"Happy birthday..." kusodorkan kue tart berhias dua boneka serupa manusia ke depan Rendra. Rendra lalu meniup lilin dan tersenyum. "Trimakasih Rana, Dek Rana.. sa..."
Aku seketika mendengus, mencegah Rendra mengatakan kata 'sayang'. Sudah menjadi kesepakatan untuk tidak menggunakan kata ini, saat masih dalam tahap 'kenalan' ini. Aku sedikit risih.
"Maaf deh, hampir keceplosan. Biasanya kalo ga sengaja gini, malah tulus dari dalam hati lho." Rendra menggodaiku. "Ngomong-ngomong, ini siapa nih, Ryandra-Kirana?" Rendra menunjuk dua boneka di atas tart.
"Nama anak-anakku." Jawabku singkat.
"Masa' namanya cuma sekata gini.."
"Aku belum menemukan nama tengahnya, tapi nama belakangnya udah ada."
"Siapa?"
Aku menunjuk dada kiri Rendra. Ada nama tersemat di atas kemeja kerjanya.
Rona merah terlihat di pipi Rendra saat dia tesenyum. "Jangan terlalu percaya diri. Hidup tak semudah itu."
"Aku percaya padamu, Rendra." Kutatap matanya yang lembut dan penyayang.
"Ranaa..... ada yang ingin kusampaikan. Sebenarnya......"
AAAAAARRGGGHH!!!
Seseorang berteriak. "Aa..ada orang tertembaaaak..."
Perempatan di depan warung lamongan tempat kami berada mulai dipenuhi kerumunan orang. Aku dan Rendra ikut merangsek, lalu kulihat sosok pria muda tergelatak lemah di lantai.
"Panggilkan ambulans!!" Teriak seorang bapak yang sedang memeriksa tubuh tadi.
"Cepat kita pergi." Bisikan Rendra menyadarkanku yang sedang fokus pada tubuh yang bersimbah darah. Rendra berjalan keluar kerumunan, kususul dari belakang. Langkahnya makin cepat. Lama-lama dia berlari. "Mau kemana Ren?" Rendra terus berlari dalam diam. Sesekali menengok kanan kiri dan belakang.
Sesampainya di belokan gelap, Rendra memelankan langkah, tangannya mengaba agar aku tetap di belakang. Dan aku melihatnya..
Lelaki paruh baya yang tadi berteriak pertama, membuang sesuatu di tempat sampah. Sepertinya, sarung tangan hitam dan.. pistol!! Lelaki itu celingukan lalu cepat-cepat pergi. Rendra membuntuti lelaki itu, setelah memberiku arahan untuk tetap di tempat.
Si pelaku mencoba berlari setelah tahu dia dibuntuti Rendra. Tetapi, Rendra lebih cepat, dengan sigap dia membekuk si pelaku. Dia mengikat tangan si pelaku dengan jaket yang lelaki itu kenakan.
Mulutku menganga, terheran dengan kelihaian Rendra. Kemudian, kulihat mereka untuk pertama kalinya. Dua orang: satu kurus tinggi, satunya bertubuh pendek gempal. Keduanya memakai jaket kulit hitam, topi dan kacamata. Rendra sempat berbincang dengan keduanya, lalu menyerahkan pelaku, kepada dua orang tadi.
Rendra menghampiriku yang masih terlihat syok. "Rana, kamulah orang dekatku yang pertama, yang tahu hal ini. Akan kuceritakan semua rahasiaku padamu. Rana, sayang, aku mempercayaimu. Dan aku ingin mengatakan kata 'sayang', seumur hidupku, kepadamu."
. . . . .
"Sob, kami pamit dulu. Cepet sembuh buat nak Ryan. Kamu cepet kembali ke 'kantor' ya. Bos sudah menunggu." Kedua pria itu berpamitan. Jaket, topi hitam, serta kacamata kali ini tidak mereka kenakan. Ini kali kedua aku melihat mereka. Sahabat dekat Rendra.
"Mereka adalah Robby dan Bobby, partner kerja sekaligus sobatku. Satu-satunya sobat. Kalau suatu saat aku bilang sobat, yah itu berarti cuma mereka berdua. Mereka kembar tapi tidak identik."
Mereka adalah dua orang misterius yang bertemu Rendra saat menangkap pelaku penembakan itu. Pasca Ryan dioperasi, mereka jadi sering membantu keluarga kami.
Saat itu usia pernikahan kami masih seumur jagung. Musibah menimpa kami. Ryan harus dioperasi, colostomy, stoma dibuat diperutnya. Dia didiagnosa megacolon kongenital. Waktu itu mau tidak mau tabungan sekolahku dan mas Rendra harus digunakan untuk perawatan Ryan. Mereka banyak membantu perekonomian kami.
Enam bulan lamanya kami saling interaksi, sudah seperti keluarga. Kemudian mereka pergi, tanpa ada kabar.
Dan, setelah hampur 7 tahun, mereka kembali. Malam ini.
. . . . .
Malam ini.....
Rrr..rr...rrrr...
Ting tong ting tong...
Apa yang harus kulakukan? Mengangkat telepon dulu, atau membuka pintu?
Aku mendekat ke meja telepon. Berhenti sejenak saat akan mengangkat telepon. Belum sampai tanganku memegang gagang telepon, bunyi dering berhenti. Muncul nomor di layar telepon, kucoba telepon balik, tetapi tidak tersambung.
Dua orang dihalaman depan, masih bersikeras membunyikan bel rumah. Aku semakin takut. Tetapi kucoba memberanikan diri, berjalan mendekati pintu dan membukanya. Ah, barangkali mereka datang membawa kabar dari mas Rendra, pikirku.
Dua orang laki-laki dihadapanku, satu bertubuh tinggi kurus, satunya bertubuh gemuk pendek.
"Robby...Bobby...."
"Bolehkah kami masuk? Kami membawa surat dari Rendra."
"Dimana mas Rendra, apa dia masih hidup?"
"Maaf Rana, bolehkah kami masuk dan duduk?"
Mereka kupersilakan masuk dan duduk. Lalu, menceritakan semua yang terjadi pada mas Rendra.
"Dia ada di tempat aman, tapi kami tidak bisa memberitahumu sekarang. Dia sedang menjalankan misi dari bos, dan kami tidak tahu pasti apa misinya."
Syukurlah, itu membuatku lega. Surat dari mas Rendra kubaca dan kusimpan. Benar, itu tulisan tangannya, dia bilang dia baik-baik saja.
Aku ke dapur, membuatkan mereka minuman dan menyiapkan beberapa kue.
Saat akan menyajikan, tiba-tiba tanganku kram, nampan yang kubawa hampir jatuh, tetapi Bobby dengan sigap menolongku.
"Hahaha, terimakasih, aku ditolong seorang agen terlatih, hanya demi masalah sepele gelas jatuh begini."
"Istirahatlah Rana, kami tahu kamu pasti masih syok dan lelah. Tidak perlu repot-repot membawakan makan sgala."
Mereka pamit setelah menghabiskan dua cangkir teh hijau dan beberapa kue.
. . . . .
Hari-hariku selanjutnya kulalui dengan cukup lega, aku tahu mas Rendra masih hidup, mengirimiku kabar bahwa dia aman, serta ada dua orang sahabat dekatnya yang menjaga dan mengawasi rumahku dari orang asing yang mencurigakan. Aku tahu bahwa mas Rendra punya file penting yang harus dilindungi.
Lusa adalah hari putusan sidang Sarra, aku disibukkan dengan merangkum semua detil percakapan dan menyimpulkan kondisi Sarra. Ada sesuatu yang masih saja mengganjal. Iseng aku cari di internet situs tentang yayasan yatim piatu tempat Sarra diasuh. Rupanya situs ini sudah tidak up to date, tetapi data-data lama masih bisa diakses.
Dan kutemukan artikel ini:
Intan Permata, 8th, meninggal: leukimia.
Barangkali ini sahabat Sarra yang meninggal karena leukimia.
Dan kutemukan testimoni ini, satu-satunya testimoni, tertulis 3 tahun setelahnya:
Aku baru tahu sahabatku meninggal, karena kabar yang beredar Intan yang meninggal, ternyata dirimu sayang. Maaf lama aku tak mengunjungimu.
Turut berduka cita, smoga amal baikmu diterima-Nya. RIP untuk sahabat baikku Sarra.
Sudah kuduga. Sesuatu terjadi di masa lalu. Langsung aku message si pembuat testimoni. Ku ajak dia bertemu, menceritakan semua tentang Sarra.
Hari berikutnya aku kembali mengunjungi yayasan, meminta izin untuk meminjam beberapa foto jadul Sarra, bertemu dengan sahabat lama Sarra, dan berhasil mendapatkan beberapa foto Sarra yang lain.
Nah..
Sudah jelas sekarang. Bagaimana tersangka Sarra, menipu semua orang. Dan aku bisa membuktikannya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar