Pria itu mulai bicara. "Selamat siang bapak ibu guru dan bapak kepala sekolah, saya disini terkait surat peringatan yang diberikan kepada anak saya. Hari Rabu, sepulang sekolah, anak saya menangis dan bercerita kepada ibunya, kalau dia dimarahi oleh seorang pak guru. Saya ingin mengetahui duduk perkaranya."
"Ini terkait kejadian yang menimpa seorang murid kita pak. Kejadian saat ada tawuran antar kelas. Putra anda dipanggil dan ditanyai oleh pak guru mengenai kejadian tersebut. Apa yang dia lihat dan siapa saja anak yang membawa batu. Begitu pak."
"Dari cerita anak saya, ada 2 orang guru yang bertanya. Dihari pertama dia ditanya pak guru Sony, dia bercerita kronologi detilnya anak kelas 9 yang membawa batu. Lalu di hari kedua dia dipanggil lagi. Yang menanyai pak Burhan. Oleh pak Burhan dia dikatai 'mencla-mencle', digebrak meja, dan diminta mengaku kalau dia pelakunya. Anak saya otomatis takut."
Pak Burhan mulai angkat bicara. "Mohon maaf sebelumnya pak, saya memang keras, bicaranya langsung, anak saya tanyai kalau memang dia pelakunya ya ngaku saja."
"Pak, setahu saya, posisi anak saya sejak awal adalah saksi. Tetapi dia jadi diperlakukan seperti tersangka. Setahu kami pak, yang biasa menyidik, sesama penyidik harus koordinasi. Jika pertanyaan yang diajukan ke saksi kontennya sama ya pasti jawabannya sama, tapi jika kontennya berbeda ya pastinya jawabannya berbeda. Kalau seperti itu tidak bisa dikatakan 'mencla-mencle' lalu dituduh pelaku anak saya."
Semua terdiam..
"Kronologinya, dari cerita anak saya begini:"
Siang itu....
Anak-anak kelas 7h diharapkan semua kumpul di dalam kelas.
Suara TOA menggema diseluruh sekolah.
Anak-anak 7h sebagian besar sudah berkumpul di dalam kelas.
Ibu guru: "Anak-anak, ibu guru prihatin dan kecewa. Kalian sudah diingatkan, masih saja kalian berbuat gaduh. Tadi siapa saja yang ikut lempar2an?"
"Semuanya bu... kami cuma pakai biji-bijian kok." Suara anak-anak bersahutan menjawab pertanyaan guru.
"Teman kalian ada yang terkena matanya, sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit, mau dioperasi, doakan semoga masih bisa pulih. Kalian semua sekelas ini, ibu beri sanksi. Ibu akan buatkan surat peringatan. Besok akan ada pertemuan dengan orangtua murid."
Anak-anak mulai ribut... sebagian cemas memikirkan sanksi dari sekolah.
"Sudah-sudah jangan ribut, jadikan pelajaran lain kali tidak boleh bermain2 sembarangan lagi. Ibu dengar ada yang sampai melempar dengan batu. Kemungkinan batu itu yang mengenai mata teman kalian. Sebagai wali kelas ibu prihatin dengan kelakuan kalian. Kelas ini dari dulu selalu bermasalah."
"Buuu.." seorang anak lelaki mengacungkan tangan.
"Ada apa Gus?"
"Yang lempar2an ga cuma kelas 7h bu. Kelas 9f juga. Kami cuma pake biji, anak 9f yang bawa batu."
"Kamu lihat siapa yang membawa batu?"
"Lihat bu."
"Nanti kamu ketemu di ruang guru ya."
"Ya bu."
. . . .
"Sini Gus, duduk sini." Pak Sony menyuruh anak didiknya duduk. "Ceritakan Gus yang kamu lihat.
Bagus menceritakan kronologi kejadian dengan detil. Awalnya siswa kelas 7h iseng main perang-perangan dengan biji-bijian. Lalu ada sekawanan kelas 9f lewat, terkena lemparan. Anak kelas sembilan yang merasa lebih gagah daripada adek kelasnya merasa tersinggung. Mereka ikut terlibat 'peperangan'. Anak kelas 9f mengambil batu. Anak kelas 7h ketakutan. Sebagian bubar. Termasuk Bagus yang ikut lari dari halaman sekolah melewati depan kelas 8 lalu menuju kedalam kelasnya. Saat ia lewat ia melihat ada anak kelas 9 yang membawa batu berdiri di sekitar temannya yang nantinya menjadi korban. Si temannya yg jadi korban itu ikut bermain lempar-lemparan. Tetapi Bagus tidak melihat jelas batu siapa yang mengenai mata temannya.
"Yang taklihat gitu pak."
"Ya sudah sekarang boleh balik ke kelas."
. . . .
Hari berikutnya..
"Gus, sekarang ceritakan kamu melihat kejadian kemarin. Gimana ceritanya?"
Bagus mengulang cerita.
"Loh kamu melihatnya didepan kelas 7 apa kelas 8?"
"Eh, maksud saya kelas 8 pak."
"Lho.. kamu itu gimana to? Katanya kemarin di kelas 7 sekarang kelas 8. 'Mencla-mencle' kamu. Sudah kalo kamu yang nglempar batu, mending ngaku saja. Ayo ngakuu!" Braak!! Pak Burhan menggebrak meja dengan emosi.
Bagus ketakutan. Matanya merah dan mulai akan menangis
. . . .
"Anak saya diperlakukan seperti itu. Ya saya tidak terima. Anak saya itu saksi.. ee malah dituduh tersangka dengan desakan. Ya anak saya syok pak. Anak saya sekarang ketakutan karena dituduh. Niat dia ingin menceritakan yang dia lihat, malah dituduh. Anak saya anak mami, memang betul pak. Sedikit sedikit ibunya. Mentalnya kecil. Tapi ibunya juga yang sudah menjadikan dia begini pak. Berani 'ngacung' dan bilang apa yang dia lihat. Lama lho pak, mental anak saya dibentuk begitu. Tahunan. Sampai dia berani bilang jujur. Tapi sekarang dia takut, pak."
"Memang benar pak, tetapi ada keluarga lain juga pak yang anaknya terkena musibah."
"Oh lha iya pak. Memang benar ada korban. Tapi bukan caranya juga mencari-cari kambing hitam, anak saya itu saksi pak. Dia berani mengadu ke anda. Apa ya kalo anak yang salah berani datang ke anda menceritakan kronologinya. Saya yakin enggak pak. Jangan karena pihak sekolah prihatin dengan korban, lalu mendesak anak lainnya supaya jadi pelaku. Jangan sampai anak saya karena ditekan lalu ketakutan dan mengatakan hal yang tidak benar."
Kepala sekolah bicara lagi. " Baiklah Pak Darmawan kami paham maksud bapak. Sekarang begini saja. Kiranya pihak sekolah tidak ingin peristiwa ini sampai telinga luar. Sebaiknya bagaimana kami menyikapinya. Anda seorang penyidik pasti lebih sering menangani hal begini."
"Kalau masalah itu, lebih baik sekolah melakukan pendekatan ke keluarga korban. Dalam bentuk moril maupun santunan, kompensasi."
"Baik pak. Terimakasih 'njenengan' telah datang ke sini. Mohon maaf atas perlakuan kami terhadap anak bapak.
"Sebaiknya memang cukup pendekatan kekeluarga, bagaimana setelah operasi jaminan pendidikan terhadap anak ini. Dan sepertinya juga sulit pak, kalo mau cari tahu pelaku.. karena posisiny semua anak saling lempar. Semoga keluarganya ikhlas."
. . . .
Di rumah..
"Gimana pah? Anak kita masih disalahkan?"
"Engga mah dah beres. Malah pihak sekolah minta dibantu biar ga masuk ke ranah hukum."
"Waaahaha.. ya sudah." Sambil menyiapkan makan siang si ibu berkata ke anak. "Gus, pokoknya mamah bilang, kalo kamu lihatnya A ya A, jangan karena didesak atau temene bilang B kamu jadi ikutan. Apa yang kamu lihat itu yang kamu sampein. Udahlah besok2 lagi ga usah mau jadi pahlawan Gus. Jujur malah keblasuk. "
Si bapak bilang. "Ga papa Gus. Yang penting kamu jujur. Dan berani bilang. Kamu dah 'ngacung' dan bilang ke bu guru tu dah siip. Sing berani, ga usah ciut nyali. Mental cowok tu ya gitu."
"Oke Mah, Pah."
--Inspirasi dari Kisah Nyata--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar