"Nak, Sarra... Apakah Sarra sayang sama mama?"
Bocah 5th itu menggangguk, "Sarra sayang mama." Wajahnya kini telah pulih, bekas lebam dimatanya sudah tak terlihat, kesedihan dan ketakutan karena trauma sama sekali tidak tampak di wajahnya.
Ia berjalan ke arah ibunya dan mencium tangannya. Sang ibu mencium kening Sarra tanpa ekspresi.
Suasana haru menyelimuti ruang persidangan. Hari itu adalah hari ditetapkannya keputusan hukuman terhadap seorang ibu yang diduga menganiaya anak kandungnya....
. . . . .
Rrrr...rrr..rrrr
Dering telepon rumah membangunkanku. Rupanya aku ketiduran setelah capek membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, dan mengantar Ryan ke sekolah.
"Hallo, dengan ibu Rana? Ini Sisca gurunya Ryan bu, maaf bu, anak- anak kami larang membawa handphone bu, karena piknik hanya setengah hari saja, nanti guru yang mengabari orang tua kalau anak tiba-tiba sakit, atau rewel. Maaf ya bu, hape Ryan saya simpan di sekolah, demi keamanan juga."
Telepon langsung kututup setelah mengiyakan permintaan guru. Biasanya aku sedikit kritis, tetapi kali ini pikiranku sedang kurang fokus.
Sudah 3 minggu sejak kepergian mas Rendra, aku jadi sedikit terlalu bersemangat jika ada dering telepon dan langsung kecewa begitu tahu telepon itu bukan dari mas Rendra.
Tambah lagi, putusan sidang kasus Sarra akan ditetapkan minggu depan, tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal.
Siang ini adalah kali kedua aku bermimpi tentang Sarra 5 tahun, saat aku menjadi saksi ahli di persidangan kasus penganiayaan Sarra oleh ibu kandungnya. Kala itu ibunya dijatuhi hukuman penjara, dan Sarra diasuh oleh ayahnya, aku sudah tidak tahu nasib anak itu setelahnya. Dan sekarang, saat Sarra 16 tahun takdir mempertemukanku dengannya. Hanya saja aku tidak merasa menemui gadis yang sama. Aku merasa Sarra yang sekarang bukanlah Sarra yang kutemui dulu. Bukan karena pribadinya yang sudah berubah dewasa.
Aku merasa Sarra yang kutemui dulu dan sekarang adalah 2 orang yang berbeda.
. . . . .
Tiga hari lalu, aku sengaja menyelidiki masa lalu Sarra, dimana dia tinggal setelah ibunya dipenjara. Aku mendapatkan sebuah alamat dari wali kelas SMP nya. Ku sambangi alamat itu.
"Selamat siang, saya dokter Rana, saya mendapat alamat ini dari ibu guru Sarra, saya ingin menemui ketua yayasan, dan apakah benar bu, Sarra Natalie pernah diasuh disini?"
"Sebentar bu, saya carikan datanya, jika ads keperluan, silakan anda tunggu disana, kami akan lapor ketua yayasan."
Dan selama hampir 4 jam, aku mendapat cerita keseluruhan tentang Sarra, mulai dari bagaimana ayah dan ibu kandungnya meninggal, lalu Sarra 7 tahun dibawa ke yayasan anak yatim piatu ini. Sarra tumbuh sebagai anak yang cemerlang, sopan dan sangat penyayang. Sarra bahagia tinggal disana, sampai akhirnya dia memutuskan ingin melanjutkan sekolah dengan beasiswa. Ketua bercerita bagaimana dia bisa masuk SMP dan membiayai hidupnya.
"Paginya sekolah, siang sampai malam dia berjualan makanan ringan, dia tinggal di sebuah keluarga yang berwirausaha, home industri makanan ringan. Kebetulan keluarga itu anaknya sudah besar-besar, sudah sukses semua. Sarra menawarkan diri membantu usaha dan diizinkan tinggal disana."
Hidup yang sungguh berat, batinku.
"Sarra sempat menengok saya, terakhir saat akan naik kelas 2 SMP, dia bercerita kalau dirinya bahagia. Dia bilang selalu bersyukur dengan hidupnya. Hanya satu hal yang dia sesali dan sempat membuatnya sedih, dia tidak bisa membahagiakan papa mamanya. Dan dia sedih karena tidak punya saudara. Pernah Sarra mempunyi teman dekat disini, tetapi kemudian meninggal karena leukimia, mereka sudah seperti saudara, bahkan mereka berbagi nama, Sarra sering memanggilnya dengan nama belakangnya, *Natalie*."
"Dua sejoli Sarra dan Natalie. Apakah Anda punya foto mereka?"
Dan kunjungan itu ditutup dengan melihat foto-foto jadul Sarra.
. . . . .
Nguuing..nguuiing... nguuing.. plok!!
"Yaah, kena kepala mama, jatuh deh pesawatnya."
"Ryan sayang, sini nak, minta maaf sama mama udah ngenain kepala mama"
"Iya deh, maaf ya ma." Muka Ryan masam dan tertekuk.
"Anak mama jangan ngambekan gitu donk, sini, sini, mama gelitikin."
"Aww, aww,, hihihi,, mama, geliii,, hihihi, hehehe,,aww"
"Mama gemees deeh"
"Maaa, papa kok ga pulang-pulang sih, luar kotanya jauh ya ma."
Aku tersenyum masam, "Doain papa ya sayang, moga selamat, dan bisa kembali cepat, ntar papa pulang naik pesawat kayak gini, nguing, nguing, trus sampe deh di depan rumah."
"Papa naik pesawat? Sampe depan rumah? Kata bu guru pesawat turunnya di bandara, kalo habis dari bandara naik mobil sampe rumah."
"Iya, sayang, harus ke bandara dulu, nanti sampe bandara Ryan sama mama jemput papa, trus sampe rumah deh. Good boy, tidur dulu ya, udah malem, besok bangun pagi, trus sekolah deh." ku kecup keningnya, dan ku antar dia sampai tempat tidur.
Kupungut kertas mainan pesawat-pesawatan yang dia buat, hmm.. anakku sudah pandai melipat, sangat presisi, persis seperti ayahnya.
Daan..
Daan..
Simbol itu membuatku tercengang, di sayap kanan kiri pesawat ada simbol titik dan coret.
"Ini kaan.. (· · · – – – · · ·) kode morse, SOS!!
Aku baru tersadar, kalau kertas itu berwarna kuning, dengan tulisan kecil-kecil, kertas pesan mas Rendra. Rupanya, mas Rendra telah menggunakan kode morse coret dan titik berderet tiga-tiga ini, sebagai border kertas, hatiku mencelos, aku baru menyadarinya.
Aku langsung ke kamar tidur kami, memeriksa apa saja yang janggal.
Ada note berisi kertas-kertas kuning, disana ada bekas sobekan kertas, kertas itu yang digunakan mas Rendra menulis pesan. Dan sesuatu yang lebih menarik ada di sampingnya. Salah satu koleksi buku mas Rendra, agak mencuat keluar dibanding buku-buku lainnya, ini tidak biasa mengingat mas Rendra sangat teliti dan presisi. Itu artinya buku ini baru selesai dibaca dan dikembalikan dengan terburu olehnya, atau mas Rendra ingin aku membacanya.
Mas Rendra sengaja melakukannya sebagai petunjuk.
Mas Rendra sengaja melakukannya sebagai petunjuk.
Kubuka dengan terburu-buru, takada apapun terselip, takada sesuatu yang janggal. Hanya saja... buku itu adalah buku berisi penjelasan berbagai jenis senjata api dari seluruh dunia. Aku teringat mas Rendra pernah bilang kalau penting aku harus tahu jenis-jenis senjata, suatu saat aku harus mahir menggunakan senjata.
Lalu kulihat laptop mas Rendra, coba kubuka lagi laptopnya. Setelah beberapa hari belakangan kubuka file-file pekerjaannya. Aku teringat ada sebuah file yang diprotect, dan memerlukan password untuk membukanya.
Hatiku tiba-tiba tergerak membuka file itu, mencoba memasukkan password. Ada 6 digit yang harus kumasukkan.
SOS: Help--> TOLONG
Kuketik kata tersebut..
Hmm belum bisa terbuka, aku masih punya 2 kesempatan lagi.
Mungkin... MAYDAY...
Huff, bukaan.. satu kesempatan lagi..
SOS.. SOS.. SOS.. SOS.. SOS.. SOS!! JERMAN!!
Dengan keyakinan dan sedikit ketakutan, kuketik kata ini...
Dan...
Klik, correct pasword...
Yeaah, teringat mas Rendra yang sering menceramahiku soal ini, "kita harus tahu sejarah dek, karena sejarah adalah masa lalu dan masa depan"
SOS pertama kali digunakan di jerman, NOTRUF adalah bahasa jerman, 6 huruf.
Satu persatu file-file itu terbuka..
Satu persatu file-file itu terbuka..
Tapii... apa-apaan ini... file ini......
Deretan foto-foto, artikel, cuplikan berita, video...
Deretan foto-foto, artikel, cuplikan berita, video...
Beberapa gambar yang familiar di televisi, dan iii..iniiii..
140116
Berita yang sedang hangat di televisi, akhir-akhir ini, 3 minggu lalu sebelum mas Rendra menghilang..
Mas... kamu tidak... terlibat.. iniii kaan....
Rrrr..rrr..rrr.. telepon rumah berbunyi
Aku bersegera beranjak ke bawah.
Tap..tapi.. ada firasat buruk.. haruskah kuangkat telepon ini.....
Tap..tapi.. ada firasat buruk.. haruskah kuangkat telepon ini.....
Haruskah!!!
Ting tong ting tong... aku tersentak, kaget dan terhenyak..
Apa yang harus kulakukan.. mengangkat telepon,, membuka pintu...
Seseorang, bukaan ada dua orang....
Maaas tolong, tolong aku, akuuuu takut!!
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar