"Hallo, Mom, aku pamit, doakan. Titip Ryan ya, terimakasih." Aku harus 'menyelamatkan' Rendra.
Aku berjalan keluar rumah, melangkah seperti biasa agar dua orang agen itu tidak mencurigaiku. Menstarter mobil menuju sekolah Ryan. Huff, syukurlah mereka tidak membuntutiku.
Diperempatan 2 blok dari rumahku, aku memutar mobil, balik arah. Kali ini, aku tidak akan menjemput Ryan. Aku akan menjemput Rendra. Kulirik tas yang kutaruh ditempat duduk disampingku, 'aku membawa yang kau pesan mas, tunggu aku.'
Baru beberapa menit, sudah ada yang menghadang. Kulihat jalan didepan, dipenuhi mobil dan motor yang berhenti di tengah jalan, beberapa polisi dan pecahan kaca di aspal. Ada kecelakaan. 'Sial, aku bisa terlambat. Aku harus cari jalan lain, atau putar balik lagi.' Tapi sudah terlambat. Dibelakangku berderet kendaraan lain yang mengantri untuk lewat. Aku memutuskan untuk menunggu. Setelah 15 menit, kami dipebolehkan lewat.
Aku sampai ditujuan. Kuparkirkan mobil dan berjalan menuju stasiun kereta. Aman, sementara ini. Tapi,, sebentar... aku merasa ada yang membuntuti. Kupercepat langkah, dan ketika sampai di belokan aku berlari. Mereka mengejarku. Aku terus berlari, ah aku tidak tahu harus kemana, jalanan ini asing bagiku. Sial.
Aku berhenti, gang ini buntu. Hanya ada tembok (pagar), mungkin menuju rumah orang. Mereka sudah dibelakangku. Aku membalikkan badan, mereka mengacungkan senjata ke arahku.
"Rana, menyerahlah. Ayo ikut kami." Si tinggi kurus yang pertama membuka mulut.
"Atau kau serahkan file itu. Lalu kamu boleh pergi. Kami tidak akan mengganggu kamu dan anakmu lagi." Kali ini si gemuk yang bicara.
Sebentar, aku harus mengulur waktu, aku harus memastikan mereka tetap disana. "Tidak, tidak akan aku serahkan. Mas Rendra mempercayai kalian. Tetapi kenapa kalian khianat? Kalian tidak akan pernah mendapatkan file itu."
"Kalau itu maumu maaf kami harus menggunakan cara ini." Si kurus mengacungkan pistolnya tepat ke dadaku, dari jarak 6 meter, dia sebentar lagi akan menarik pelatukya.
Lalu... DUAAAAAARRR...
Si gendut terkena percikan dan si kurus terpecah fokusnya, aku memanfaatkan moment ini untuk memanjat tembok. Cukup mudah bagiku yang ramping. Ahh benar, ternyata ini menuju halaman belakang rumah orang. Aku harus memanjat lagi untuk keluar dari rumah orang tersebut. Aku beruntung takada yang melihat, sehingga tidak dikira maling.
Untunglah aku jadi membawa 'petasan' yang sedikit kumodif, sehingga daya ledakknya cukup membuat kaget dan luka bakar. Untuk sementara terlepas dari kejaran 2 orang itu. Mereka si kembar Robby-Bobby palsu.
Aku sadar mereka palsu tepat setelah selesai sidang Sarra.
. . . . .
"... kidal. Sarra yang di foto adalah gadis kidal. Sedangkan Sarra yang kita tahu sekarang bukanlah kidal. Begitu penjelasan saya Yang Mulia Hakim."
"Baiklah. Terimakasih saudara saksi ahli, Anda telah membeikan penjelasan yang cukup mengenai kondisi kejiwaan Sarra, teimakasih juga atas keterangan tambahannya, penjelasan Anda sangat membantu persidangan."
Hadirin saling berbisik, suasana cukup riuh. Sidang diskors, dan aku selesai dengan tugsku. Aku pergi ke toilet lalu bercermin, tersenyum puas memikirkan simpulan yang baru saja kusampaikan. Sarra dan Intan, seperti cermin ini. Sarra adalah bayangan Intan, bayangan serupa tapi taksama, puny sisi yang berbeda, kanan dan kiri.. BERBEDA!! Tunggu.... aku juga pernah menemui orang kidal lainnya.. seseorang yang kukenal cukup dekat juga kidal... BOBBY!! Iya dia kidal, tapii... malam itu....
Aku berusaha mengingat kejadian malam disaat Robby-Bobby datang membawa surat mas Rendra. Bobby menyerahkan surat itu dengan tangan kiri.
Tapii.... ada yang aneh...
Saat membantuku yang taksengaja akan menumpahkan gelas, dia reflek memegang nampan dan gelas dengan.. TANGAN KANANNYA!! DEG...
DEG..DEG..
Jantungku berdegup kencang. Selama ini aku telah diawasi orang lain, jangan-jangan mereka mata-mata pihak musuh. Ya, tidak salah lagi, mereka mata-mata. Aah bodohnya aku, kuizinkan mereka memasang kamera di hampir semua sudut rumah. Kadang kutitipkan rumah saat kosong ke mereka.
. . . . .
Selesai sidang aku bergegas pulang, menjemput Ryan. Aku harus menyusun rencana. Kubuka lagi surat kedua dari mas Rendra, yang penuh pesan.
Dear Rana,
Selamat ulang tahun.. Apakah aku terlambat mengucapkan? Atau terlalu cepat? Syukurlah jika lebih cepat, berarti kau tidak melambat.
(Aku pahami maksudnya, bahwa mas Rendra akan mengutus seseorang mengirimkan surat ini, jika aku telah berhasil membuka file penting itu. Dan kebetulan uulang tahunku di bulan depan. Mas Rendra menargetkan aku bisa memecahkan pesannya bulan depan. 'Kecepetan kamu mas, berarti aku cukup cepat memecahkan kode pesanmu kan, hehehe').
Aku baik-baik saja Rana, jangan cemas. Bagaimana kabar Ryan? Dia belajar dengan baik kan?
Aku kangen kamu dan anakku. Titip cium buat Ryan. Pesanku jangan suka rewel, nurut mama, dan belajar dengab baik.
Pesanku padamu: jangan lupa kasih makan Fanny, bawa jalan-jalan biar ga bosan dan ga kegendutan, masak badannya udah kayak hamil 5 bulan aja, jangan-jangan anaknya 7 tuh, haha. Dan mulai sekarang pakailah cincin kita biar kamu inget aku terus.
Oke itu saja. Sampai ketemu lagi. Oh ya ingat 2 sobatku kan, dia yang akan mengirimimu surat ini. Jangan pangling, mereka ga akan berubah, masih sama seperti dulu, saat kamu melihatnya untuk pertama kali ditempat itu. Mereka kalau ingat kamu, ingat tempat itu. Mereka geli mengingat ekspresimu waktu itu, hihihi.
Syairendra
Kalimat pesan mas Rendra adalah pesan yang hanya aku yang tahu. Kami punya kucing, berbulu lebat, bertubuh gendut. Memang seperti hamil dia, tapi namanya margy, bukan fanny.
Dia menyebut Fanny lalu angka 5 dan 7. Dan, cincin.
Dirawat? Ajak jalan? Apa? Aku harus membawanya keluar, membawanya kemana? Dan dua orang sobatnya, dan tempat itu. Apa maksudnya??
Aku kegudang mengambil pesanan mas Rendra FN fiveseven, mempersiapkan Ryan, menelepon mama. Dan, memakai cincin.
Aku membawa Ryan ketempat mama, menjelaskan yang perlu dijelaskan. Mama mudah paham, mungkin mama sudah menduga, atau sebenarnya tahu profesi anaknya. Dan mungkin mama sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Keesokan harinya aku siap berangkat, membawa semua perbekalan. Termasuk file penting itu. Mungkin sekarang, aku sudah terkenal, menjadi target seluruh mafia di negeri ini, gara-gara file ini. Selangkah aku keluar pintu rumah, selamanya aku akan menjadi buronan...
. . . . .
Aku sampai di tempat itu. Tempat yang dimaksud mas Rendra, saat pertama kali bertemu 2 sobatnya. Warung lamongan, dikota nostalgik itu. Aku menunggu dipinggir jalan. Berdiri tepat di trotoar, yang jika malam menjadi tempat digelarnya dagangan warung lamongan. Depanku adalah perempatan tempat seseorang dulu pernah tertembak.
Disini, di warung lamongan ini, malam itu saat mas Rendra berulang tahun, aku menyatakan kesediaanku menerimanya. Sebelumnya dia ingin melamarku. Tapi takpernah tersampaikan. Sampai suatu saat aku mendengarnya bercakap dengan si Robby, mengenai keinginannya melamarku dengan cincin itu. Cincin berukiran namaku dan namanya. Untuk yang ketiga kalinya, dia sungguh ingin melakukannya, atau tidak sama sekali. Tetapi sesuatu terjadi, hingga dia urungkan niatnya. Dan dia membuang cincin itu.
Cincin itu kini ada dijariku. Aku menatapnya dengan kerinduan akan segala memori masa lalu...
"Hai Rana.. kamu masih cantik saja. Ayo ikut, akan kubawa kau ketempat yang lebih nyaman."
Aku menodongkan pistolku ke arah pria itu. Dia sedikit kaget. "Siapa nama tengah yang kau pilihkan untuk putriku?"
"Rana, ayolah, bukan waktunya bercanda.. si jangkung sudah menunggu di mobil."
"Jawab pertanyaanku dulu!"
"Remington, bukan.. mm.. Galil? Ah tidak tunggu aku agak lupa, sst jangan katakan. Ah, Beretta!!"
Aku tersenyum lega, dia benar-benar Bobby, dan dia masih sama, selalu tidak serius dalam segala situasi, termasuk situasi serius.
Aku segera dibawa masuk mobil, menyapa Robby yang kaku dan tidak terlalu banyak bicara. "Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Bertemu Rendra, kangmas kesayangan. Bukankah itu misimu, green agent?" Bobby mencandaiku, berpura-pura menentir agen baru.
'Sebentar lagi aku akan bertemu kamu mas, tunggu aku. Aku sudah sangat rindu.
Tapiii.... bisakah kita hidup normal lagi, setelah ini?'
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar