. Tapi bukan bahasa Indonesia, ini bahasa Prancis.
"Aku ga tahu maksudnya, mungkin kamu bisa cari tahu apa ini. Udah lama aku pingin nyingkirin stigma kalo kelas itu berhantu, makanya mau kugunain lagi. Dan aku nemuin itu di dalam piano usang, terselip diantara tuts piano. Sapa tahu dengan itu jadi tahu sejarahnya kenapa kelas itu ditutup dan ngilangin rumor yang sekarang."
Hmm..
"Aku tahu kegiatanmu banyak, ga cuma diskolah, dluar skolah, les ini itu. Tapi, aku ga buru-buru. Pas senggangmu aja."
Mmm..
"Tolong ya."
Tiba-tiba aku liat jelas matanya. Aah, manis juga.
"Oke, aku traktir minum deh, mo pesen apa?" kata dia.
helloww, aku udah pesen minum 2 gelas plus 2 kali bolak balik kamar mandi, gegara nungguin elu kali!! "Cappucino aja, makasih."
Menit-menit berikutnya aku habisin ngobrol basa basi kenalan sama dia. Nyambung juga. Walo agak aneh. Dia selalu punya pikiran unik tentang lingkungannya entah guru, kelas, teman2, sampai tata cara upacara.
"Eh, udah jam 8 nih, aku ga boleh pulang malem2, sampe ketemu lagi. Pamit." 2 jari dia lambaikan didepan dahinya.
Cool..
Wait2, ngga jadi cool! Dia ninggalin aku?! aku disuruh pulang sendiri?! malem2?! aku cewek!! dan siapa yang ngundang dan siapa yang telat.
CORET!! Tanda silang besar aku kasih di atas namanya. Dia di coret dari list. Bukan cowok.
Tapi, aku ga harus sering ketemu dia kan? cuma sekali lagi pas aku udah bisa ngasih dia analisaku kan.
Tapi, kenapa aku nyesek ya, kalo cuma ketemu skali lagi. Eh plis, engga!! engga boleh ada pikiran apa2. Kudu setrong! Inget bau kringetnya, inget celana basahnya, baunya emang tahan?!
Malam itu, aku sampai rumah, mau tidur, tapi ga bisa. Uugh, gegara bibi libur nih batalnya ga da yang nyuci, bau!! jadi ga bisa tidur.
Bantalnya aku lempar, udahlah ga usah pake bantal. Tapi, aku ga bisa tidur kalo ga pake bantal, huhh. Ya udah bantalnya kuambil lagi kusemprot parfum.
Aku nyoba ngrebahin diri lagi. Pandanganku nerawang ke langit-langit kamar. 'Aku ini kenapa si? sesuatu diperut dan dadaku, ngeganjel, nyesek.'
Apa mungkin ini rindu? Rindu bau dan mata itu.. Hmm..
Tetiba aku inget kamu. Dan aku turuti nasehatmu. Aku bangkit, duduk di meja belajar dan nulis.
--Bersambung--
Tapi, kali ini beda... Kali ini aku tahu maksudmu memintaku begitu.
Ahh, aku happy. Makasih deh buat kamu. Aku jadi ga sabar buat cerita ke orang-orang.
Begini ceritanya.....
Malam itu malam minggu. Malamku waktu itu, sama kayak malam kebanyakan cowok cewek seusiaku. Malam yang romantis.
Aku duduk didepan sebuah meja bundar, sendiri, menunggu dia. Sesekali aku ngelirik jam tangan.
'Dasar si tukang ngaret! Plis ini udah sejam!'
Badan sama mata udah mau nyerah, gegara abis les vokal lanjut les nari sore tadi, dia ga datang-datang.
Dan pas waktunya datang, dia pasang tampang seolah-olah ga punya dosa.
"Hey dah lama Ta? makanya lain kali kalo datang ga usah buru2, nyante dikit lah" astaga kalimat yang keluar dari mulutnya.
Rasanya udah pengen jejalin sendok garpu dan seperangkat alat masak ke mulutnya, kalo ga inget dia ketua murid, ketua klub basket, murid teladan, dicintai semua guru, dan semua emak2 didunia.
"Ya uda cus aja, mo ngapain?" aku udah ga betah sama bau keringat mix deodoran, ditambah bau tanah dan celana basah. 'kayak gini murid teladan?'
Dia nyodorin sebuah kertas. "katanya kamu jago musik. Aku nemuin ini waktu bersih2 ruangan bekas kelas musik. Bisa baca ini?"
Kertas itu berisi not2 balok ditulis rapi.
"Ngapain kamu beres2 ruang angker itu?"
"Mau aku fungsiin, anak basket ga punya tempat nongkrong, masak cuman punya lapangan."
Emang kan butuhnya lapangan doank, batinku. "Ini si ga ada yang spesial, not balok kayak gini anak ekskul tingkat tiga juga bisa."
"Kalo not balok ditambah surat ini gimana?"
Dia ngasih satu kertas lagi, kertasnya jadul banget, tulisannya tegak bersambung, kecil2, seperti tulisan wanita. Tapi bukan bahasa Indonesia, ini bahasa Prancis.
"Aku ga tahu maksudnya, mungkin kamu bisa cari tahu apa ini. Udah lama aku pingin nyingkirin stigma kalo kelas itu berhantu, makanya mau kugunain lagi. Dan aku nemuin itu di dalam piano usang, terselip diantara tuts piano. Sapa tahu dengan itu jadi tahu sejarahnya kenapa kelas itu ditutup dan ngilangin rumor yang sekarang."
Hmm..
"Aku tahu kegiatanmu banyak, ga cuma diskolah, dluar skolah, les ini itu. Tapi, aku ga buru-buru. Pas senggangmu aja."
Mmm..
"Tolong ya."
Tiba-tiba aku liat jelas matanya. Aah, manis juga.
"Oke, aku traktir minum deh, mo pesen apa?" kata dia.
helloww, aku udah pesen minum 2 gelas plus 2 kali bolak balik kamar mandi, gegara nungguin elu kali!! "Cappucino aja, makasih."
Menit-menit berikutnya aku habisin ngobrol basa basi kenalan sama dia. Nyambung juga. Walo agak aneh. Dia selalu punya pikiran unik tentang lingkungannya entah guru, kelas, teman2, sampai tata cara upacara.
"Eh, udah jam 8 nih, aku ga boleh pulang malem2, sampe ketemu lagi. Pamit." 2 jari dia lambaikan didepan dahinya.
Cool..
Wait2, ngga jadi cool! Dia ninggalin aku?! aku disuruh pulang sendiri?! malem2?! aku cewek!! dan siapa yang ngundang dan siapa yang telat.
CORET!! Tanda silang besar aku kasih di atas namanya. Dia di coret dari list. Bukan cowok.
Tapi, aku ga harus sering ketemu dia kan? cuma sekali lagi pas aku udah bisa ngasih dia analisaku kan.
Tapi, kenapa aku nyesek ya, kalo cuma ketemu skali lagi. Eh plis, engga!! engga boleh ada pikiran apa2. Kudu setrong! Inget bau kringetnya, inget celana basahnya, baunya emang tahan?!
Malam itu, aku sampai rumah, mau tidur, tapi ga bisa. Uugh, gegara bibi libur nih batalnya ga da yang nyuci, bau!! jadi ga bisa tidur.
Bantalnya aku lempar, udahlah ga usah pake bantal. Tapi, aku ga bisa tidur kalo ga pake bantal, huhh. Ya udah bantalnya kuambil lagi kusemprot parfum.
Aku nyoba ngrebahin diri lagi. Pandanganku nerawang ke langit-langit kamar. 'Aku ini kenapa si? sesuatu diperut dan dadaku, ngeganjel, nyesek.'
Apa mungkin ini rindu? Rindu bau dan mata itu.. Hmm..
Tetiba aku inget kamu. Dan aku turuti nasehatmu. Aku bangkit, duduk di meja belajar dan nulis.
--Bersambung--
Jumat, 22 Januari 2016
Paradoks Psycho #5 episode terakhir session 1
Dorr..dorr..dorr..
Ada yang menembaki mobil kami dari belakang. Aku menunduk menghindar. Mencari celah untuk bisa mengambil *fanny*ku dan balik menembak mereka. Terjadi baku tembak selama 3 menit, Bobby berhasil menembak ban mobil mereka, menghambat laju mereka sementara.
Kendaraan lain masih mengejar kami dari belakang, kali ini truk tronton dengan ban-ban besar. Dan muncul satu mobil lagi dari kanan saat kami lewati pertigaan.
Hujan peluru menyerang kami. Robby dengan sigap meliak-liukkan mobil, menghindari serangan. Jalanan cukup sepi karena ini tengah malam.
Kami mulai terjepit, Robby mendadak membelok ke gang sempit. Mobil besar tidak bisa mengejar, mobil kecil masih di belakang, cukup dekat dengan kami.
Seketika aku punya ide. "Robby berhenti!! "what?!" "Berhenti, ini perintah!!"
"Heey, Rana diamlah, ikuti saja kami, kami agen profesional" Celetuk Bobby sambil masih menembak.
"Mereka ingin file yang kubawa, mereka menginginkan aku. Aku harus turun."
"Rana, misi kami melindungimu, kamu harus menuruti kami!!" Robby membentakku.
"Baiklah kalau kalian bersikeras begitu!" Aku membuka pintu mobil yang masih melaju. "Apa yang kamu laku......kan"
Bluk, bluk, bluk.. aku menjatuhkan diri ke jalan dan berguling beberapa kali. Aih sakit!! Lalu bangkit, berdiri di tengah jalan untuk menghentikan si pengejar sambil memberi isyarat tangan tanda menyerah. Mereka menghentikan mobil, sementara Robby-Bobby tetap melajukan mobil dan menjauh.
Mereka turun dari mobil sambil masih menodongkan pistol. Aku mengambil pistolku dan meletakkannya ke jalan. Tanganku yang satu masih terangkat ke atas.
Mereka menggunakan baju serba hitam.
"Aku tahu yang kalian inginkan, ini." Kusodorkan tangan kananku yang menggenggam disk berisi file. Salah seorang perlahan mendekat. Dia sudah dihadapanku, sangat dekat sekarang, pistol di tangan kanannya teracung ke wajahku. Tangan kirinya meraih tanganku, dan.. sraat.. Pisauku berhasil memotong nadinya, "aargh" dia mengaduh, sikuku mendorong dagunya keatas. Kurebut pistolnya, dan mengunci tangannya kebelakang. Tubuhnya kuhadapkan kedepanku untuk melindungi tubuhku sendiri. Pistolnya kuacungkan ke dahinya. Aku menyandera dia. 15 detik secara keseluruhan. 'Mas Rendra aku cukup cepat kan'.
Tiba-tiba muncul dua orang pengendara truk. 'Sial!!' Sedetik kemudian.. Dorr, salah satu pengendara truk turun dan langsung menembak sanderaku. Mati. Begitu cepat. Sekejap.
Kini hanya aku, sendiri, melawan tiga mafia ini.
Pistol diacungkan kearahku. Dorr..dorr.. aku menghindar. Mereka berdua sangat agresif. Aku lari, sambil sesekali menembak.
Dan.. "Aarghh" betis kananku tertembak. Aku terjatuh, mereka mendekat, semakin dekat. Aku terjepit...
Oh Tuhan, aku akan mati... 'ayoo, bagunlah, kamu cuma mimpi,, banguun...'
Lalu.....
DOR!! DOR!! DOR!!
Tiga tembakan, masing-masing tepat dipunggung kiri menembus jantung mereka. Robby, bukan... Bobby, telah berada di belakang kami dan menembak mati ketiga mafia dengan sekali tembakan.
"Briliant!!" Komentarku sebagai tanda terimakasih.
"Gila!! Kamu bisa mati!!" Teriak Bobby
"Trimakasih." Kutangkap ucapannya sebagai pujian.
Kami melanjutkan perjalanan..
. . . . .
Sampailah kami ditempat, yang katanya, mas Rendra berada.
Dan benar. Dia disana duduk dengan beberapa orang mengelilingi meja. Mereka sedang berdiskusi. Tapi, lengannyaa....
Satu lengan mas Rendra digips dan digendong dengan armsling.
"Patah, saat meloloskan diri, dia melompat dari gedung 10 lantai, gila." Robby menjelaskan.
"Iya kalian suami isteri sama gilanya." Komentar Bobby.
. . . . .
Hampir 5 hari mereka menerjemahkannya. File yang aku bawa, rupanya berisi kode-kode, komunikasi mafia yang disadap. Isinya kurang lebih seputar perdagangan gelap, ilegal, bebas pajak, dan narkoba. Salah satu file yang membuatku tertarik adalah 140116. Rupanya itu siasat, sebenarnya intelijen sudah tahu, akan ada teror berkedok bisnis dari mafia. Peringatan mafia kepada pemerintah yang sudah tidak mau bekerja sama dengan mereka dan ingin menjalankan ekonomi negara dengan bersih. Intelijen ingin membangun kesan bahwa seolah mafia berhasil, pemerintah kecolongan. Padahal pemerintah sudah berhasil memecahkan semua kode komunikasi mereka, termasuk mengantisipasi hal ini. Jadi teringat coventry conundrum world war II.
"Terimakasih Rana, telah membawa filenya dengan utuh. Saat Rendra berangkat dari rumah kalian, file belum selesai terdownload. Rendra sengaja meninggalkan file itu dan memproteknya. Berharap kau bisa meneruskan mendownload. Rendra pergi untuk mengecoh perhatian mafia yang membuntutinya. Dia berhasil memecah fokus dan menjadikan dirinya target. Berhasil lolos dengan sedikit luka. Dan kamu dengan sedikit luka pula berhasil membawa file itu kesini. Bagaiman kakimu pagi ini? Perawat kami jago kan?" Dia lelaki paruh baya, pemimpin misi ini, bos Rendra.
"Kamu cukup cerdas memilih orang kepercayaan." Jawabku sambil tersipu.
"Wah, aku suka gayamu. Kamu taksalah pilih Ren." Kulihat mas Rendra hanya tersenyum menunduk. Ada sesuatu lain yang dia rasakan.
. . . . .
Pagi berikutnya, aku sudah bersiap, menjemput Ryan. Mas Rendra tidak ikut. Tetapi mereka mempersiapkan beberapa orang untuk melindungiku. Kali ini, bukan Robby, atau Bobby.
Aku masuk ke mobil. Hanya aku dan sopir. Dan... seseorang...
"Psst, diam. Ayo, jalan." Dia duduk disebelahku dan berkata singkat.
Di perjalanan.. "Rana, kembalikan ysng kamu ambil." Aku hanya terdiam. Orang ini tahu bahwa semalam aku telah mencuri aplikasi peretas mereka. Alat penting yang mereka gunakan untuk memecahkan kode mafia.
"Aku tahu semalam kamu mengambilnya. Siapa bosmu? Mafia besar lainnyakah?" Dia menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan lembut, sayang.
"Rupanya aku takpernah benar-benar mengenalmu, kau punya banyak rahasia."
"Dek Rana, aku dan teman-temanku akan membantumu keluar dari masalah ini. Kamu percaya padaku, aku bisa membantumu."
Otot wajahku mengeras "Tidak, aku akan menyelesaikan masalahku sendiri." Htiku perih. "Berhenti!" Sopir menuruti perintahku.
Aku keluar mobil, dia mengikutiku. "Rana..."
Dorr.. aku menembaknya, tepat diperut. Tanpa ragu.
Aku baru saja... menembak.... suamiku, Rendra.
Aku berlari.. dan...
Sekawanan agen mengepungku, semua menodongkan pistol ke arahku.
"Menyerahlah, kami telah mengepungmu...."
. . . . .
Sekarang aku tinggal disini, di ruang 2x3 ini, sudah 6 bulan. Aku, wanita berusia 33 tahun. Inisialku PSY. Nama alias Rana Khairunia, dr., Sp.KJ. Aku mengandung anak keduaku, usia kehamilan 33 minggu.
Hari ini, aku terduduk di sini, menulis cerita hidupku dan menunggu hari eksekusi.
Enam bulan lalu, saat aku mencuri dari mereka, aku diinterogasi. Aku diam, mereka tidak mendapat satu klu pun dariku. Aku diberi pilihan, memihak mereka atau mati. Aku lebih memilih mati.
Dan disinilah nantinya, hidupku akan berakhir. Di penjara mafia ini. Aku akan dieksekusi pasca melahirkan anak keduaku. Itu permintaanku, dan permintaan lelaki yang kucintai. Mungkin, dihari eksekusi nanti, tidak akan ada yang melayat, karena aku takpunya keluargaku. Kecuali dia, yang kucinta.
Aku bersyukur pernah menemui dia. Lelaki yang sangat kucintai. Rendra. Mungkin sekarang dia sudah tidak mencintaiku, tetapi aku tetap mencintainya. Aku taksanggup membunuhnya, hanya membuatnya berbaring koma selama 1 bulan.
Telah kutuliskan kisahku dengannya dan kusimpan dalam sebuah folder. Kenangan yang indah bersamanya. Bagi orang yang masih peduli denganku_ memangnya ada? ah, mungkin tidak ada_ akan kuberi kode untuk membukanya. Sebenarnya aku ingi passwordnya hanya inisialku PSY, tapi aku dipaksa menulis 6 huruf. PSYCHO agar mudah diingat.
Ah, hari itu semakin dekat saja. Hari terakhir aku bisa melihat dia. Rendra. Kecuali.. takdir berkata lain.
Aku sedikit berharap gadis itu menyelamatkanku. Seperti diriku yang membebaskan dia dari penjara.
Aku ingin dia membantuku, agar tidak kehilangan Rendra.
Aku menunggumu, Sarra......
--END-- Session I
Ada yang menembaki mobil kami dari belakang. Aku menunduk menghindar. Mencari celah untuk bisa mengambil *fanny*ku dan balik menembak mereka. Terjadi baku tembak selama 3 menit, Bobby berhasil menembak ban mobil mereka, menghambat laju mereka sementara.
Kendaraan lain masih mengejar kami dari belakang, kali ini truk tronton dengan ban-ban besar. Dan muncul satu mobil lagi dari kanan saat kami lewati pertigaan.
Hujan peluru menyerang kami. Robby dengan sigap meliak-liukkan mobil, menghindari serangan. Jalanan cukup sepi karena ini tengah malam.
Kami mulai terjepit, Robby mendadak membelok ke gang sempit. Mobil besar tidak bisa mengejar, mobil kecil masih di belakang, cukup dekat dengan kami.
Seketika aku punya ide. "Robby berhenti!! "what?!" "Berhenti, ini perintah!!"
"Heey, Rana diamlah, ikuti saja kami, kami agen profesional" Celetuk Bobby sambil masih menembak.
"Mereka ingin file yang kubawa, mereka menginginkan aku. Aku harus turun."
"Rana, misi kami melindungimu, kamu harus menuruti kami!!" Robby membentakku.
"Baiklah kalau kalian bersikeras begitu!" Aku membuka pintu mobil yang masih melaju. "Apa yang kamu laku......kan"
Bluk, bluk, bluk.. aku menjatuhkan diri ke jalan dan berguling beberapa kali. Aih sakit!! Lalu bangkit, berdiri di tengah jalan untuk menghentikan si pengejar sambil memberi isyarat tangan tanda menyerah. Mereka menghentikan mobil, sementara Robby-Bobby tetap melajukan mobil dan menjauh.
Mereka turun dari mobil sambil masih menodongkan pistol. Aku mengambil pistolku dan meletakkannya ke jalan. Tanganku yang satu masih terangkat ke atas.
Mereka menggunakan baju serba hitam.
"Aku tahu yang kalian inginkan, ini." Kusodorkan tangan kananku yang menggenggam disk berisi file. Salah seorang perlahan mendekat. Dia sudah dihadapanku, sangat dekat sekarang, pistol di tangan kanannya teracung ke wajahku. Tangan kirinya meraih tanganku, dan.. sraat.. Pisauku berhasil memotong nadinya, "aargh" dia mengaduh, sikuku mendorong dagunya keatas. Kurebut pistolnya, dan mengunci tangannya kebelakang. Tubuhnya kuhadapkan kedepanku untuk melindungi tubuhku sendiri. Pistolnya kuacungkan ke dahinya. Aku menyandera dia. 15 detik secara keseluruhan. 'Mas Rendra aku cukup cepat kan'.
Tiba-tiba muncul dua orang pengendara truk. 'Sial!!' Sedetik kemudian.. Dorr, salah satu pengendara truk turun dan langsung menembak sanderaku. Mati. Begitu cepat. Sekejap.
Kini hanya aku, sendiri, melawan tiga mafia ini.
Pistol diacungkan kearahku. Dorr..dorr.. aku menghindar. Mereka berdua sangat agresif. Aku lari, sambil sesekali menembak.
Dan.. "Aarghh" betis kananku tertembak. Aku terjatuh, mereka mendekat, semakin dekat. Aku terjepit...
Oh Tuhan, aku akan mati... 'ayoo, bagunlah, kamu cuma mimpi,, banguun...'
Lalu.....
DOR!! DOR!! DOR!!
Tiga tembakan, masing-masing tepat dipunggung kiri menembus jantung mereka. Robby, bukan... Bobby, telah berada di belakang kami dan menembak mati ketiga mafia dengan sekali tembakan.
"Briliant!!" Komentarku sebagai tanda terimakasih.
"Gila!! Kamu bisa mati!!" Teriak Bobby
"Trimakasih." Kutangkap ucapannya sebagai pujian.
Kami melanjutkan perjalanan..
. . . . .
Sampailah kami ditempat, yang katanya, mas Rendra berada.
Dan benar. Dia disana duduk dengan beberapa orang mengelilingi meja. Mereka sedang berdiskusi. Tapi, lengannyaa....
Satu lengan mas Rendra digips dan digendong dengan armsling.
"Patah, saat meloloskan diri, dia melompat dari gedung 10 lantai, gila." Robby menjelaskan.
"Iya kalian suami isteri sama gilanya." Komentar Bobby.
. . . . .
Hampir 5 hari mereka menerjemahkannya. File yang aku bawa, rupanya berisi kode-kode, komunikasi mafia yang disadap. Isinya kurang lebih seputar perdagangan gelap, ilegal, bebas pajak, dan narkoba. Salah satu file yang membuatku tertarik adalah 140116. Rupanya itu siasat, sebenarnya intelijen sudah tahu, akan ada teror berkedok bisnis dari mafia. Peringatan mafia kepada pemerintah yang sudah tidak mau bekerja sama dengan mereka dan ingin menjalankan ekonomi negara dengan bersih. Intelijen ingin membangun kesan bahwa seolah mafia berhasil, pemerintah kecolongan. Padahal pemerintah sudah berhasil memecahkan semua kode komunikasi mereka, termasuk mengantisipasi hal ini. Jadi teringat coventry conundrum world war II.
"Terimakasih Rana, telah membawa filenya dengan utuh. Saat Rendra berangkat dari rumah kalian, file belum selesai terdownload. Rendra sengaja meninggalkan file itu dan memproteknya. Berharap kau bisa meneruskan mendownload. Rendra pergi untuk mengecoh perhatian mafia yang membuntutinya. Dia berhasil memecah fokus dan menjadikan dirinya target. Berhasil lolos dengan sedikit luka. Dan kamu dengan sedikit luka pula berhasil membawa file itu kesini. Bagaiman kakimu pagi ini? Perawat kami jago kan?" Dia lelaki paruh baya, pemimpin misi ini, bos Rendra.
"Kamu cukup cerdas memilih orang kepercayaan." Jawabku sambil tersipu.
"Wah, aku suka gayamu. Kamu taksalah pilih Ren." Kulihat mas Rendra hanya tersenyum menunduk. Ada sesuatu lain yang dia rasakan.
. . . . .
Pagi berikutnya, aku sudah bersiap, menjemput Ryan. Mas Rendra tidak ikut. Tetapi mereka mempersiapkan beberapa orang untuk melindungiku. Kali ini, bukan Robby, atau Bobby.
Aku masuk ke mobil. Hanya aku dan sopir. Dan... seseorang...
"Psst, diam. Ayo, jalan." Dia duduk disebelahku dan berkata singkat.
Di perjalanan.. "Rana, kembalikan ysng kamu ambil." Aku hanya terdiam. Orang ini tahu bahwa semalam aku telah mencuri aplikasi peretas mereka. Alat penting yang mereka gunakan untuk memecahkan kode mafia.
"Aku tahu semalam kamu mengambilnya. Siapa bosmu? Mafia besar lainnyakah?" Dia menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan lembut, sayang.
"Rupanya aku takpernah benar-benar mengenalmu, kau punya banyak rahasia."
"Dek Rana, aku dan teman-temanku akan membantumu keluar dari masalah ini. Kamu percaya padaku, aku bisa membantumu."
Otot wajahku mengeras "Tidak, aku akan menyelesaikan masalahku sendiri." Htiku perih. "Berhenti!" Sopir menuruti perintahku.
Aku keluar mobil, dia mengikutiku. "Rana..."
Dorr.. aku menembaknya, tepat diperut. Tanpa ragu.
Aku baru saja... menembak.... suamiku, Rendra.
Aku berlari.. dan...
Sekawanan agen mengepungku, semua menodongkan pistol ke arahku.
"Menyerahlah, kami telah mengepungmu...."
. . . . .
Sekarang aku tinggal disini, di ruang 2x3 ini, sudah 6 bulan. Aku, wanita berusia 33 tahun. Inisialku PSY. Nama alias Rana Khairunia, dr., Sp.KJ. Aku mengandung anak keduaku, usia kehamilan 33 minggu.
Hari ini, aku terduduk di sini, menulis cerita hidupku dan menunggu hari eksekusi.
Enam bulan lalu, saat aku mencuri dari mereka, aku diinterogasi. Aku diam, mereka tidak mendapat satu klu pun dariku. Aku diberi pilihan, memihak mereka atau mati. Aku lebih memilih mati.
Dan disinilah nantinya, hidupku akan berakhir. Di penjara mafia ini. Aku akan dieksekusi pasca melahirkan anak keduaku. Itu permintaanku, dan permintaan lelaki yang kucintai. Mungkin, dihari eksekusi nanti, tidak akan ada yang melayat, karena aku takpunya keluargaku. Kecuali dia, yang kucinta.
Aku bersyukur pernah menemui dia. Lelaki yang sangat kucintai. Rendra. Mungkin sekarang dia sudah tidak mencintaiku, tetapi aku tetap mencintainya. Aku taksanggup membunuhnya, hanya membuatnya berbaring koma selama 1 bulan.
Telah kutuliskan kisahku dengannya dan kusimpan dalam sebuah folder. Kenangan yang indah bersamanya. Bagi orang yang masih peduli denganku_ memangnya ada? ah, mungkin tidak ada_ akan kuberi kode untuk membukanya. Sebenarnya aku ingi passwordnya hanya inisialku PSY, tapi aku dipaksa menulis 6 huruf. PSYCHO agar mudah diingat.
Ah, hari itu semakin dekat saja. Hari terakhir aku bisa melihat dia. Rendra. Kecuali.. takdir berkata lain.
Aku sedikit berharap gadis itu menyelamatkanku. Seperti diriku yang membebaskan dia dari penjara.
Aku ingin dia membantuku, agar tidak kehilangan Rendra.
Aku menunggumu, Sarra......
--END-- Session I
Kamis, 21 Januari 2016
Misi Penyelamatan Psycho #4
"Hallo, Mom, aku pamit, doakan. Titip Ryan ya, terimakasih." Aku harus 'menyelamatkan' Rendra.
Aku berjalan keluar rumah, melangkah seperti biasa agar dua orang agen itu tidak mencurigaiku. Menstarter mobil menuju sekolah Ryan. Huff, syukurlah mereka tidak membuntutiku.
Diperempatan 2 blok dari rumahku, aku memutar mobil, balik arah. Kali ini, aku tidak akan menjemput Ryan. Aku akan menjemput Rendra. Kulirik tas yang kutaruh ditempat duduk disampingku, 'aku membawa yang kau pesan mas, tunggu aku.'
Baru beberapa menit, sudah ada yang menghadang. Kulihat jalan didepan, dipenuhi mobil dan motor yang berhenti di tengah jalan, beberapa polisi dan pecahan kaca di aspal. Ada kecelakaan. 'Sial, aku bisa terlambat. Aku harus cari jalan lain, atau putar balik lagi.' Tapi sudah terlambat. Dibelakangku berderet kendaraan lain yang mengantri untuk lewat. Aku memutuskan untuk menunggu. Setelah 15 menit, kami dipebolehkan lewat.
Aku sampai ditujuan. Kuparkirkan mobil dan berjalan menuju stasiun kereta. Aman, sementara ini. Tapi,, sebentar... aku merasa ada yang membuntuti. Kupercepat langkah, dan ketika sampai di belokan aku berlari. Mereka mengejarku. Aku terus berlari, ah aku tidak tahu harus kemana, jalanan ini asing bagiku. Sial.
Aku berhenti, gang ini buntu. Hanya ada tembok (pagar), mungkin menuju rumah orang. Mereka sudah dibelakangku. Aku membalikkan badan, mereka mengacungkan senjata ke arahku.
"Rana, menyerahlah. Ayo ikut kami." Si tinggi kurus yang pertama membuka mulut.
"Atau kau serahkan file itu. Lalu kamu boleh pergi. Kami tidak akan mengganggu kamu dan anakmu lagi." Kali ini si gemuk yang bicara.
Sebentar, aku harus mengulur waktu, aku harus memastikan mereka tetap disana. "Tidak, tidak akan aku serahkan. Mas Rendra mempercayai kalian. Tetapi kenapa kalian khianat? Kalian tidak akan pernah mendapatkan file itu."
"Kalau itu maumu maaf kami harus menggunakan cara ini." Si kurus mengacungkan pistolnya tepat ke dadaku, dari jarak 6 meter, dia sebentar lagi akan menarik pelatukya.
Lalu... DUAAAAAARRR...
Si gendut terkena percikan dan si kurus terpecah fokusnya, aku memanfaatkan moment ini untuk memanjat tembok. Cukup mudah bagiku yang ramping. Ahh benar, ternyata ini menuju halaman belakang rumah orang. Aku harus memanjat lagi untuk keluar dari rumah orang tersebut. Aku beruntung takada yang melihat, sehingga tidak dikira maling.
Untunglah aku jadi membawa 'petasan' yang sedikit kumodif, sehingga daya ledakknya cukup membuat kaget dan luka bakar. Untuk sementara terlepas dari kejaran 2 orang itu. Mereka si kembar Robby-Bobby palsu.
Aku sadar mereka palsu tepat setelah selesai sidang Sarra.
. . . . .
"... kidal. Sarra yang di foto adalah gadis kidal. Sedangkan Sarra yang kita tahu sekarang bukanlah kidal. Begitu penjelasan saya Yang Mulia Hakim."
"Baiklah. Terimakasih saudara saksi ahli, Anda telah membeikan penjelasan yang cukup mengenai kondisi kejiwaan Sarra, teimakasih juga atas keterangan tambahannya, penjelasan Anda sangat membantu persidangan."
Hadirin saling berbisik, suasana cukup riuh. Sidang diskors, dan aku selesai dengan tugsku. Aku pergi ke toilet lalu bercermin, tersenyum puas memikirkan simpulan yang baru saja kusampaikan. Sarra dan Intan, seperti cermin ini. Sarra adalah bayangan Intan, bayangan serupa tapi taksama, puny sisi yang berbeda, kanan dan kiri.. BERBEDA!! Tunggu.... aku juga pernah menemui orang kidal lainnya.. seseorang yang kukenal cukup dekat juga kidal... BOBBY!! Iya dia kidal, tapii... malam itu....
Aku berusaha mengingat kejadian malam disaat Robby-Bobby datang membawa surat mas Rendra. Bobby menyerahkan surat itu dengan tangan kiri.
Tapii.... ada yang aneh...
Saat membantuku yang taksengaja akan menumpahkan gelas, dia reflek memegang nampan dan gelas dengan.. TANGAN KANANNYA!! DEG...
DEG..DEG..
Jantungku berdegup kencang. Selama ini aku telah diawasi orang lain, jangan-jangan mereka mata-mata pihak musuh. Ya, tidak salah lagi, mereka mata-mata. Aah bodohnya aku, kuizinkan mereka memasang kamera di hampir semua sudut rumah. Kadang kutitipkan rumah saat kosong ke mereka.
. . . . .
Selesai sidang aku bergegas pulang, menjemput Ryan. Aku harus menyusun rencana. Kubuka lagi surat kedua dari mas Rendra, yang penuh pesan.
Dear Rana,
Selamat ulang tahun.. Apakah aku terlambat mengucapkan? Atau terlalu cepat? Syukurlah jika lebih cepat, berarti kau tidak melambat.
(Aku pahami maksudnya, bahwa mas Rendra akan mengutus seseorang mengirimkan surat ini, jika aku telah berhasil membuka file penting itu. Dan kebetulan uulang tahunku di bulan depan. Mas Rendra menargetkan aku bisa memecahkan pesannya bulan depan. 'Kecepetan kamu mas, berarti aku cukup cepat memecahkan kode pesanmu kan, hehehe').
Aku baik-baik saja Rana, jangan cemas. Bagaimana kabar Ryan? Dia belajar dengan baik kan?
Aku kangen kamu dan anakku. Titip cium buat Ryan. Pesanku jangan suka rewel, nurut mama, dan belajar dengab baik.
Pesanku padamu: jangan lupa kasih makan Fanny, bawa jalan-jalan biar ga bosan dan ga kegendutan, masak badannya udah kayak hamil 5 bulan aja, jangan-jangan anaknya 7 tuh, haha. Dan mulai sekarang pakailah cincin kita biar kamu inget aku terus.
Oke itu saja. Sampai ketemu lagi. Oh ya ingat 2 sobatku kan, dia yang akan mengirimimu surat ini. Jangan pangling, mereka ga akan berubah, masih sama seperti dulu, saat kamu melihatnya untuk pertama kali ditempat itu. Mereka kalau ingat kamu, ingat tempat itu. Mereka geli mengingat ekspresimu waktu itu, hihihi.
Syairendra
Kalimat pesan mas Rendra adalah pesan yang hanya aku yang tahu. Kami punya kucing, berbulu lebat, bertubuh gendut. Memang seperti hamil dia, tapi namanya margy, bukan fanny.
Dia menyebut Fanny lalu angka 5 dan 7. Dan, cincin.
Dirawat? Ajak jalan? Apa? Aku harus membawanya keluar, membawanya kemana? Dan dua orang sobatnya, dan tempat itu. Apa maksudnya??
Aku kegudang mengambil pesanan mas Rendra FN fiveseven, mempersiapkan Ryan, menelepon mama. Dan, memakai cincin.
Aku membawa Ryan ketempat mama, menjelaskan yang perlu dijelaskan. Mama mudah paham, mungkin mama sudah menduga, atau sebenarnya tahu profesi anaknya. Dan mungkin mama sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Keesokan harinya aku siap berangkat, membawa semua perbekalan. Termasuk file penting itu. Mungkin sekarang, aku sudah terkenal, menjadi target seluruh mafia di negeri ini, gara-gara file ini. Selangkah aku keluar pintu rumah, selamanya aku akan menjadi buronan...
. . . . .
Aku sampai di tempat itu. Tempat yang dimaksud mas Rendra, saat pertama kali bertemu 2 sobatnya. Warung lamongan, dikota nostalgik itu. Aku menunggu dipinggir jalan. Berdiri tepat di trotoar, yang jika malam menjadi tempat digelarnya dagangan warung lamongan. Depanku adalah perempatan tempat seseorang dulu pernah tertembak.
Disini, di warung lamongan ini, malam itu saat mas Rendra berulang tahun, aku menyatakan kesediaanku menerimanya. Sebelumnya dia ingin melamarku. Tapi takpernah tersampaikan. Sampai suatu saat aku mendengarnya bercakap dengan si Robby, mengenai keinginannya melamarku dengan cincin itu. Cincin berukiran namaku dan namanya. Untuk yang ketiga kalinya, dia sungguh ingin melakukannya, atau tidak sama sekali. Tetapi sesuatu terjadi, hingga dia urungkan niatnya. Dan dia membuang cincin itu.
Cincin itu kini ada dijariku. Aku menatapnya dengan kerinduan akan segala memori masa lalu...
"Hai Rana.. kamu masih cantik saja. Ayo ikut, akan kubawa kau ketempat yang lebih nyaman."
Aku menodongkan pistolku ke arah pria itu. Dia sedikit kaget. "Siapa nama tengah yang kau pilihkan untuk putriku?"
"Rana, ayolah, bukan waktunya bercanda.. si jangkung sudah menunggu di mobil."
"Jawab pertanyaanku dulu!"
"Remington, bukan.. mm.. Galil? Ah tidak tunggu aku agak lupa, sst jangan katakan. Ah, Beretta!!"
Aku tersenyum lega, dia benar-benar Bobby, dan dia masih sama, selalu tidak serius dalam segala situasi, termasuk situasi serius.
Aku segera dibawa masuk mobil, menyapa Robby yang kaku dan tidak terlalu banyak bicara. "Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Bertemu Rendra, kangmas kesayangan. Bukankah itu misimu, green agent?" Bobby mencandaiku, berpura-pura menentir agen baru.
'Sebentar lagi aku akan bertemu kamu mas, tunggu aku. Aku sudah sangat rindu.
Tapiii.... bisakah kita hidup normal lagi, setelah ini?'
Bersambung...
Aku berjalan keluar rumah, melangkah seperti biasa agar dua orang agen itu tidak mencurigaiku. Menstarter mobil menuju sekolah Ryan. Huff, syukurlah mereka tidak membuntutiku.
Diperempatan 2 blok dari rumahku, aku memutar mobil, balik arah. Kali ini, aku tidak akan menjemput Ryan. Aku akan menjemput Rendra. Kulirik tas yang kutaruh ditempat duduk disampingku, 'aku membawa yang kau pesan mas, tunggu aku.'
Baru beberapa menit, sudah ada yang menghadang. Kulihat jalan didepan, dipenuhi mobil dan motor yang berhenti di tengah jalan, beberapa polisi dan pecahan kaca di aspal. Ada kecelakaan. 'Sial, aku bisa terlambat. Aku harus cari jalan lain, atau putar balik lagi.' Tapi sudah terlambat. Dibelakangku berderet kendaraan lain yang mengantri untuk lewat. Aku memutuskan untuk menunggu. Setelah 15 menit, kami dipebolehkan lewat.
Aku sampai ditujuan. Kuparkirkan mobil dan berjalan menuju stasiun kereta. Aman, sementara ini. Tapi,, sebentar... aku merasa ada yang membuntuti. Kupercepat langkah, dan ketika sampai di belokan aku berlari. Mereka mengejarku. Aku terus berlari, ah aku tidak tahu harus kemana, jalanan ini asing bagiku. Sial.
Aku berhenti, gang ini buntu. Hanya ada tembok (pagar), mungkin menuju rumah orang. Mereka sudah dibelakangku. Aku membalikkan badan, mereka mengacungkan senjata ke arahku.
"Rana, menyerahlah. Ayo ikut kami." Si tinggi kurus yang pertama membuka mulut.
"Atau kau serahkan file itu. Lalu kamu boleh pergi. Kami tidak akan mengganggu kamu dan anakmu lagi." Kali ini si gemuk yang bicara.
Sebentar, aku harus mengulur waktu, aku harus memastikan mereka tetap disana. "Tidak, tidak akan aku serahkan. Mas Rendra mempercayai kalian. Tetapi kenapa kalian khianat? Kalian tidak akan pernah mendapatkan file itu."
"Kalau itu maumu maaf kami harus menggunakan cara ini." Si kurus mengacungkan pistolnya tepat ke dadaku, dari jarak 6 meter, dia sebentar lagi akan menarik pelatukya.
Lalu... DUAAAAAARRR...
Si gendut terkena percikan dan si kurus terpecah fokusnya, aku memanfaatkan moment ini untuk memanjat tembok. Cukup mudah bagiku yang ramping. Ahh benar, ternyata ini menuju halaman belakang rumah orang. Aku harus memanjat lagi untuk keluar dari rumah orang tersebut. Aku beruntung takada yang melihat, sehingga tidak dikira maling.
Untunglah aku jadi membawa 'petasan' yang sedikit kumodif, sehingga daya ledakknya cukup membuat kaget dan luka bakar. Untuk sementara terlepas dari kejaran 2 orang itu. Mereka si kembar Robby-Bobby palsu.
Aku sadar mereka palsu tepat setelah selesai sidang Sarra.
. . . . .
"... kidal. Sarra yang di foto adalah gadis kidal. Sedangkan Sarra yang kita tahu sekarang bukanlah kidal. Begitu penjelasan saya Yang Mulia Hakim."
"Baiklah. Terimakasih saudara saksi ahli, Anda telah membeikan penjelasan yang cukup mengenai kondisi kejiwaan Sarra, teimakasih juga atas keterangan tambahannya, penjelasan Anda sangat membantu persidangan."
Hadirin saling berbisik, suasana cukup riuh. Sidang diskors, dan aku selesai dengan tugsku. Aku pergi ke toilet lalu bercermin, tersenyum puas memikirkan simpulan yang baru saja kusampaikan. Sarra dan Intan, seperti cermin ini. Sarra adalah bayangan Intan, bayangan serupa tapi taksama, puny sisi yang berbeda, kanan dan kiri.. BERBEDA!! Tunggu.... aku juga pernah menemui orang kidal lainnya.. seseorang yang kukenal cukup dekat juga kidal... BOBBY!! Iya dia kidal, tapii... malam itu....
Aku berusaha mengingat kejadian malam disaat Robby-Bobby datang membawa surat mas Rendra. Bobby menyerahkan surat itu dengan tangan kiri.
Tapii.... ada yang aneh...
Saat membantuku yang taksengaja akan menumpahkan gelas, dia reflek memegang nampan dan gelas dengan.. TANGAN KANANNYA!! DEG...
DEG..DEG..
Jantungku berdegup kencang. Selama ini aku telah diawasi orang lain, jangan-jangan mereka mata-mata pihak musuh. Ya, tidak salah lagi, mereka mata-mata. Aah bodohnya aku, kuizinkan mereka memasang kamera di hampir semua sudut rumah. Kadang kutitipkan rumah saat kosong ke mereka.
. . . . .
Selesai sidang aku bergegas pulang, menjemput Ryan. Aku harus menyusun rencana. Kubuka lagi surat kedua dari mas Rendra, yang penuh pesan.
Dear Rana,
Selamat ulang tahun.. Apakah aku terlambat mengucapkan? Atau terlalu cepat? Syukurlah jika lebih cepat, berarti kau tidak melambat.
(Aku pahami maksudnya, bahwa mas Rendra akan mengutus seseorang mengirimkan surat ini, jika aku telah berhasil membuka file penting itu. Dan kebetulan uulang tahunku di bulan depan. Mas Rendra menargetkan aku bisa memecahkan pesannya bulan depan. 'Kecepetan kamu mas, berarti aku cukup cepat memecahkan kode pesanmu kan, hehehe').
Aku baik-baik saja Rana, jangan cemas. Bagaimana kabar Ryan? Dia belajar dengan baik kan?
Aku kangen kamu dan anakku. Titip cium buat Ryan. Pesanku jangan suka rewel, nurut mama, dan belajar dengab baik.
Pesanku padamu: jangan lupa kasih makan Fanny, bawa jalan-jalan biar ga bosan dan ga kegendutan, masak badannya udah kayak hamil 5 bulan aja, jangan-jangan anaknya 7 tuh, haha. Dan mulai sekarang pakailah cincin kita biar kamu inget aku terus.
Oke itu saja. Sampai ketemu lagi. Oh ya ingat 2 sobatku kan, dia yang akan mengirimimu surat ini. Jangan pangling, mereka ga akan berubah, masih sama seperti dulu, saat kamu melihatnya untuk pertama kali ditempat itu. Mereka kalau ingat kamu, ingat tempat itu. Mereka geli mengingat ekspresimu waktu itu, hihihi.
Syairendra
Kalimat pesan mas Rendra adalah pesan yang hanya aku yang tahu. Kami punya kucing, berbulu lebat, bertubuh gendut. Memang seperti hamil dia, tapi namanya margy, bukan fanny.
Dia menyebut Fanny lalu angka 5 dan 7. Dan, cincin.
Dirawat? Ajak jalan? Apa? Aku harus membawanya keluar, membawanya kemana? Dan dua orang sobatnya, dan tempat itu. Apa maksudnya??
Aku kegudang mengambil pesanan mas Rendra FN fiveseven, mempersiapkan Ryan, menelepon mama. Dan, memakai cincin.
Aku membawa Ryan ketempat mama, menjelaskan yang perlu dijelaskan. Mama mudah paham, mungkin mama sudah menduga, atau sebenarnya tahu profesi anaknya. Dan mungkin mama sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Keesokan harinya aku siap berangkat, membawa semua perbekalan. Termasuk file penting itu. Mungkin sekarang, aku sudah terkenal, menjadi target seluruh mafia di negeri ini, gara-gara file ini. Selangkah aku keluar pintu rumah, selamanya aku akan menjadi buronan...
. . . . .
Aku sampai di tempat itu. Tempat yang dimaksud mas Rendra, saat pertama kali bertemu 2 sobatnya. Warung lamongan, dikota nostalgik itu. Aku menunggu dipinggir jalan. Berdiri tepat di trotoar, yang jika malam menjadi tempat digelarnya dagangan warung lamongan. Depanku adalah perempatan tempat seseorang dulu pernah tertembak.
Disini, di warung lamongan ini, malam itu saat mas Rendra berulang tahun, aku menyatakan kesediaanku menerimanya. Sebelumnya dia ingin melamarku. Tapi takpernah tersampaikan. Sampai suatu saat aku mendengarnya bercakap dengan si Robby, mengenai keinginannya melamarku dengan cincin itu. Cincin berukiran namaku dan namanya. Untuk yang ketiga kalinya, dia sungguh ingin melakukannya, atau tidak sama sekali. Tetapi sesuatu terjadi, hingga dia urungkan niatnya. Dan dia membuang cincin itu.
Cincin itu kini ada dijariku. Aku menatapnya dengan kerinduan akan segala memori masa lalu...
"Hai Rana.. kamu masih cantik saja. Ayo ikut, akan kubawa kau ketempat yang lebih nyaman."
Aku menodongkan pistolku ke arah pria itu. Dia sedikit kaget. "Siapa nama tengah yang kau pilihkan untuk putriku?"
"Rana, ayolah, bukan waktunya bercanda.. si jangkung sudah menunggu di mobil."
"Jawab pertanyaanku dulu!"
"Remington, bukan.. mm.. Galil? Ah tidak tunggu aku agak lupa, sst jangan katakan. Ah, Beretta!!"
Aku tersenyum lega, dia benar-benar Bobby, dan dia masih sama, selalu tidak serius dalam segala situasi, termasuk situasi serius.
Aku segera dibawa masuk mobil, menyapa Robby yang kaku dan tidak terlalu banyak bicara. "Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Bertemu Rendra, kangmas kesayangan. Bukankah itu misimu, green agent?" Bobby mencandaiku, berpura-pura menentir agen baru.
'Sebentar lagi aku akan bertemu kamu mas, tunggu aku. Aku sudah sangat rindu.
Tapiii.... bisakah kita hidup normal lagi, setelah ini?'
Bersambung...
Senin, 18 Januari 2016
'Sahabat' Rendra Psycho #3
"Happy birthday..." kusodorkan kue tart berhias dua boneka serupa manusia ke depan Rendra. Rendra lalu meniup lilin dan tersenyum. "Trimakasih Rana, Dek Rana.. sa..."
Aku seketika mendengus, mencegah Rendra mengatakan kata 'sayang'. Sudah menjadi kesepakatan untuk tidak menggunakan kata ini, saat masih dalam tahap 'kenalan' ini. Aku sedikit risih.
"Maaf deh, hampir keceplosan. Biasanya kalo ga sengaja gini, malah tulus dari dalam hati lho." Rendra menggodaiku. "Ngomong-ngomong, ini siapa nih, Ryandra-Kirana?" Rendra menunjuk dua boneka di atas tart.
"Nama anak-anakku." Jawabku singkat.
"Masa' namanya cuma sekata gini.."
"Aku belum menemukan nama tengahnya, tapi nama belakangnya udah ada."
"Siapa?"
Aku menunjuk dada kiri Rendra. Ada nama tersemat di atas kemeja kerjanya.
Rona merah terlihat di pipi Rendra saat dia tesenyum. "Jangan terlalu percaya diri. Hidup tak semudah itu."
"Aku percaya padamu, Rendra." Kutatap matanya yang lembut dan penyayang.
"Ranaa..... ada yang ingin kusampaikan. Sebenarnya......"
AAAAAARRGGGHH!!!
Seseorang berteriak. "Aa..ada orang tertembaaaak..."
Perempatan di depan warung lamongan tempat kami berada mulai dipenuhi kerumunan orang. Aku dan Rendra ikut merangsek, lalu kulihat sosok pria muda tergelatak lemah di lantai.
"Panggilkan ambulans!!" Teriak seorang bapak yang sedang memeriksa tubuh tadi.
"Cepat kita pergi." Bisikan Rendra menyadarkanku yang sedang fokus pada tubuh yang bersimbah darah. Rendra berjalan keluar kerumunan, kususul dari belakang. Langkahnya makin cepat. Lama-lama dia berlari. "Mau kemana Ren?" Rendra terus berlari dalam diam. Sesekali menengok kanan kiri dan belakang.
Sesampainya di belokan gelap, Rendra memelankan langkah, tangannya mengaba agar aku tetap di belakang. Dan aku melihatnya..
Lelaki paruh baya yang tadi berteriak pertama, membuang sesuatu di tempat sampah. Sepertinya, sarung tangan hitam dan.. pistol!! Lelaki itu celingukan lalu cepat-cepat pergi. Rendra membuntuti lelaki itu, setelah memberiku arahan untuk tetap di tempat.
Si pelaku mencoba berlari setelah tahu dia dibuntuti Rendra. Tetapi, Rendra lebih cepat, dengan sigap dia membekuk si pelaku. Dia mengikat tangan si pelaku dengan jaket yang lelaki itu kenakan.
Mulutku menganga, terheran dengan kelihaian Rendra. Kemudian, kulihat mereka untuk pertama kalinya. Dua orang: satu kurus tinggi, satunya bertubuh pendek gempal. Keduanya memakai jaket kulit hitam, topi dan kacamata. Rendra sempat berbincang dengan keduanya, lalu menyerahkan pelaku, kepada dua orang tadi.
Rendra menghampiriku yang masih terlihat syok. "Rana, kamulah orang dekatku yang pertama, yang tahu hal ini. Akan kuceritakan semua rahasiaku padamu. Rana, sayang, aku mempercayaimu. Dan aku ingin mengatakan kata 'sayang', seumur hidupku, kepadamu."
. . . . .
"Sob, kami pamit dulu. Cepet sembuh buat nak Ryan. Kamu cepet kembali ke 'kantor' ya. Bos sudah menunggu." Kedua pria itu berpamitan. Jaket, topi hitam, serta kacamata kali ini tidak mereka kenakan. Ini kali kedua aku melihat mereka. Sahabat dekat Rendra.
"Mereka adalah Robby dan Bobby, partner kerja sekaligus sobatku. Satu-satunya sobat. Kalau suatu saat aku bilang sobat, yah itu berarti cuma mereka berdua. Mereka kembar tapi tidak identik."
Mereka adalah dua orang misterius yang bertemu Rendra saat menangkap pelaku penembakan itu. Pasca Ryan dioperasi, mereka jadi sering membantu keluarga kami.
Saat itu usia pernikahan kami masih seumur jagung. Musibah menimpa kami. Ryan harus dioperasi, colostomy, stoma dibuat diperutnya. Dia didiagnosa megacolon kongenital. Waktu itu mau tidak mau tabungan sekolahku dan mas Rendra harus digunakan untuk perawatan Ryan. Mereka banyak membantu perekonomian kami.
Enam bulan lamanya kami saling interaksi, sudah seperti keluarga. Kemudian mereka pergi, tanpa ada kabar.
Dan, setelah hampur 7 tahun, mereka kembali. Malam ini.
. . . . .
Malam ini.....
Rrr..rr...rrrr...
Ting tong ting tong...
Apa yang harus kulakukan? Mengangkat telepon dulu, atau membuka pintu?
Aku mendekat ke meja telepon. Berhenti sejenak saat akan mengangkat telepon. Belum sampai tanganku memegang gagang telepon, bunyi dering berhenti. Muncul nomor di layar telepon, kucoba telepon balik, tetapi tidak tersambung.
Dua orang dihalaman depan, masih bersikeras membunyikan bel rumah. Aku semakin takut. Tetapi kucoba memberanikan diri, berjalan mendekati pintu dan membukanya. Ah, barangkali mereka datang membawa kabar dari mas Rendra, pikirku.
Dua orang laki-laki dihadapanku, satu bertubuh tinggi kurus, satunya bertubuh gemuk pendek.
"Robby...Bobby...."
"Bolehkah kami masuk? Kami membawa surat dari Rendra."
"Dimana mas Rendra, apa dia masih hidup?"
"Maaf Rana, bolehkah kami masuk dan duduk?"
Mereka kupersilakan masuk dan duduk. Lalu, menceritakan semua yang terjadi pada mas Rendra.
"Dia ada di tempat aman, tapi kami tidak bisa memberitahumu sekarang. Dia sedang menjalankan misi dari bos, dan kami tidak tahu pasti apa misinya."
Syukurlah, itu membuatku lega. Surat dari mas Rendra kubaca dan kusimpan. Benar, itu tulisan tangannya, dia bilang dia baik-baik saja.
Aku ke dapur, membuatkan mereka minuman dan menyiapkan beberapa kue.
Saat akan menyajikan, tiba-tiba tanganku kram, nampan yang kubawa hampir jatuh, tetapi Bobby dengan sigap menolongku.
"Hahaha, terimakasih, aku ditolong seorang agen terlatih, hanya demi masalah sepele gelas jatuh begini."
"Istirahatlah Rana, kami tahu kamu pasti masih syok dan lelah. Tidak perlu repot-repot membawakan makan sgala."
Mereka pamit setelah menghabiskan dua cangkir teh hijau dan beberapa kue.
. . . . .
Hari-hariku selanjutnya kulalui dengan cukup lega, aku tahu mas Rendra masih hidup, mengirimiku kabar bahwa dia aman, serta ada dua orang sahabat dekatnya yang menjaga dan mengawasi rumahku dari orang asing yang mencurigakan. Aku tahu bahwa mas Rendra punya file penting yang harus dilindungi.
Lusa adalah hari putusan sidang Sarra, aku disibukkan dengan merangkum semua detil percakapan dan menyimpulkan kondisi Sarra. Ada sesuatu yang masih saja mengganjal. Iseng aku cari di internet situs tentang yayasan yatim piatu tempat Sarra diasuh. Rupanya situs ini sudah tidak up to date, tetapi data-data lama masih bisa diakses.
Dan kutemukan artikel ini:
Intan Permata, 8th, meninggal: leukimia.
Barangkali ini sahabat Sarra yang meninggal karena leukimia.
Dan kutemukan testimoni ini, satu-satunya testimoni, tertulis 3 tahun setelahnya:
Aku baru tahu sahabatku meninggal, karena kabar yang beredar Intan yang meninggal, ternyata dirimu sayang. Maaf lama aku tak mengunjungimu.
Turut berduka cita, smoga amal baikmu diterima-Nya. RIP untuk sahabat baikku Sarra.
Sudah kuduga. Sesuatu terjadi di masa lalu. Langsung aku message si pembuat testimoni. Ku ajak dia bertemu, menceritakan semua tentang Sarra.
Hari berikutnya aku kembali mengunjungi yayasan, meminta izin untuk meminjam beberapa foto jadul Sarra, bertemu dengan sahabat lama Sarra, dan berhasil mendapatkan beberapa foto Sarra yang lain.
Nah..
Sudah jelas sekarang. Bagaimana tersangka Sarra, menipu semua orang. Dan aku bisa membuktikannya.
Bersambung...
Aku seketika mendengus, mencegah Rendra mengatakan kata 'sayang'. Sudah menjadi kesepakatan untuk tidak menggunakan kata ini, saat masih dalam tahap 'kenalan' ini. Aku sedikit risih.
"Maaf deh, hampir keceplosan. Biasanya kalo ga sengaja gini, malah tulus dari dalam hati lho." Rendra menggodaiku. "Ngomong-ngomong, ini siapa nih, Ryandra-Kirana?" Rendra menunjuk dua boneka di atas tart.
"Nama anak-anakku." Jawabku singkat.
"Masa' namanya cuma sekata gini.."
"Aku belum menemukan nama tengahnya, tapi nama belakangnya udah ada."
"Siapa?"
Aku menunjuk dada kiri Rendra. Ada nama tersemat di atas kemeja kerjanya.
Rona merah terlihat di pipi Rendra saat dia tesenyum. "Jangan terlalu percaya diri. Hidup tak semudah itu."
"Aku percaya padamu, Rendra." Kutatap matanya yang lembut dan penyayang.
"Ranaa..... ada yang ingin kusampaikan. Sebenarnya......"
AAAAAARRGGGHH!!!
Seseorang berteriak. "Aa..ada orang tertembaaaak..."
Perempatan di depan warung lamongan tempat kami berada mulai dipenuhi kerumunan orang. Aku dan Rendra ikut merangsek, lalu kulihat sosok pria muda tergelatak lemah di lantai.
"Panggilkan ambulans!!" Teriak seorang bapak yang sedang memeriksa tubuh tadi.
"Cepat kita pergi." Bisikan Rendra menyadarkanku yang sedang fokus pada tubuh yang bersimbah darah. Rendra berjalan keluar kerumunan, kususul dari belakang. Langkahnya makin cepat. Lama-lama dia berlari. "Mau kemana Ren?" Rendra terus berlari dalam diam. Sesekali menengok kanan kiri dan belakang.
Sesampainya di belokan gelap, Rendra memelankan langkah, tangannya mengaba agar aku tetap di belakang. Dan aku melihatnya..
Lelaki paruh baya yang tadi berteriak pertama, membuang sesuatu di tempat sampah. Sepertinya, sarung tangan hitam dan.. pistol!! Lelaki itu celingukan lalu cepat-cepat pergi. Rendra membuntuti lelaki itu, setelah memberiku arahan untuk tetap di tempat.
Si pelaku mencoba berlari setelah tahu dia dibuntuti Rendra. Tetapi, Rendra lebih cepat, dengan sigap dia membekuk si pelaku. Dia mengikat tangan si pelaku dengan jaket yang lelaki itu kenakan.
Mulutku menganga, terheran dengan kelihaian Rendra. Kemudian, kulihat mereka untuk pertama kalinya. Dua orang: satu kurus tinggi, satunya bertubuh pendek gempal. Keduanya memakai jaket kulit hitam, topi dan kacamata. Rendra sempat berbincang dengan keduanya, lalu menyerahkan pelaku, kepada dua orang tadi.
Rendra menghampiriku yang masih terlihat syok. "Rana, kamulah orang dekatku yang pertama, yang tahu hal ini. Akan kuceritakan semua rahasiaku padamu. Rana, sayang, aku mempercayaimu. Dan aku ingin mengatakan kata 'sayang', seumur hidupku, kepadamu."
. . . . .
"Sob, kami pamit dulu. Cepet sembuh buat nak Ryan. Kamu cepet kembali ke 'kantor' ya. Bos sudah menunggu." Kedua pria itu berpamitan. Jaket, topi hitam, serta kacamata kali ini tidak mereka kenakan. Ini kali kedua aku melihat mereka. Sahabat dekat Rendra.
"Mereka adalah Robby dan Bobby, partner kerja sekaligus sobatku. Satu-satunya sobat. Kalau suatu saat aku bilang sobat, yah itu berarti cuma mereka berdua. Mereka kembar tapi tidak identik."
Mereka adalah dua orang misterius yang bertemu Rendra saat menangkap pelaku penembakan itu. Pasca Ryan dioperasi, mereka jadi sering membantu keluarga kami.
Saat itu usia pernikahan kami masih seumur jagung. Musibah menimpa kami. Ryan harus dioperasi, colostomy, stoma dibuat diperutnya. Dia didiagnosa megacolon kongenital. Waktu itu mau tidak mau tabungan sekolahku dan mas Rendra harus digunakan untuk perawatan Ryan. Mereka banyak membantu perekonomian kami.
Enam bulan lamanya kami saling interaksi, sudah seperti keluarga. Kemudian mereka pergi, tanpa ada kabar.
Dan, setelah hampur 7 tahun, mereka kembali. Malam ini.
. . . . .
Malam ini.....
Rrr..rr...rrrr...
Ting tong ting tong...
Apa yang harus kulakukan? Mengangkat telepon dulu, atau membuka pintu?
Aku mendekat ke meja telepon. Berhenti sejenak saat akan mengangkat telepon. Belum sampai tanganku memegang gagang telepon, bunyi dering berhenti. Muncul nomor di layar telepon, kucoba telepon balik, tetapi tidak tersambung.
Dua orang dihalaman depan, masih bersikeras membunyikan bel rumah. Aku semakin takut. Tetapi kucoba memberanikan diri, berjalan mendekati pintu dan membukanya. Ah, barangkali mereka datang membawa kabar dari mas Rendra, pikirku.
Dua orang laki-laki dihadapanku, satu bertubuh tinggi kurus, satunya bertubuh gemuk pendek.
"Robby...Bobby...."
"Bolehkah kami masuk? Kami membawa surat dari Rendra."
"Dimana mas Rendra, apa dia masih hidup?"
"Maaf Rana, bolehkah kami masuk dan duduk?"
Mereka kupersilakan masuk dan duduk. Lalu, menceritakan semua yang terjadi pada mas Rendra.
"Dia ada di tempat aman, tapi kami tidak bisa memberitahumu sekarang. Dia sedang menjalankan misi dari bos, dan kami tidak tahu pasti apa misinya."
Syukurlah, itu membuatku lega. Surat dari mas Rendra kubaca dan kusimpan. Benar, itu tulisan tangannya, dia bilang dia baik-baik saja.
Aku ke dapur, membuatkan mereka minuman dan menyiapkan beberapa kue.
Saat akan menyajikan, tiba-tiba tanganku kram, nampan yang kubawa hampir jatuh, tetapi Bobby dengan sigap menolongku.
"Hahaha, terimakasih, aku ditolong seorang agen terlatih, hanya demi masalah sepele gelas jatuh begini."
"Istirahatlah Rana, kami tahu kamu pasti masih syok dan lelah. Tidak perlu repot-repot membawakan makan sgala."
Mereka pamit setelah menghabiskan dua cangkir teh hijau dan beberapa kue.
. . . . .
Hari-hariku selanjutnya kulalui dengan cukup lega, aku tahu mas Rendra masih hidup, mengirimiku kabar bahwa dia aman, serta ada dua orang sahabat dekatnya yang menjaga dan mengawasi rumahku dari orang asing yang mencurigakan. Aku tahu bahwa mas Rendra punya file penting yang harus dilindungi.
Lusa adalah hari putusan sidang Sarra, aku disibukkan dengan merangkum semua detil percakapan dan menyimpulkan kondisi Sarra. Ada sesuatu yang masih saja mengganjal. Iseng aku cari di internet situs tentang yayasan yatim piatu tempat Sarra diasuh. Rupanya situs ini sudah tidak up to date, tetapi data-data lama masih bisa diakses.
Dan kutemukan artikel ini:
Intan Permata, 8th, meninggal: leukimia.
Barangkali ini sahabat Sarra yang meninggal karena leukimia.
Dan kutemukan testimoni ini, satu-satunya testimoni, tertulis 3 tahun setelahnya:
Aku baru tahu sahabatku meninggal, karena kabar yang beredar Intan yang meninggal, ternyata dirimu sayang. Maaf lama aku tak mengunjungimu.
Turut berduka cita, smoga amal baikmu diterima-Nya. RIP untuk sahabat baikku Sarra.
Sudah kuduga. Sesuatu terjadi di masa lalu. Langsung aku message si pembuat testimoni. Ku ajak dia bertemu, menceritakan semua tentang Sarra.
Hari berikutnya aku kembali mengunjungi yayasan, meminta izin untuk meminjam beberapa foto jadul Sarra, bertemu dengan sahabat lama Sarra, dan berhasil mendapatkan beberapa foto Sarra yang lain.
Nah..
Sudah jelas sekarang. Bagaimana tersangka Sarra, menipu semua orang. Dan aku bisa membuktikannya.
Bersambung...
Sabtu, 16 Januari 2016
File Rahasia Psycho #2
"Nak, Sarra... Apakah Sarra sayang sama mama?"
Bocah 5th itu menggangguk, "Sarra sayang mama." Wajahnya kini telah pulih, bekas lebam dimatanya sudah tak terlihat, kesedihan dan ketakutan karena trauma sama sekali tidak tampak di wajahnya.
Ia berjalan ke arah ibunya dan mencium tangannya. Sang ibu mencium kening Sarra tanpa ekspresi.
Suasana haru menyelimuti ruang persidangan. Hari itu adalah hari ditetapkannya keputusan hukuman terhadap seorang ibu yang diduga menganiaya anak kandungnya....
. . . . .
Rrrr...rrr..rrrr
Dering telepon rumah membangunkanku. Rupanya aku ketiduran setelah capek membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, dan mengantar Ryan ke sekolah.
"Hallo, dengan ibu Rana? Ini Sisca gurunya Ryan bu, maaf bu, anak- anak kami larang membawa handphone bu, karena piknik hanya setengah hari saja, nanti guru yang mengabari orang tua kalau anak tiba-tiba sakit, atau rewel. Maaf ya bu, hape Ryan saya simpan di sekolah, demi keamanan juga."
Telepon langsung kututup setelah mengiyakan permintaan guru. Biasanya aku sedikit kritis, tetapi kali ini pikiranku sedang kurang fokus.
Sudah 3 minggu sejak kepergian mas Rendra, aku jadi sedikit terlalu bersemangat jika ada dering telepon dan langsung kecewa begitu tahu telepon itu bukan dari mas Rendra.
Tambah lagi, putusan sidang kasus Sarra akan ditetapkan minggu depan, tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal.
Siang ini adalah kali kedua aku bermimpi tentang Sarra 5 tahun, saat aku menjadi saksi ahli di persidangan kasus penganiayaan Sarra oleh ibu kandungnya. Kala itu ibunya dijatuhi hukuman penjara, dan Sarra diasuh oleh ayahnya, aku sudah tidak tahu nasib anak itu setelahnya. Dan sekarang, saat Sarra 16 tahun takdir mempertemukanku dengannya. Hanya saja aku tidak merasa menemui gadis yang sama. Aku merasa Sarra yang sekarang bukanlah Sarra yang kutemui dulu. Bukan karena pribadinya yang sudah berubah dewasa.
Aku merasa Sarra yang kutemui dulu dan sekarang adalah 2 orang yang berbeda.
. . . . .
Tiga hari lalu, aku sengaja menyelidiki masa lalu Sarra, dimana dia tinggal setelah ibunya dipenjara. Aku mendapatkan sebuah alamat dari wali kelas SMP nya. Ku sambangi alamat itu.
"Selamat siang, saya dokter Rana, saya mendapat alamat ini dari ibu guru Sarra, saya ingin menemui ketua yayasan, dan apakah benar bu, Sarra Natalie pernah diasuh disini?"
"Sebentar bu, saya carikan datanya, jika ads keperluan, silakan anda tunggu disana, kami akan lapor ketua yayasan."
Dan selama hampir 4 jam, aku mendapat cerita keseluruhan tentang Sarra, mulai dari bagaimana ayah dan ibu kandungnya meninggal, lalu Sarra 7 tahun dibawa ke yayasan anak yatim piatu ini. Sarra tumbuh sebagai anak yang cemerlang, sopan dan sangat penyayang. Sarra bahagia tinggal disana, sampai akhirnya dia memutuskan ingin melanjutkan sekolah dengan beasiswa. Ketua bercerita bagaimana dia bisa masuk SMP dan membiayai hidupnya.
"Paginya sekolah, siang sampai malam dia berjualan makanan ringan, dia tinggal di sebuah keluarga yang berwirausaha, home industri makanan ringan. Kebetulan keluarga itu anaknya sudah besar-besar, sudah sukses semua. Sarra menawarkan diri membantu usaha dan diizinkan tinggal disana."
Hidup yang sungguh berat, batinku.
"Sarra sempat menengok saya, terakhir saat akan naik kelas 2 SMP, dia bercerita kalau dirinya bahagia. Dia bilang selalu bersyukur dengan hidupnya. Hanya satu hal yang dia sesali dan sempat membuatnya sedih, dia tidak bisa membahagiakan papa mamanya. Dan dia sedih karena tidak punya saudara. Pernah Sarra mempunyi teman dekat disini, tetapi kemudian meninggal karena leukimia, mereka sudah seperti saudara, bahkan mereka berbagi nama, Sarra sering memanggilnya dengan nama belakangnya, *Natalie*."
"Dua sejoli Sarra dan Natalie. Apakah Anda punya foto mereka?"
Dan kunjungan itu ditutup dengan melihat foto-foto jadul Sarra.
. . . . .
Nguuing..nguuiing... nguuing.. plok!!
"Yaah, kena kepala mama, jatuh deh pesawatnya."
"Ryan sayang, sini nak, minta maaf sama mama udah ngenain kepala mama"
"Iya deh, maaf ya ma." Muka Ryan masam dan tertekuk.
"Anak mama jangan ngambekan gitu donk, sini, sini, mama gelitikin."
"Aww, aww,, hihihi,, mama, geliii,, hihihi, hehehe,,aww"
"Mama gemees deeh"
"Maaa, papa kok ga pulang-pulang sih, luar kotanya jauh ya ma."
Aku tersenyum masam, "Doain papa ya sayang, moga selamat, dan bisa kembali cepat, ntar papa pulang naik pesawat kayak gini, nguing, nguing, trus sampe deh di depan rumah."
"Papa naik pesawat? Sampe depan rumah? Kata bu guru pesawat turunnya di bandara, kalo habis dari bandara naik mobil sampe rumah."
"Iya, sayang, harus ke bandara dulu, nanti sampe bandara Ryan sama mama jemput papa, trus sampe rumah deh. Good boy, tidur dulu ya, udah malem, besok bangun pagi, trus sekolah deh." ku kecup keningnya, dan ku antar dia sampai tempat tidur.
Kupungut kertas mainan pesawat-pesawatan yang dia buat, hmm.. anakku sudah pandai melipat, sangat presisi, persis seperti ayahnya.
Daan..
Daan..
Simbol itu membuatku tercengang, di sayap kanan kiri pesawat ada simbol titik dan coret.
"Ini kaan.. (· · · – – – · · ·) kode morse, SOS!!
Aku baru tersadar, kalau kertas itu berwarna kuning, dengan tulisan kecil-kecil, kertas pesan mas Rendra. Rupanya, mas Rendra telah menggunakan kode morse coret dan titik berderet tiga-tiga ini, sebagai border kertas, hatiku mencelos, aku baru menyadarinya.
Aku langsung ke kamar tidur kami, memeriksa apa saja yang janggal.
Ada note berisi kertas-kertas kuning, disana ada bekas sobekan kertas, kertas itu yang digunakan mas Rendra menulis pesan. Dan sesuatu yang lebih menarik ada di sampingnya. Salah satu koleksi buku mas Rendra, agak mencuat keluar dibanding buku-buku lainnya, ini tidak biasa mengingat mas Rendra sangat teliti dan presisi. Itu artinya buku ini baru selesai dibaca dan dikembalikan dengan terburu olehnya, atau mas Rendra ingin aku membacanya.
Mas Rendra sengaja melakukannya sebagai petunjuk.
Mas Rendra sengaja melakukannya sebagai petunjuk.
Kubuka dengan terburu-buru, takada apapun terselip, takada sesuatu yang janggal. Hanya saja... buku itu adalah buku berisi penjelasan berbagai jenis senjata api dari seluruh dunia. Aku teringat mas Rendra pernah bilang kalau penting aku harus tahu jenis-jenis senjata, suatu saat aku harus mahir menggunakan senjata.
Lalu kulihat laptop mas Rendra, coba kubuka lagi laptopnya. Setelah beberapa hari belakangan kubuka file-file pekerjaannya. Aku teringat ada sebuah file yang diprotect, dan memerlukan password untuk membukanya.
Hatiku tiba-tiba tergerak membuka file itu, mencoba memasukkan password. Ada 6 digit yang harus kumasukkan.
SOS: Help--> TOLONG
Kuketik kata tersebut..
Hmm belum bisa terbuka, aku masih punya 2 kesempatan lagi.
Mungkin... MAYDAY...
Huff, bukaan.. satu kesempatan lagi..
SOS.. SOS.. SOS.. SOS.. SOS.. SOS!! JERMAN!!
Dengan keyakinan dan sedikit ketakutan, kuketik kata ini...
Dan...
Klik, correct pasword...
Yeaah, teringat mas Rendra yang sering menceramahiku soal ini, "kita harus tahu sejarah dek, karena sejarah adalah masa lalu dan masa depan"
SOS pertama kali digunakan di jerman, NOTRUF adalah bahasa jerman, 6 huruf.
Satu persatu file-file itu terbuka..
Satu persatu file-file itu terbuka..
Tapii... apa-apaan ini... file ini......
Deretan foto-foto, artikel, cuplikan berita, video...
Deretan foto-foto, artikel, cuplikan berita, video...
Beberapa gambar yang familiar di televisi, dan iii..iniiii..
140116
Berita yang sedang hangat di televisi, akhir-akhir ini, 3 minggu lalu sebelum mas Rendra menghilang..
Mas... kamu tidak... terlibat.. iniii kaan....
Rrrr..rrr..rrr.. telepon rumah berbunyi
Aku bersegera beranjak ke bawah.
Tap..tapi.. ada firasat buruk.. haruskah kuangkat telepon ini.....
Tap..tapi.. ada firasat buruk.. haruskah kuangkat telepon ini.....
Haruskah!!!
Ting tong ting tong... aku tersentak, kaget dan terhenyak..
Apa yang harus kulakukan.. mengangkat telepon,, membuka pintu...
Seseorang, bukaan ada dua orang....
Maaas tolong, tolong aku, akuuuu takut!!
Bersambung..
Kamis, 14 Januari 2016
Psycho
Seperti biasa, pukul 22:00, dia sudah sampai di Hek Pojok Kota. Sebuah angkringan dengan menu nasi kucing, gorengan, sate, dan berbagai minuman hangat, berdiri didepan gang di daerah pinggiran ibukota. Adalah rutinitasnya selepas pulang kerja mampir disana, dia dengan kemeja biru panjang, digulung sampai lengan, celana panjang necis, dan sepatu hitam mengkilat.
"Mas Rahmat.. monggo mas pinarak, seperti biasa nggih mas..."
"Tambah kopi hangat, dek"
"Tumben ngopi mas, dulu njenengan bilang kalau sudah dilarang isteri minum kopi, atau malah sedang *ngidam* ini?"
"Mboten dek, cuma nanti mau begadang, nemenin ibunya Ryan yang juga begadang"
"Wah, ada pasien sulit lagi mas? Mbok dibilangin isterinya, jangan capek2, nanti adeknya Ryan ga jadi-jadi..hehe"
"Iya dek, memang tumben ini, sepertinya kasus pasiennya cukup melibatkan emosi isteri, saya ikut menjaga saja, supaya ada teman saat kerja"
Pukul 22:45 dia sudah pamit, 20 menit lebih cepat dari hari sebelumnya. Kali ini dia sedikit cemas dengan kondisi isterinya, dia harus setidaknya menenangkan sang isteri, karena besok adalah hari yang penting bagi isterinya.
. . . . .
"Dokter Rana, apakah benar Anda sudah mengenal Sarra sejak usia 5 tahun?"
"Iya Yang Mulia"
"Bagaimana Anda mendeskripsikan Sarra 5 th?"
"Tidak ada yang istimewa, Yang Mulia, seperti anak perempuan sebayanya."
"Apakah Anda menduga adanya gangguan psikis pada Sarra usia 5 th?"
"Setelah kejadian tersebut, dan kondisi fisiknya pulih, tidak ada, Yang Mulia"
"Saudari Rana, apakah menurut pengetahuan Anda sebagai seorang ahli Psikiatri, pada kondisi Sarra yang sekarang, terdapat bukti adanya gangguan kejiwaan?"
"Secara umum, perilaku Sarra sesuai dengan usianya sekarang, yaitu 16 tahun, Sarra dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan jujur, kemampuan kognitifnya baik."
"Bisakah Anda simpulkan, kondisi kejiwaan Sarra baik?"
"Tidak sepenuhnya, Sarra mengalami gangguan mood yang intermitten atau hilang timbul, dan jenis kepribadian skizotipal yang potensial memicu skizofrenia, meski begitu hal ini belum sampai mengancam nyawa diri sendiri maupun orang lain, Yang Mulia."
"Terimakasih dokter Rana Khairunia spesialis kejiwaan, selaku saksi ahli, keterangan Anda kami rasa cukup, kasus ini akan kami...."
"Maaf, Yang Mulia, mohon izin, sebagai teman lama, saya ingin.. paling tidak.. membantu Sarra secara moril, bisakah saya diizinkan menemui tersangka?
"Kami pertimbangkan, tetapi Anda tidak diizinkan menemui Sarra di luar tahanan, selama kasus ini masih bergulir."
"Baik, Yang Mulia"
. . . . .
"Dok, suara itu datang lagi, dok, suara itu lagi, tolong dok"
"Apa yang kamu dengar Sarra?"
"Lelaki tua itu bilang, Dok, kalau saya harus mati, saya harus bertanggungjawab, Dok, saya tidak pernah mendorong Maky, tolong saya Dok, saya tidak salah."
"Suara itu tidak nyata, Sarra saya tahu kamu tidak salah. Saya akan membersihkan namamu."
"Terimakasih Dokter Rana, Anda membantu saya untuk kedua kalinya"
"Sarra, ada yang ingin saya tanyakan padamu." Kali ini mataku beradu tajam dengan matanya. "Sarra apakah kamu menyayangi ibumu?"
"Kenapa Anda tanyakan ini pada saya Dok? Anda tahu sendiri kan? Ibu saya sudah memberi saya kenangan pahit, ibu saya..."
"Sarra, apakah kamu menyayangi ibu kandungmu?" Mataku tak lepas tertuju pada gadis dihadapanku, gadis 16 tahun, tersangka pembunuhan, mataku perih menahan kedip untuk memastikan alat scannya bekerja baik, aku menscan isi hatimu Sarra, katakan apapun, aku pasti tahu kebenarannya.....
"Te..tentu saja aku sayang ibuku" Sarra menjawab dengan terbata setelah 5 menit kesunyian, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Baik, saya kira sudah cukup, saya harus kembali bekerja"
"Terimakasih dok, sekali lagi terimakasih dokter mau membantu saya. Oh ya dok, hati-hati di jalan dan jangan capek-capek ya dok, dokter harus jaga kandungan. Semoga calon putri Anda secantik dan sebaik diri Anda Dok."
Sekali lagi, aku harus terkejut, gadis ini memang mengejutkan sejak pertama bertemu, "Terimakasih Sarra, tapi dari mana kamu tahu saya hamil Sarra?" Aku tersenyum padanya, menyembunyikan keterkejutan.
"Hanya feeling Dok, aku sayang dokter, dokter seperti menggantikan mama, ada disaat aku butuh." Sarra tersenyum sangat manis. Gurat wajahnya yang lembut membuat setiap orang yang melihatnya tidak akan percaya bahwa dia menjadi tersangka pembunuhan. Sama seperti ketika pertama aku melihatmya.
Tetapi hari ini aku tidak mempercayainya, ada sesuatu yang dia sembunyukan. Aku tahu hari ini, dia telah berbohong.
"Aku berjanji Sarra, aku akan membantumu, aku akan membersihkan namamu." Aku berjalan menuju pintu keluar Rutan.
Aku masih terngiang perkataan gadis itu, dia tahu aku hamil, bahkan suamiku sendiri belum aku beri tahu. Gadis itu selalu membuatku terkejut, wajahnya manis, sorot matanya terlihat cerdas, tetapi hatinya terasa dingin, beku. Salah satu tipe orang yang "tak tergapai". Tipe kepribadian yang sulit sulit didekati, dan cukup membuatku waspada, membuatku gentar dan sedikit takut.
. . . . .
Aku sampai dirumah lebih cepat. Aku membawa beberapa bahan makanan, hari ini aku ingin memasak yang spesial, steamed abalone with fruit salad , kesukaan Rendra. Aku langsung ke dapur. Saat aku akan meletakkan bahan makanan di kulkas, dari sudut mata kulihat ada sesuatu yang menarik diatas meja dapur. Setangkai bunga dengan sepucuk surat dibawahnya.
Dek Rana sayang...
Saat kamu baca surat ini, aku sudah berada bermil-mil atau lebih jauhnya, atau bahkan tak terhingga jarak kita.
Semalam, sepulang kerja ada orang membuntutiku sampai depan rumah, tetapi aku tidak memberitahumu agar kamu tidak cemas karena kamu harus menghadapi persidangan. Aku tahu beberapa minggu ini kamu sedikit lebih cemas dan gugup dari biasa, sehingga kuputuskan setiap malam menemanimu begadang dengan beralasan banyak pe-er kerjaan.
Aku berpikir ada sesuatu yang tidak beres akan terjadi, pagi ini aku tulis surat ini, untuk meminta maaf.
Maaf belum bisa membuatmu bahagia, maaf belum bisa melindungimu, maaf aku tidak bisa berjanji akan kembali lagi.
Dek, mungkin aku tidak bisa kembali, titip Ryandra, dan titip calon putri manis kita, jaga kesehatan agar Rana junior lahir sehat dan selamat.
Terimakasih atas semuanya.
Suami yang sangat mencintaimu,
Syairendra Rahmat
Hatiku mencelos, serasa dunia ini akan runtuh, kakiku bergetar hebat. Dalam kepanikan aku keluar halaman rumah, memanggil-manggil Rendra dengan bingung.
Seketika itu aku melihat dirinya, gadis perempuan berambut ikal, berponi, Sarra. Sarra naik sebuah metromini, dia tersenyum kepadaku. Sontak aku menuju mobil, menstater mobilku, dan kukejar metromini itu.
Aku merasa harus mengejar Sarra, aku merasa dia tahu dimana Rendra berada.
Aku mengendarai mobil dengan menggila. Setelah 10 menit, metromini itu berhasil kukejar, kubawa mobilku kedepan metromini dan mengerem mendadak, memaksa sopir menghentikan metromini.
Aku masuk metromini dan mecari-cari Sarra, tetapi dia tidak ada......
Bersambung..
Langganan:
Postingan (Atom)