Ah, berapa kali harus kubilang, aku lagi males, lagi ga mood tauk! tapi kamu selalu sewot, dan nyuruh aku nulis dalam kondisi apapun. Mau lagi ga mood, lagi galau, lagi happy, kamu tetep nyuruh aku nulis. Dan tiap kali begitu, kamu pasti sukses ngebuat aku ngambek tapi tetep nulis.
Tapi, kali ini beda... Kali ini aku tahu maksudmu memintaku begitu.
Ahh, aku happy. Makasih deh buat kamu. Aku jadi ga sabar buat cerita ke orang-orang.
Begini ceritanya.....
Malam itu malam minggu. Malamku waktu itu, sama kayak malam kebanyakan cowok cewek seusiaku. Malam yang romantis.
Aku duduk didepan sebuah meja bundar, sendiri, menunggu dia. Sesekali aku ngelirik jam tangan.
'Dasar si tukang ngaret! Plis ini udah sejam!'
Badan sama mata udah mau nyerah, gegara abis les vokal lanjut les nari sore tadi, dia ga datang-datang.
Dan pas waktunya datang, dia pasang tampang seolah-olah ga punya dosa.
"Hey dah lama Ta? makanya lain kali kalo datang ga usah buru2, nyante dikit lah" astaga kalimat yang keluar dari mulutnya.
Rasanya udah pengen jejalin sendok garpu dan seperangkat alat masak ke mulutnya, kalo ga inget dia ketua murid, ketua klub basket, murid teladan, dicintai semua guru, dan semua emak2 didunia.
"Ya uda cus aja, mo ngapain?" aku udah ga betah sama bau keringat mix deodoran, ditambah bau tanah dan celana basah. 'kayak gini murid teladan?'
Dia nyodorin sebuah kertas. "katanya kamu jago musik. Aku nemuin ini waktu bersih2 ruangan bekas kelas musik. Bisa baca ini?"
Kertas itu berisi not2 balok ditulis rapi.
"Ngapain kamu beres2 ruang angker itu?"
"Mau aku fungsiin, anak basket ga punya tempat nongkrong, masak cuman punya lapangan."
Emang kan butuhnya lapangan doank, batinku. "Ini si ga ada yang spesial, not balok kayak gini anak ekskul tingkat tiga juga bisa."
"Kalo not balok ditambah surat ini gimana?"
Dia ngasih satu kertas lagi, kertasnya jadul banget, tulisannya tegak bersambung, kecil2, seperti tulisan wanita. Tapi bukan bahasa Indonesia, ini bahasa Prancis.
"Aku ga tahu maksudnya, mungkin kamu bisa cari tahu apa ini. Udah lama aku pingin nyingkirin stigma kalo kelas itu berhantu, makanya mau kugunain lagi. Dan aku nemuin itu di dalam piano usang, terselip diantara tuts piano. Sapa tahu dengan itu jadi tahu sejarahnya kenapa kelas itu ditutup dan ngilangin rumor yang sekarang."
Hmm..
"Aku tahu kegiatanmu banyak, ga cuma diskolah, dluar skolah, les ini itu. Tapi, aku ga buru-buru. Pas senggangmu aja."
Mmm..
"Tolong ya."
Tiba-tiba aku liat jelas matanya. Aah, manis juga.
"Oke, aku traktir minum deh, mo pesen apa?" kata dia.
helloww, aku udah pesen minum 2 gelas plus 2 kali bolak balik kamar mandi, gegara nungguin elu kali!! "Cappucino aja, makasih."
Menit-menit berikutnya aku habisin ngobrol basa basi kenalan sama dia. Nyambung juga. Walo agak aneh. Dia selalu punya pikiran unik tentang lingkungannya entah guru, kelas, teman2, sampai tata cara upacara.
"Eh, udah jam 8 nih, aku ga boleh pulang malem2, sampe ketemu lagi. Pamit." 2 jari dia lambaikan didepan dahinya.
Cool..
Wait2, ngga jadi cool! Dia ninggalin aku?! aku disuruh pulang sendiri?! malem2?! aku cewek!! dan siapa yang ngundang dan siapa yang telat.
CORET!! Tanda silang besar aku kasih di atas namanya. Dia di coret dari list. Bukan cowok.
Tapi, aku ga harus sering ketemu dia kan? cuma sekali lagi pas aku udah bisa ngasih dia analisaku kan.
Tapi, kenapa aku nyesek ya, kalo cuma ketemu skali lagi. Eh plis, engga!! engga boleh ada pikiran apa2. Kudu setrong! Inget bau kringetnya, inget celana basahnya, baunya emang tahan?!
Malam itu, aku sampai rumah, mau tidur, tapi ga bisa. Uugh, gegara bibi libur nih batalnya ga da yang nyuci, bau!! jadi ga bisa tidur.
Bantalnya aku lempar, udahlah ga usah pake bantal. Tapi, aku ga bisa tidur kalo ga pake bantal, huhh. Ya udah bantalnya kuambil lagi kusemprot parfum.
Aku nyoba ngrebahin diri lagi. Pandanganku nerawang ke langit-langit kamar. 'Aku ini kenapa si? sesuatu diperut dan dadaku, ngeganjel, nyesek.'
Apa mungkin ini rindu? Rindu bau dan mata itu.. Hmm..
Tetiba aku inget kamu. Dan aku turuti nasehatmu. Aku bangkit, duduk di meja belajar dan nulis.
--Bersambung--
Jumat, 29 Januari 2016
Jumat, 22 Januari 2016
Paradoks Psycho #5 episode terakhir session 1
Dorr..dorr..dorr..
Ada yang menembaki mobil kami dari belakang. Aku menunduk menghindar. Mencari celah untuk bisa mengambil *fanny*ku dan balik menembak mereka. Terjadi baku tembak selama 3 menit, Bobby berhasil menembak ban mobil mereka, menghambat laju mereka sementara.
Kendaraan lain masih mengejar kami dari belakang, kali ini truk tronton dengan ban-ban besar. Dan muncul satu mobil lagi dari kanan saat kami lewati pertigaan.
Hujan peluru menyerang kami. Robby dengan sigap meliak-liukkan mobil, menghindari serangan. Jalanan cukup sepi karena ini tengah malam.
Kami mulai terjepit, Robby mendadak membelok ke gang sempit. Mobil besar tidak bisa mengejar, mobil kecil masih di belakang, cukup dekat dengan kami.
Seketika aku punya ide. "Robby berhenti!! "what?!" "Berhenti, ini perintah!!"
"Heey, Rana diamlah, ikuti saja kami, kami agen profesional" Celetuk Bobby sambil masih menembak.
"Mereka ingin file yang kubawa, mereka menginginkan aku. Aku harus turun."
"Rana, misi kami melindungimu, kamu harus menuruti kami!!" Robby membentakku.
"Baiklah kalau kalian bersikeras begitu!" Aku membuka pintu mobil yang masih melaju. "Apa yang kamu laku......kan"
Bluk, bluk, bluk.. aku menjatuhkan diri ke jalan dan berguling beberapa kali. Aih sakit!! Lalu bangkit, berdiri di tengah jalan untuk menghentikan si pengejar sambil memberi isyarat tangan tanda menyerah. Mereka menghentikan mobil, sementara Robby-Bobby tetap melajukan mobil dan menjauh.
Mereka turun dari mobil sambil masih menodongkan pistol. Aku mengambil pistolku dan meletakkannya ke jalan. Tanganku yang satu masih terangkat ke atas.
Mereka menggunakan baju serba hitam.
"Aku tahu yang kalian inginkan, ini." Kusodorkan tangan kananku yang menggenggam disk berisi file. Salah seorang perlahan mendekat. Dia sudah dihadapanku, sangat dekat sekarang, pistol di tangan kanannya teracung ke wajahku. Tangan kirinya meraih tanganku, dan.. sraat.. Pisauku berhasil memotong nadinya, "aargh" dia mengaduh, sikuku mendorong dagunya keatas. Kurebut pistolnya, dan mengunci tangannya kebelakang. Tubuhnya kuhadapkan kedepanku untuk melindungi tubuhku sendiri. Pistolnya kuacungkan ke dahinya. Aku menyandera dia. 15 detik secara keseluruhan. 'Mas Rendra aku cukup cepat kan'.
Tiba-tiba muncul dua orang pengendara truk. 'Sial!!' Sedetik kemudian.. Dorr, salah satu pengendara truk turun dan langsung menembak sanderaku. Mati. Begitu cepat. Sekejap.
Kini hanya aku, sendiri, melawan tiga mafia ini.
Pistol diacungkan kearahku. Dorr..dorr.. aku menghindar. Mereka berdua sangat agresif. Aku lari, sambil sesekali menembak.
Dan.. "Aarghh" betis kananku tertembak. Aku terjatuh, mereka mendekat, semakin dekat. Aku terjepit...
Oh Tuhan, aku akan mati... 'ayoo, bagunlah, kamu cuma mimpi,, banguun...'
Lalu.....
DOR!! DOR!! DOR!!
Tiga tembakan, masing-masing tepat dipunggung kiri menembus jantung mereka. Robby, bukan... Bobby, telah berada di belakang kami dan menembak mati ketiga mafia dengan sekali tembakan.
"Briliant!!" Komentarku sebagai tanda terimakasih.
"Gila!! Kamu bisa mati!!" Teriak Bobby
"Trimakasih." Kutangkap ucapannya sebagai pujian.
Kami melanjutkan perjalanan..
. . . . .
Sampailah kami ditempat, yang katanya, mas Rendra berada.
Dan benar. Dia disana duduk dengan beberapa orang mengelilingi meja. Mereka sedang berdiskusi. Tapi, lengannyaa....
Satu lengan mas Rendra digips dan digendong dengan armsling.
"Patah, saat meloloskan diri, dia melompat dari gedung 10 lantai, gila." Robby menjelaskan.
"Iya kalian suami isteri sama gilanya." Komentar Bobby.
. . . . .
Hampir 5 hari mereka menerjemahkannya. File yang aku bawa, rupanya berisi kode-kode, komunikasi mafia yang disadap. Isinya kurang lebih seputar perdagangan gelap, ilegal, bebas pajak, dan narkoba. Salah satu file yang membuatku tertarik adalah 140116. Rupanya itu siasat, sebenarnya intelijen sudah tahu, akan ada teror berkedok bisnis dari mafia. Peringatan mafia kepada pemerintah yang sudah tidak mau bekerja sama dengan mereka dan ingin menjalankan ekonomi negara dengan bersih. Intelijen ingin membangun kesan bahwa seolah mafia berhasil, pemerintah kecolongan. Padahal pemerintah sudah berhasil memecahkan semua kode komunikasi mereka, termasuk mengantisipasi hal ini. Jadi teringat coventry conundrum world war II.
"Terimakasih Rana, telah membawa filenya dengan utuh. Saat Rendra berangkat dari rumah kalian, file belum selesai terdownload. Rendra sengaja meninggalkan file itu dan memproteknya. Berharap kau bisa meneruskan mendownload. Rendra pergi untuk mengecoh perhatian mafia yang membuntutinya. Dia berhasil memecah fokus dan menjadikan dirinya target. Berhasil lolos dengan sedikit luka. Dan kamu dengan sedikit luka pula berhasil membawa file itu kesini. Bagaiman kakimu pagi ini? Perawat kami jago kan?" Dia lelaki paruh baya, pemimpin misi ini, bos Rendra.
"Kamu cukup cerdas memilih orang kepercayaan." Jawabku sambil tersipu.
"Wah, aku suka gayamu. Kamu taksalah pilih Ren." Kulihat mas Rendra hanya tersenyum menunduk. Ada sesuatu lain yang dia rasakan.
. . . . .
Pagi berikutnya, aku sudah bersiap, menjemput Ryan. Mas Rendra tidak ikut. Tetapi mereka mempersiapkan beberapa orang untuk melindungiku. Kali ini, bukan Robby, atau Bobby.
Aku masuk ke mobil. Hanya aku dan sopir. Dan... seseorang...
"Psst, diam. Ayo, jalan." Dia duduk disebelahku dan berkata singkat.
Di perjalanan.. "Rana, kembalikan ysng kamu ambil." Aku hanya terdiam. Orang ini tahu bahwa semalam aku telah mencuri aplikasi peretas mereka. Alat penting yang mereka gunakan untuk memecahkan kode mafia.
"Aku tahu semalam kamu mengambilnya. Siapa bosmu? Mafia besar lainnyakah?" Dia menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan lembut, sayang.
"Rupanya aku takpernah benar-benar mengenalmu, kau punya banyak rahasia."
"Dek Rana, aku dan teman-temanku akan membantumu keluar dari masalah ini. Kamu percaya padaku, aku bisa membantumu."
Otot wajahku mengeras "Tidak, aku akan menyelesaikan masalahku sendiri." Htiku perih. "Berhenti!" Sopir menuruti perintahku.
Aku keluar mobil, dia mengikutiku. "Rana..."
Dorr.. aku menembaknya, tepat diperut. Tanpa ragu.
Aku baru saja... menembak.... suamiku, Rendra.
Aku berlari.. dan...
Sekawanan agen mengepungku, semua menodongkan pistol ke arahku.
"Menyerahlah, kami telah mengepungmu...."
. . . . .
Sekarang aku tinggal disini, di ruang 2x3 ini, sudah 6 bulan. Aku, wanita berusia 33 tahun. Inisialku PSY. Nama alias Rana Khairunia, dr., Sp.KJ. Aku mengandung anak keduaku, usia kehamilan 33 minggu.
Hari ini, aku terduduk di sini, menulis cerita hidupku dan menunggu hari eksekusi.
Enam bulan lalu, saat aku mencuri dari mereka, aku diinterogasi. Aku diam, mereka tidak mendapat satu klu pun dariku. Aku diberi pilihan, memihak mereka atau mati. Aku lebih memilih mati.
Dan disinilah nantinya, hidupku akan berakhir. Di penjara mafia ini. Aku akan dieksekusi pasca melahirkan anak keduaku. Itu permintaanku, dan permintaan lelaki yang kucintai. Mungkin, dihari eksekusi nanti, tidak akan ada yang melayat, karena aku takpunya keluargaku. Kecuali dia, yang kucinta.
Aku bersyukur pernah menemui dia. Lelaki yang sangat kucintai. Rendra. Mungkin sekarang dia sudah tidak mencintaiku, tetapi aku tetap mencintainya. Aku taksanggup membunuhnya, hanya membuatnya berbaring koma selama 1 bulan.
Telah kutuliskan kisahku dengannya dan kusimpan dalam sebuah folder. Kenangan yang indah bersamanya. Bagi orang yang masih peduli denganku_ memangnya ada? ah, mungkin tidak ada_ akan kuberi kode untuk membukanya. Sebenarnya aku ingi passwordnya hanya inisialku PSY, tapi aku dipaksa menulis 6 huruf. PSYCHO agar mudah diingat.
Ah, hari itu semakin dekat saja. Hari terakhir aku bisa melihat dia. Rendra. Kecuali.. takdir berkata lain.
Aku sedikit berharap gadis itu menyelamatkanku. Seperti diriku yang membebaskan dia dari penjara.
Aku ingin dia membantuku, agar tidak kehilangan Rendra.
Aku menunggumu, Sarra......
--END-- Session I
Ada yang menembaki mobil kami dari belakang. Aku menunduk menghindar. Mencari celah untuk bisa mengambil *fanny*ku dan balik menembak mereka. Terjadi baku tembak selama 3 menit, Bobby berhasil menembak ban mobil mereka, menghambat laju mereka sementara.
Kendaraan lain masih mengejar kami dari belakang, kali ini truk tronton dengan ban-ban besar. Dan muncul satu mobil lagi dari kanan saat kami lewati pertigaan.
Hujan peluru menyerang kami. Robby dengan sigap meliak-liukkan mobil, menghindari serangan. Jalanan cukup sepi karena ini tengah malam.
Kami mulai terjepit, Robby mendadak membelok ke gang sempit. Mobil besar tidak bisa mengejar, mobil kecil masih di belakang, cukup dekat dengan kami.
Seketika aku punya ide. "Robby berhenti!! "what?!" "Berhenti, ini perintah!!"
"Heey, Rana diamlah, ikuti saja kami, kami agen profesional" Celetuk Bobby sambil masih menembak.
"Mereka ingin file yang kubawa, mereka menginginkan aku. Aku harus turun."
"Rana, misi kami melindungimu, kamu harus menuruti kami!!" Robby membentakku.
"Baiklah kalau kalian bersikeras begitu!" Aku membuka pintu mobil yang masih melaju. "Apa yang kamu laku......kan"
Bluk, bluk, bluk.. aku menjatuhkan diri ke jalan dan berguling beberapa kali. Aih sakit!! Lalu bangkit, berdiri di tengah jalan untuk menghentikan si pengejar sambil memberi isyarat tangan tanda menyerah. Mereka menghentikan mobil, sementara Robby-Bobby tetap melajukan mobil dan menjauh.
Mereka turun dari mobil sambil masih menodongkan pistol. Aku mengambil pistolku dan meletakkannya ke jalan. Tanganku yang satu masih terangkat ke atas.
Mereka menggunakan baju serba hitam.
"Aku tahu yang kalian inginkan, ini." Kusodorkan tangan kananku yang menggenggam disk berisi file. Salah seorang perlahan mendekat. Dia sudah dihadapanku, sangat dekat sekarang, pistol di tangan kanannya teracung ke wajahku. Tangan kirinya meraih tanganku, dan.. sraat.. Pisauku berhasil memotong nadinya, "aargh" dia mengaduh, sikuku mendorong dagunya keatas. Kurebut pistolnya, dan mengunci tangannya kebelakang. Tubuhnya kuhadapkan kedepanku untuk melindungi tubuhku sendiri. Pistolnya kuacungkan ke dahinya. Aku menyandera dia. 15 detik secara keseluruhan. 'Mas Rendra aku cukup cepat kan'.
Tiba-tiba muncul dua orang pengendara truk. 'Sial!!' Sedetik kemudian.. Dorr, salah satu pengendara truk turun dan langsung menembak sanderaku. Mati. Begitu cepat. Sekejap.
Kini hanya aku, sendiri, melawan tiga mafia ini.
Pistol diacungkan kearahku. Dorr..dorr.. aku menghindar. Mereka berdua sangat agresif. Aku lari, sambil sesekali menembak.
Dan.. "Aarghh" betis kananku tertembak. Aku terjatuh, mereka mendekat, semakin dekat. Aku terjepit...
Oh Tuhan, aku akan mati... 'ayoo, bagunlah, kamu cuma mimpi,, banguun...'
Lalu.....
DOR!! DOR!! DOR!!
Tiga tembakan, masing-masing tepat dipunggung kiri menembus jantung mereka. Robby, bukan... Bobby, telah berada di belakang kami dan menembak mati ketiga mafia dengan sekali tembakan.
"Briliant!!" Komentarku sebagai tanda terimakasih.
"Gila!! Kamu bisa mati!!" Teriak Bobby
"Trimakasih." Kutangkap ucapannya sebagai pujian.
Kami melanjutkan perjalanan..
. . . . .
Sampailah kami ditempat, yang katanya, mas Rendra berada.
Dan benar. Dia disana duduk dengan beberapa orang mengelilingi meja. Mereka sedang berdiskusi. Tapi, lengannyaa....
Satu lengan mas Rendra digips dan digendong dengan armsling.
"Patah, saat meloloskan diri, dia melompat dari gedung 10 lantai, gila." Robby menjelaskan.
"Iya kalian suami isteri sama gilanya." Komentar Bobby.
. . . . .
Hampir 5 hari mereka menerjemahkannya. File yang aku bawa, rupanya berisi kode-kode, komunikasi mafia yang disadap. Isinya kurang lebih seputar perdagangan gelap, ilegal, bebas pajak, dan narkoba. Salah satu file yang membuatku tertarik adalah 140116. Rupanya itu siasat, sebenarnya intelijen sudah tahu, akan ada teror berkedok bisnis dari mafia. Peringatan mafia kepada pemerintah yang sudah tidak mau bekerja sama dengan mereka dan ingin menjalankan ekonomi negara dengan bersih. Intelijen ingin membangun kesan bahwa seolah mafia berhasil, pemerintah kecolongan. Padahal pemerintah sudah berhasil memecahkan semua kode komunikasi mereka, termasuk mengantisipasi hal ini. Jadi teringat coventry conundrum world war II.
"Terimakasih Rana, telah membawa filenya dengan utuh. Saat Rendra berangkat dari rumah kalian, file belum selesai terdownload. Rendra sengaja meninggalkan file itu dan memproteknya. Berharap kau bisa meneruskan mendownload. Rendra pergi untuk mengecoh perhatian mafia yang membuntutinya. Dia berhasil memecah fokus dan menjadikan dirinya target. Berhasil lolos dengan sedikit luka. Dan kamu dengan sedikit luka pula berhasil membawa file itu kesini. Bagaiman kakimu pagi ini? Perawat kami jago kan?" Dia lelaki paruh baya, pemimpin misi ini, bos Rendra.
"Kamu cukup cerdas memilih orang kepercayaan." Jawabku sambil tersipu.
"Wah, aku suka gayamu. Kamu taksalah pilih Ren." Kulihat mas Rendra hanya tersenyum menunduk. Ada sesuatu lain yang dia rasakan.
. . . . .
Pagi berikutnya, aku sudah bersiap, menjemput Ryan. Mas Rendra tidak ikut. Tetapi mereka mempersiapkan beberapa orang untuk melindungiku. Kali ini, bukan Robby, atau Bobby.
Aku masuk ke mobil. Hanya aku dan sopir. Dan... seseorang...
"Psst, diam. Ayo, jalan." Dia duduk disebelahku dan berkata singkat.
Di perjalanan.. "Rana, kembalikan ysng kamu ambil." Aku hanya terdiam. Orang ini tahu bahwa semalam aku telah mencuri aplikasi peretas mereka. Alat penting yang mereka gunakan untuk memecahkan kode mafia.
"Aku tahu semalam kamu mengambilnya. Siapa bosmu? Mafia besar lainnyakah?" Dia menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan lembut, sayang.
"Rupanya aku takpernah benar-benar mengenalmu, kau punya banyak rahasia."
"Dek Rana, aku dan teman-temanku akan membantumu keluar dari masalah ini. Kamu percaya padaku, aku bisa membantumu."
Otot wajahku mengeras "Tidak, aku akan menyelesaikan masalahku sendiri." Htiku perih. "Berhenti!" Sopir menuruti perintahku.
Aku keluar mobil, dia mengikutiku. "Rana..."
Dorr.. aku menembaknya, tepat diperut. Tanpa ragu.
Aku baru saja... menembak.... suamiku, Rendra.
Aku berlari.. dan...
Sekawanan agen mengepungku, semua menodongkan pistol ke arahku.
"Menyerahlah, kami telah mengepungmu...."
. . . . .
Sekarang aku tinggal disini, di ruang 2x3 ini, sudah 6 bulan. Aku, wanita berusia 33 tahun. Inisialku PSY. Nama alias Rana Khairunia, dr., Sp.KJ. Aku mengandung anak keduaku, usia kehamilan 33 minggu.
Hari ini, aku terduduk di sini, menulis cerita hidupku dan menunggu hari eksekusi.
Enam bulan lalu, saat aku mencuri dari mereka, aku diinterogasi. Aku diam, mereka tidak mendapat satu klu pun dariku. Aku diberi pilihan, memihak mereka atau mati. Aku lebih memilih mati.
Dan disinilah nantinya, hidupku akan berakhir. Di penjara mafia ini. Aku akan dieksekusi pasca melahirkan anak keduaku. Itu permintaanku, dan permintaan lelaki yang kucintai. Mungkin, dihari eksekusi nanti, tidak akan ada yang melayat, karena aku takpunya keluargaku. Kecuali dia, yang kucinta.
Aku bersyukur pernah menemui dia. Lelaki yang sangat kucintai. Rendra. Mungkin sekarang dia sudah tidak mencintaiku, tetapi aku tetap mencintainya. Aku taksanggup membunuhnya, hanya membuatnya berbaring koma selama 1 bulan.
Telah kutuliskan kisahku dengannya dan kusimpan dalam sebuah folder. Kenangan yang indah bersamanya. Bagi orang yang masih peduli denganku_ memangnya ada? ah, mungkin tidak ada_ akan kuberi kode untuk membukanya. Sebenarnya aku ingi passwordnya hanya inisialku PSY, tapi aku dipaksa menulis 6 huruf. PSYCHO agar mudah diingat.
Ah, hari itu semakin dekat saja. Hari terakhir aku bisa melihat dia. Rendra. Kecuali.. takdir berkata lain.
Aku sedikit berharap gadis itu menyelamatkanku. Seperti diriku yang membebaskan dia dari penjara.
Aku ingin dia membantuku, agar tidak kehilangan Rendra.
Aku menunggumu, Sarra......
--END-- Session I
Kamis, 21 Januari 2016
Misi Penyelamatan Psycho #4
"Hallo, Mom, aku pamit, doakan. Titip Ryan ya, terimakasih." Aku harus 'menyelamatkan' Rendra.
Aku berjalan keluar rumah, melangkah seperti biasa agar dua orang agen itu tidak mencurigaiku. Menstarter mobil menuju sekolah Ryan. Huff, syukurlah mereka tidak membuntutiku.
Diperempatan 2 blok dari rumahku, aku memutar mobil, balik arah. Kali ini, aku tidak akan menjemput Ryan. Aku akan menjemput Rendra. Kulirik tas yang kutaruh ditempat duduk disampingku, 'aku membawa yang kau pesan mas, tunggu aku.'
Baru beberapa menit, sudah ada yang menghadang. Kulihat jalan didepan, dipenuhi mobil dan motor yang berhenti di tengah jalan, beberapa polisi dan pecahan kaca di aspal. Ada kecelakaan. 'Sial, aku bisa terlambat. Aku harus cari jalan lain, atau putar balik lagi.' Tapi sudah terlambat. Dibelakangku berderet kendaraan lain yang mengantri untuk lewat. Aku memutuskan untuk menunggu. Setelah 15 menit, kami dipebolehkan lewat.
Aku sampai ditujuan. Kuparkirkan mobil dan berjalan menuju stasiun kereta. Aman, sementara ini. Tapi,, sebentar... aku merasa ada yang membuntuti. Kupercepat langkah, dan ketika sampai di belokan aku berlari. Mereka mengejarku. Aku terus berlari, ah aku tidak tahu harus kemana, jalanan ini asing bagiku. Sial.
Aku berhenti, gang ini buntu. Hanya ada tembok (pagar), mungkin menuju rumah orang. Mereka sudah dibelakangku. Aku membalikkan badan, mereka mengacungkan senjata ke arahku.
"Rana, menyerahlah. Ayo ikut kami." Si tinggi kurus yang pertama membuka mulut.
"Atau kau serahkan file itu. Lalu kamu boleh pergi. Kami tidak akan mengganggu kamu dan anakmu lagi." Kali ini si gemuk yang bicara.
Sebentar, aku harus mengulur waktu, aku harus memastikan mereka tetap disana. "Tidak, tidak akan aku serahkan. Mas Rendra mempercayai kalian. Tetapi kenapa kalian khianat? Kalian tidak akan pernah mendapatkan file itu."
"Kalau itu maumu maaf kami harus menggunakan cara ini." Si kurus mengacungkan pistolnya tepat ke dadaku, dari jarak 6 meter, dia sebentar lagi akan menarik pelatukya.
Lalu... DUAAAAAARRR...
Si gendut terkena percikan dan si kurus terpecah fokusnya, aku memanfaatkan moment ini untuk memanjat tembok. Cukup mudah bagiku yang ramping. Ahh benar, ternyata ini menuju halaman belakang rumah orang. Aku harus memanjat lagi untuk keluar dari rumah orang tersebut. Aku beruntung takada yang melihat, sehingga tidak dikira maling.
Untunglah aku jadi membawa 'petasan' yang sedikit kumodif, sehingga daya ledakknya cukup membuat kaget dan luka bakar. Untuk sementara terlepas dari kejaran 2 orang itu. Mereka si kembar Robby-Bobby palsu.
Aku sadar mereka palsu tepat setelah selesai sidang Sarra.
. . . . .
"... kidal. Sarra yang di foto adalah gadis kidal. Sedangkan Sarra yang kita tahu sekarang bukanlah kidal. Begitu penjelasan saya Yang Mulia Hakim."
"Baiklah. Terimakasih saudara saksi ahli, Anda telah membeikan penjelasan yang cukup mengenai kondisi kejiwaan Sarra, teimakasih juga atas keterangan tambahannya, penjelasan Anda sangat membantu persidangan."
Hadirin saling berbisik, suasana cukup riuh. Sidang diskors, dan aku selesai dengan tugsku. Aku pergi ke toilet lalu bercermin, tersenyum puas memikirkan simpulan yang baru saja kusampaikan. Sarra dan Intan, seperti cermin ini. Sarra adalah bayangan Intan, bayangan serupa tapi taksama, puny sisi yang berbeda, kanan dan kiri.. BERBEDA!! Tunggu.... aku juga pernah menemui orang kidal lainnya.. seseorang yang kukenal cukup dekat juga kidal... BOBBY!! Iya dia kidal, tapii... malam itu....
Aku berusaha mengingat kejadian malam disaat Robby-Bobby datang membawa surat mas Rendra. Bobby menyerahkan surat itu dengan tangan kiri.
Tapii.... ada yang aneh...
Saat membantuku yang taksengaja akan menumpahkan gelas, dia reflek memegang nampan dan gelas dengan.. TANGAN KANANNYA!! DEG...
DEG..DEG..
Jantungku berdegup kencang. Selama ini aku telah diawasi orang lain, jangan-jangan mereka mata-mata pihak musuh. Ya, tidak salah lagi, mereka mata-mata. Aah bodohnya aku, kuizinkan mereka memasang kamera di hampir semua sudut rumah. Kadang kutitipkan rumah saat kosong ke mereka.
. . . . .
Selesai sidang aku bergegas pulang, menjemput Ryan. Aku harus menyusun rencana. Kubuka lagi surat kedua dari mas Rendra, yang penuh pesan.
Dear Rana,
Selamat ulang tahun.. Apakah aku terlambat mengucapkan? Atau terlalu cepat? Syukurlah jika lebih cepat, berarti kau tidak melambat.
(Aku pahami maksudnya, bahwa mas Rendra akan mengutus seseorang mengirimkan surat ini, jika aku telah berhasil membuka file penting itu. Dan kebetulan uulang tahunku di bulan depan. Mas Rendra menargetkan aku bisa memecahkan pesannya bulan depan. 'Kecepetan kamu mas, berarti aku cukup cepat memecahkan kode pesanmu kan, hehehe').
Aku baik-baik saja Rana, jangan cemas. Bagaimana kabar Ryan? Dia belajar dengan baik kan?
Aku kangen kamu dan anakku. Titip cium buat Ryan. Pesanku jangan suka rewel, nurut mama, dan belajar dengab baik.
Pesanku padamu: jangan lupa kasih makan Fanny, bawa jalan-jalan biar ga bosan dan ga kegendutan, masak badannya udah kayak hamil 5 bulan aja, jangan-jangan anaknya 7 tuh, haha. Dan mulai sekarang pakailah cincin kita biar kamu inget aku terus.
Oke itu saja. Sampai ketemu lagi. Oh ya ingat 2 sobatku kan, dia yang akan mengirimimu surat ini. Jangan pangling, mereka ga akan berubah, masih sama seperti dulu, saat kamu melihatnya untuk pertama kali ditempat itu. Mereka kalau ingat kamu, ingat tempat itu. Mereka geli mengingat ekspresimu waktu itu, hihihi.
Syairendra
Kalimat pesan mas Rendra adalah pesan yang hanya aku yang tahu. Kami punya kucing, berbulu lebat, bertubuh gendut. Memang seperti hamil dia, tapi namanya margy, bukan fanny.
Dia menyebut Fanny lalu angka 5 dan 7. Dan, cincin.
Dirawat? Ajak jalan? Apa? Aku harus membawanya keluar, membawanya kemana? Dan dua orang sobatnya, dan tempat itu. Apa maksudnya??
Aku kegudang mengambil pesanan mas Rendra FN fiveseven, mempersiapkan Ryan, menelepon mama. Dan, memakai cincin.
Aku membawa Ryan ketempat mama, menjelaskan yang perlu dijelaskan. Mama mudah paham, mungkin mama sudah menduga, atau sebenarnya tahu profesi anaknya. Dan mungkin mama sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Keesokan harinya aku siap berangkat, membawa semua perbekalan. Termasuk file penting itu. Mungkin sekarang, aku sudah terkenal, menjadi target seluruh mafia di negeri ini, gara-gara file ini. Selangkah aku keluar pintu rumah, selamanya aku akan menjadi buronan...
. . . . .
Aku sampai di tempat itu. Tempat yang dimaksud mas Rendra, saat pertama kali bertemu 2 sobatnya. Warung lamongan, dikota nostalgik itu. Aku menunggu dipinggir jalan. Berdiri tepat di trotoar, yang jika malam menjadi tempat digelarnya dagangan warung lamongan. Depanku adalah perempatan tempat seseorang dulu pernah tertembak.
Disini, di warung lamongan ini, malam itu saat mas Rendra berulang tahun, aku menyatakan kesediaanku menerimanya. Sebelumnya dia ingin melamarku. Tapi takpernah tersampaikan. Sampai suatu saat aku mendengarnya bercakap dengan si Robby, mengenai keinginannya melamarku dengan cincin itu. Cincin berukiran namaku dan namanya. Untuk yang ketiga kalinya, dia sungguh ingin melakukannya, atau tidak sama sekali. Tetapi sesuatu terjadi, hingga dia urungkan niatnya. Dan dia membuang cincin itu.
Cincin itu kini ada dijariku. Aku menatapnya dengan kerinduan akan segala memori masa lalu...
"Hai Rana.. kamu masih cantik saja. Ayo ikut, akan kubawa kau ketempat yang lebih nyaman."
Aku menodongkan pistolku ke arah pria itu. Dia sedikit kaget. "Siapa nama tengah yang kau pilihkan untuk putriku?"
"Rana, ayolah, bukan waktunya bercanda.. si jangkung sudah menunggu di mobil."
"Jawab pertanyaanku dulu!"
"Remington, bukan.. mm.. Galil? Ah tidak tunggu aku agak lupa, sst jangan katakan. Ah, Beretta!!"
Aku tersenyum lega, dia benar-benar Bobby, dan dia masih sama, selalu tidak serius dalam segala situasi, termasuk situasi serius.
Aku segera dibawa masuk mobil, menyapa Robby yang kaku dan tidak terlalu banyak bicara. "Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Bertemu Rendra, kangmas kesayangan. Bukankah itu misimu, green agent?" Bobby mencandaiku, berpura-pura menentir agen baru.
'Sebentar lagi aku akan bertemu kamu mas, tunggu aku. Aku sudah sangat rindu.
Tapiii.... bisakah kita hidup normal lagi, setelah ini?'
Bersambung...
Aku berjalan keluar rumah, melangkah seperti biasa agar dua orang agen itu tidak mencurigaiku. Menstarter mobil menuju sekolah Ryan. Huff, syukurlah mereka tidak membuntutiku.
Diperempatan 2 blok dari rumahku, aku memutar mobil, balik arah. Kali ini, aku tidak akan menjemput Ryan. Aku akan menjemput Rendra. Kulirik tas yang kutaruh ditempat duduk disampingku, 'aku membawa yang kau pesan mas, tunggu aku.'
Baru beberapa menit, sudah ada yang menghadang. Kulihat jalan didepan, dipenuhi mobil dan motor yang berhenti di tengah jalan, beberapa polisi dan pecahan kaca di aspal. Ada kecelakaan. 'Sial, aku bisa terlambat. Aku harus cari jalan lain, atau putar balik lagi.' Tapi sudah terlambat. Dibelakangku berderet kendaraan lain yang mengantri untuk lewat. Aku memutuskan untuk menunggu. Setelah 15 menit, kami dipebolehkan lewat.
Aku sampai ditujuan. Kuparkirkan mobil dan berjalan menuju stasiun kereta. Aman, sementara ini. Tapi,, sebentar... aku merasa ada yang membuntuti. Kupercepat langkah, dan ketika sampai di belokan aku berlari. Mereka mengejarku. Aku terus berlari, ah aku tidak tahu harus kemana, jalanan ini asing bagiku. Sial.
Aku berhenti, gang ini buntu. Hanya ada tembok (pagar), mungkin menuju rumah orang. Mereka sudah dibelakangku. Aku membalikkan badan, mereka mengacungkan senjata ke arahku.
"Rana, menyerahlah. Ayo ikut kami." Si tinggi kurus yang pertama membuka mulut.
"Atau kau serahkan file itu. Lalu kamu boleh pergi. Kami tidak akan mengganggu kamu dan anakmu lagi." Kali ini si gemuk yang bicara.
Sebentar, aku harus mengulur waktu, aku harus memastikan mereka tetap disana. "Tidak, tidak akan aku serahkan. Mas Rendra mempercayai kalian. Tetapi kenapa kalian khianat? Kalian tidak akan pernah mendapatkan file itu."
"Kalau itu maumu maaf kami harus menggunakan cara ini." Si kurus mengacungkan pistolnya tepat ke dadaku, dari jarak 6 meter, dia sebentar lagi akan menarik pelatukya.
Lalu... DUAAAAAARRR...
Si gendut terkena percikan dan si kurus terpecah fokusnya, aku memanfaatkan moment ini untuk memanjat tembok. Cukup mudah bagiku yang ramping. Ahh benar, ternyata ini menuju halaman belakang rumah orang. Aku harus memanjat lagi untuk keluar dari rumah orang tersebut. Aku beruntung takada yang melihat, sehingga tidak dikira maling.
Untunglah aku jadi membawa 'petasan' yang sedikit kumodif, sehingga daya ledakknya cukup membuat kaget dan luka bakar. Untuk sementara terlepas dari kejaran 2 orang itu. Mereka si kembar Robby-Bobby palsu.
Aku sadar mereka palsu tepat setelah selesai sidang Sarra.
. . . . .
"... kidal. Sarra yang di foto adalah gadis kidal. Sedangkan Sarra yang kita tahu sekarang bukanlah kidal. Begitu penjelasan saya Yang Mulia Hakim."
"Baiklah. Terimakasih saudara saksi ahli, Anda telah membeikan penjelasan yang cukup mengenai kondisi kejiwaan Sarra, teimakasih juga atas keterangan tambahannya, penjelasan Anda sangat membantu persidangan."
Hadirin saling berbisik, suasana cukup riuh. Sidang diskors, dan aku selesai dengan tugsku. Aku pergi ke toilet lalu bercermin, tersenyum puas memikirkan simpulan yang baru saja kusampaikan. Sarra dan Intan, seperti cermin ini. Sarra adalah bayangan Intan, bayangan serupa tapi taksama, puny sisi yang berbeda, kanan dan kiri.. BERBEDA!! Tunggu.... aku juga pernah menemui orang kidal lainnya.. seseorang yang kukenal cukup dekat juga kidal... BOBBY!! Iya dia kidal, tapii... malam itu....
Aku berusaha mengingat kejadian malam disaat Robby-Bobby datang membawa surat mas Rendra. Bobby menyerahkan surat itu dengan tangan kiri.
Tapii.... ada yang aneh...
Saat membantuku yang taksengaja akan menumpahkan gelas, dia reflek memegang nampan dan gelas dengan.. TANGAN KANANNYA!! DEG...
DEG..DEG..
Jantungku berdegup kencang. Selama ini aku telah diawasi orang lain, jangan-jangan mereka mata-mata pihak musuh. Ya, tidak salah lagi, mereka mata-mata. Aah bodohnya aku, kuizinkan mereka memasang kamera di hampir semua sudut rumah. Kadang kutitipkan rumah saat kosong ke mereka.
. . . . .
Selesai sidang aku bergegas pulang, menjemput Ryan. Aku harus menyusun rencana. Kubuka lagi surat kedua dari mas Rendra, yang penuh pesan.
Dear Rana,
Selamat ulang tahun.. Apakah aku terlambat mengucapkan? Atau terlalu cepat? Syukurlah jika lebih cepat, berarti kau tidak melambat.
(Aku pahami maksudnya, bahwa mas Rendra akan mengutus seseorang mengirimkan surat ini, jika aku telah berhasil membuka file penting itu. Dan kebetulan uulang tahunku di bulan depan. Mas Rendra menargetkan aku bisa memecahkan pesannya bulan depan. 'Kecepetan kamu mas, berarti aku cukup cepat memecahkan kode pesanmu kan, hehehe').
Aku baik-baik saja Rana, jangan cemas. Bagaimana kabar Ryan? Dia belajar dengan baik kan?
Aku kangen kamu dan anakku. Titip cium buat Ryan. Pesanku jangan suka rewel, nurut mama, dan belajar dengab baik.
Pesanku padamu: jangan lupa kasih makan Fanny, bawa jalan-jalan biar ga bosan dan ga kegendutan, masak badannya udah kayak hamil 5 bulan aja, jangan-jangan anaknya 7 tuh, haha. Dan mulai sekarang pakailah cincin kita biar kamu inget aku terus.
Oke itu saja. Sampai ketemu lagi. Oh ya ingat 2 sobatku kan, dia yang akan mengirimimu surat ini. Jangan pangling, mereka ga akan berubah, masih sama seperti dulu, saat kamu melihatnya untuk pertama kali ditempat itu. Mereka kalau ingat kamu, ingat tempat itu. Mereka geli mengingat ekspresimu waktu itu, hihihi.
Syairendra
Kalimat pesan mas Rendra adalah pesan yang hanya aku yang tahu. Kami punya kucing, berbulu lebat, bertubuh gendut. Memang seperti hamil dia, tapi namanya margy, bukan fanny.
Dia menyebut Fanny lalu angka 5 dan 7. Dan, cincin.
Dirawat? Ajak jalan? Apa? Aku harus membawanya keluar, membawanya kemana? Dan dua orang sobatnya, dan tempat itu. Apa maksudnya??
Aku kegudang mengambil pesanan mas Rendra FN fiveseven, mempersiapkan Ryan, menelepon mama. Dan, memakai cincin.
Aku membawa Ryan ketempat mama, menjelaskan yang perlu dijelaskan. Mama mudah paham, mungkin mama sudah menduga, atau sebenarnya tahu profesi anaknya. Dan mungkin mama sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Keesokan harinya aku siap berangkat, membawa semua perbekalan. Termasuk file penting itu. Mungkin sekarang, aku sudah terkenal, menjadi target seluruh mafia di negeri ini, gara-gara file ini. Selangkah aku keluar pintu rumah, selamanya aku akan menjadi buronan...
. . . . .
Aku sampai di tempat itu. Tempat yang dimaksud mas Rendra, saat pertama kali bertemu 2 sobatnya. Warung lamongan, dikota nostalgik itu. Aku menunggu dipinggir jalan. Berdiri tepat di trotoar, yang jika malam menjadi tempat digelarnya dagangan warung lamongan. Depanku adalah perempatan tempat seseorang dulu pernah tertembak.
Disini, di warung lamongan ini, malam itu saat mas Rendra berulang tahun, aku menyatakan kesediaanku menerimanya. Sebelumnya dia ingin melamarku. Tapi takpernah tersampaikan. Sampai suatu saat aku mendengarnya bercakap dengan si Robby, mengenai keinginannya melamarku dengan cincin itu. Cincin berukiran namaku dan namanya. Untuk yang ketiga kalinya, dia sungguh ingin melakukannya, atau tidak sama sekali. Tetapi sesuatu terjadi, hingga dia urungkan niatnya. Dan dia membuang cincin itu.
Cincin itu kini ada dijariku. Aku menatapnya dengan kerinduan akan segala memori masa lalu...
"Hai Rana.. kamu masih cantik saja. Ayo ikut, akan kubawa kau ketempat yang lebih nyaman."
Aku menodongkan pistolku ke arah pria itu. Dia sedikit kaget. "Siapa nama tengah yang kau pilihkan untuk putriku?"
"Rana, ayolah, bukan waktunya bercanda.. si jangkung sudah menunggu di mobil."
"Jawab pertanyaanku dulu!"
"Remington, bukan.. mm.. Galil? Ah tidak tunggu aku agak lupa, sst jangan katakan. Ah, Beretta!!"
Aku tersenyum lega, dia benar-benar Bobby, dan dia masih sama, selalu tidak serius dalam segala situasi, termasuk situasi serius.
Aku segera dibawa masuk mobil, menyapa Robby yang kaku dan tidak terlalu banyak bicara. "Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Bertemu Rendra, kangmas kesayangan. Bukankah itu misimu, green agent?" Bobby mencandaiku, berpura-pura menentir agen baru.
'Sebentar lagi aku akan bertemu kamu mas, tunggu aku. Aku sudah sangat rindu.
Tapiii.... bisakah kita hidup normal lagi, setelah ini?'
Bersambung...
Senin, 18 Januari 2016
'Sahabat' Rendra Psycho #3
"Happy birthday..." kusodorkan kue tart berhias dua boneka serupa manusia ke depan Rendra. Rendra lalu meniup lilin dan tersenyum. "Trimakasih Rana, Dek Rana.. sa..."
Aku seketika mendengus, mencegah Rendra mengatakan kata 'sayang'. Sudah menjadi kesepakatan untuk tidak menggunakan kata ini, saat masih dalam tahap 'kenalan' ini. Aku sedikit risih.
"Maaf deh, hampir keceplosan. Biasanya kalo ga sengaja gini, malah tulus dari dalam hati lho." Rendra menggodaiku. "Ngomong-ngomong, ini siapa nih, Ryandra-Kirana?" Rendra menunjuk dua boneka di atas tart.
"Nama anak-anakku." Jawabku singkat.
"Masa' namanya cuma sekata gini.."
"Aku belum menemukan nama tengahnya, tapi nama belakangnya udah ada."
"Siapa?"
Aku menunjuk dada kiri Rendra. Ada nama tersemat di atas kemeja kerjanya.
Rona merah terlihat di pipi Rendra saat dia tesenyum. "Jangan terlalu percaya diri. Hidup tak semudah itu."
"Aku percaya padamu, Rendra." Kutatap matanya yang lembut dan penyayang.
"Ranaa..... ada yang ingin kusampaikan. Sebenarnya......"
AAAAAARRGGGHH!!!
Seseorang berteriak. "Aa..ada orang tertembaaaak..."
Perempatan di depan warung lamongan tempat kami berada mulai dipenuhi kerumunan orang. Aku dan Rendra ikut merangsek, lalu kulihat sosok pria muda tergelatak lemah di lantai.
"Panggilkan ambulans!!" Teriak seorang bapak yang sedang memeriksa tubuh tadi.
"Cepat kita pergi." Bisikan Rendra menyadarkanku yang sedang fokus pada tubuh yang bersimbah darah. Rendra berjalan keluar kerumunan, kususul dari belakang. Langkahnya makin cepat. Lama-lama dia berlari. "Mau kemana Ren?" Rendra terus berlari dalam diam. Sesekali menengok kanan kiri dan belakang.
Sesampainya di belokan gelap, Rendra memelankan langkah, tangannya mengaba agar aku tetap di belakang. Dan aku melihatnya..
Lelaki paruh baya yang tadi berteriak pertama, membuang sesuatu di tempat sampah. Sepertinya, sarung tangan hitam dan.. pistol!! Lelaki itu celingukan lalu cepat-cepat pergi. Rendra membuntuti lelaki itu, setelah memberiku arahan untuk tetap di tempat.
Si pelaku mencoba berlari setelah tahu dia dibuntuti Rendra. Tetapi, Rendra lebih cepat, dengan sigap dia membekuk si pelaku. Dia mengikat tangan si pelaku dengan jaket yang lelaki itu kenakan.
Mulutku menganga, terheran dengan kelihaian Rendra. Kemudian, kulihat mereka untuk pertama kalinya. Dua orang: satu kurus tinggi, satunya bertubuh pendek gempal. Keduanya memakai jaket kulit hitam, topi dan kacamata. Rendra sempat berbincang dengan keduanya, lalu menyerahkan pelaku, kepada dua orang tadi.
Rendra menghampiriku yang masih terlihat syok. "Rana, kamulah orang dekatku yang pertama, yang tahu hal ini. Akan kuceritakan semua rahasiaku padamu. Rana, sayang, aku mempercayaimu. Dan aku ingin mengatakan kata 'sayang', seumur hidupku, kepadamu."
. . . . .
"Sob, kami pamit dulu. Cepet sembuh buat nak Ryan. Kamu cepet kembali ke 'kantor' ya. Bos sudah menunggu." Kedua pria itu berpamitan. Jaket, topi hitam, serta kacamata kali ini tidak mereka kenakan. Ini kali kedua aku melihat mereka. Sahabat dekat Rendra.
"Mereka adalah Robby dan Bobby, partner kerja sekaligus sobatku. Satu-satunya sobat. Kalau suatu saat aku bilang sobat, yah itu berarti cuma mereka berdua. Mereka kembar tapi tidak identik."
Mereka adalah dua orang misterius yang bertemu Rendra saat menangkap pelaku penembakan itu. Pasca Ryan dioperasi, mereka jadi sering membantu keluarga kami.
Saat itu usia pernikahan kami masih seumur jagung. Musibah menimpa kami. Ryan harus dioperasi, colostomy, stoma dibuat diperutnya. Dia didiagnosa megacolon kongenital. Waktu itu mau tidak mau tabungan sekolahku dan mas Rendra harus digunakan untuk perawatan Ryan. Mereka banyak membantu perekonomian kami.
Enam bulan lamanya kami saling interaksi, sudah seperti keluarga. Kemudian mereka pergi, tanpa ada kabar.
Dan, setelah hampur 7 tahun, mereka kembali. Malam ini.
. . . . .
Malam ini.....
Rrr..rr...rrrr...
Ting tong ting tong...
Apa yang harus kulakukan? Mengangkat telepon dulu, atau membuka pintu?
Aku mendekat ke meja telepon. Berhenti sejenak saat akan mengangkat telepon. Belum sampai tanganku memegang gagang telepon, bunyi dering berhenti. Muncul nomor di layar telepon, kucoba telepon balik, tetapi tidak tersambung.
Dua orang dihalaman depan, masih bersikeras membunyikan bel rumah. Aku semakin takut. Tetapi kucoba memberanikan diri, berjalan mendekati pintu dan membukanya. Ah, barangkali mereka datang membawa kabar dari mas Rendra, pikirku.
Dua orang laki-laki dihadapanku, satu bertubuh tinggi kurus, satunya bertubuh gemuk pendek.
"Robby...Bobby...."
"Bolehkah kami masuk? Kami membawa surat dari Rendra."
"Dimana mas Rendra, apa dia masih hidup?"
"Maaf Rana, bolehkah kami masuk dan duduk?"
Mereka kupersilakan masuk dan duduk. Lalu, menceritakan semua yang terjadi pada mas Rendra.
"Dia ada di tempat aman, tapi kami tidak bisa memberitahumu sekarang. Dia sedang menjalankan misi dari bos, dan kami tidak tahu pasti apa misinya."
Syukurlah, itu membuatku lega. Surat dari mas Rendra kubaca dan kusimpan. Benar, itu tulisan tangannya, dia bilang dia baik-baik saja.
Aku ke dapur, membuatkan mereka minuman dan menyiapkan beberapa kue.
Saat akan menyajikan, tiba-tiba tanganku kram, nampan yang kubawa hampir jatuh, tetapi Bobby dengan sigap menolongku.
"Hahaha, terimakasih, aku ditolong seorang agen terlatih, hanya demi masalah sepele gelas jatuh begini."
"Istirahatlah Rana, kami tahu kamu pasti masih syok dan lelah. Tidak perlu repot-repot membawakan makan sgala."
Mereka pamit setelah menghabiskan dua cangkir teh hijau dan beberapa kue.
. . . . .
Hari-hariku selanjutnya kulalui dengan cukup lega, aku tahu mas Rendra masih hidup, mengirimiku kabar bahwa dia aman, serta ada dua orang sahabat dekatnya yang menjaga dan mengawasi rumahku dari orang asing yang mencurigakan. Aku tahu bahwa mas Rendra punya file penting yang harus dilindungi.
Lusa adalah hari putusan sidang Sarra, aku disibukkan dengan merangkum semua detil percakapan dan menyimpulkan kondisi Sarra. Ada sesuatu yang masih saja mengganjal. Iseng aku cari di internet situs tentang yayasan yatim piatu tempat Sarra diasuh. Rupanya situs ini sudah tidak up to date, tetapi data-data lama masih bisa diakses.
Dan kutemukan artikel ini:
Intan Permata, 8th, meninggal: leukimia.
Barangkali ini sahabat Sarra yang meninggal karena leukimia.
Dan kutemukan testimoni ini, satu-satunya testimoni, tertulis 3 tahun setelahnya:
Aku baru tahu sahabatku meninggal, karena kabar yang beredar Intan yang meninggal, ternyata dirimu sayang. Maaf lama aku tak mengunjungimu.
Turut berduka cita, smoga amal baikmu diterima-Nya. RIP untuk sahabat baikku Sarra.
Sudah kuduga. Sesuatu terjadi di masa lalu. Langsung aku message si pembuat testimoni. Ku ajak dia bertemu, menceritakan semua tentang Sarra.
Hari berikutnya aku kembali mengunjungi yayasan, meminta izin untuk meminjam beberapa foto jadul Sarra, bertemu dengan sahabat lama Sarra, dan berhasil mendapatkan beberapa foto Sarra yang lain.
Nah..
Sudah jelas sekarang. Bagaimana tersangka Sarra, menipu semua orang. Dan aku bisa membuktikannya.
Bersambung...
Aku seketika mendengus, mencegah Rendra mengatakan kata 'sayang'. Sudah menjadi kesepakatan untuk tidak menggunakan kata ini, saat masih dalam tahap 'kenalan' ini. Aku sedikit risih.
"Maaf deh, hampir keceplosan. Biasanya kalo ga sengaja gini, malah tulus dari dalam hati lho." Rendra menggodaiku. "Ngomong-ngomong, ini siapa nih, Ryandra-Kirana?" Rendra menunjuk dua boneka di atas tart.
"Nama anak-anakku." Jawabku singkat.
"Masa' namanya cuma sekata gini.."
"Aku belum menemukan nama tengahnya, tapi nama belakangnya udah ada."
"Siapa?"
Aku menunjuk dada kiri Rendra. Ada nama tersemat di atas kemeja kerjanya.
Rona merah terlihat di pipi Rendra saat dia tesenyum. "Jangan terlalu percaya diri. Hidup tak semudah itu."
"Aku percaya padamu, Rendra." Kutatap matanya yang lembut dan penyayang.
"Ranaa..... ada yang ingin kusampaikan. Sebenarnya......"
AAAAAARRGGGHH!!!
Seseorang berteriak. "Aa..ada orang tertembaaaak..."
Perempatan di depan warung lamongan tempat kami berada mulai dipenuhi kerumunan orang. Aku dan Rendra ikut merangsek, lalu kulihat sosok pria muda tergelatak lemah di lantai.
"Panggilkan ambulans!!" Teriak seorang bapak yang sedang memeriksa tubuh tadi.
"Cepat kita pergi." Bisikan Rendra menyadarkanku yang sedang fokus pada tubuh yang bersimbah darah. Rendra berjalan keluar kerumunan, kususul dari belakang. Langkahnya makin cepat. Lama-lama dia berlari. "Mau kemana Ren?" Rendra terus berlari dalam diam. Sesekali menengok kanan kiri dan belakang.
Sesampainya di belokan gelap, Rendra memelankan langkah, tangannya mengaba agar aku tetap di belakang. Dan aku melihatnya..
Lelaki paruh baya yang tadi berteriak pertama, membuang sesuatu di tempat sampah. Sepertinya, sarung tangan hitam dan.. pistol!! Lelaki itu celingukan lalu cepat-cepat pergi. Rendra membuntuti lelaki itu, setelah memberiku arahan untuk tetap di tempat.
Si pelaku mencoba berlari setelah tahu dia dibuntuti Rendra. Tetapi, Rendra lebih cepat, dengan sigap dia membekuk si pelaku. Dia mengikat tangan si pelaku dengan jaket yang lelaki itu kenakan.
Mulutku menganga, terheran dengan kelihaian Rendra. Kemudian, kulihat mereka untuk pertama kalinya. Dua orang: satu kurus tinggi, satunya bertubuh pendek gempal. Keduanya memakai jaket kulit hitam, topi dan kacamata. Rendra sempat berbincang dengan keduanya, lalu menyerahkan pelaku, kepada dua orang tadi.
Rendra menghampiriku yang masih terlihat syok. "Rana, kamulah orang dekatku yang pertama, yang tahu hal ini. Akan kuceritakan semua rahasiaku padamu. Rana, sayang, aku mempercayaimu. Dan aku ingin mengatakan kata 'sayang', seumur hidupku, kepadamu."
. . . . .
"Sob, kami pamit dulu. Cepet sembuh buat nak Ryan. Kamu cepet kembali ke 'kantor' ya. Bos sudah menunggu." Kedua pria itu berpamitan. Jaket, topi hitam, serta kacamata kali ini tidak mereka kenakan. Ini kali kedua aku melihat mereka. Sahabat dekat Rendra.
"Mereka adalah Robby dan Bobby, partner kerja sekaligus sobatku. Satu-satunya sobat. Kalau suatu saat aku bilang sobat, yah itu berarti cuma mereka berdua. Mereka kembar tapi tidak identik."
Mereka adalah dua orang misterius yang bertemu Rendra saat menangkap pelaku penembakan itu. Pasca Ryan dioperasi, mereka jadi sering membantu keluarga kami.
Saat itu usia pernikahan kami masih seumur jagung. Musibah menimpa kami. Ryan harus dioperasi, colostomy, stoma dibuat diperutnya. Dia didiagnosa megacolon kongenital. Waktu itu mau tidak mau tabungan sekolahku dan mas Rendra harus digunakan untuk perawatan Ryan. Mereka banyak membantu perekonomian kami.
Enam bulan lamanya kami saling interaksi, sudah seperti keluarga. Kemudian mereka pergi, tanpa ada kabar.
Dan, setelah hampur 7 tahun, mereka kembali. Malam ini.
. . . . .
Malam ini.....
Rrr..rr...rrrr...
Ting tong ting tong...
Apa yang harus kulakukan? Mengangkat telepon dulu, atau membuka pintu?
Aku mendekat ke meja telepon. Berhenti sejenak saat akan mengangkat telepon. Belum sampai tanganku memegang gagang telepon, bunyi dering berhenti. Muncul nomor di layar telepon, kucoba telepon balik, tetapi tidak tersambung.
Dua orang dihalaman depan, masih bersikeras membunyikan bel rumah. Aku semakin takut. Tetapi kucoba memberanikan diri, berjalan mendekati pintu dan membukanya. Ah, barangkali mereka datang membawa kabar dari mas Rendra, pikirku.
Dua orang laki-laki dihadapanku, satu bertubuh tinggi kurus, satunya bertubuh gemuk pendek.
"Robby...Bobby...."
"Bolehkah kami masuk? Kami membawa surat dari Rendra."
"Dimana mas Rendra, apa dia masih hidup?"
"Maaf Rana, bolehkah kami masuk dan duduk?"
Mereka kupersilakan masuk dan duduk. Lalu, menceritakan semua yang terjadi pada mas Rendra.
"Dia ada di tempat aman, tapi kami tidak bisa memberitahumu sekarang. Dia sedang menjalankan misi dari bos, dan kami tidak tahu pasti apa misinya."
Syukurlah, itu membuatku lega. Surat dari mas Rendra kubaca dan kusimpan. Benar, itu tulisan tangannya, dia bilang dia baik-baik saja.
Aku ke dapur, membuatkan mereka minuman dan menyiapkan beberapa kue.
Saat akan menyajikan, tiba-tiba tanganku kram, nampan yang kubawa hampir jatuh, tetapi Bobby dengan sigap menolongku.
"Hahaha, terimakasih, aku ditolong seorang agen terlatih, hanya demi masalah sepele gelas jatuh begini."
"Istirahatlah Rana, kami tahu kamu pasti masih syok dan lelah. Tidak perlu repot-repot membawakan makan sgala."
Mereka pamit setelah menghabiskan dua cangkir teh hijau dan beberapa kue.
. . . . .
Hari-hariku selanjutnya kulalui dengan cukup lega, aku tahu mas Rendra masih hidup, mengirimiku kabar bahwa dia aman, serta ada dua orang sahabat dekatnya yang menjaga dan mengawasi rumahku dari orang asing yang mencurigakan. Aku tahu bahwa mas Rendra punya file penting yang harus dilindungi.
Lusa adalah hari putusan sidang Sarra, aku disibukkan dengan merangkum semua detil percakapan dan menyimpulkan kondisi Sarra. Ada sesuatu yang masih saja mengganjal. Iseng aku cari di internet situs tentang yayasan yatim piatu tempat Sarra diasuh. Rupanya situs ini sudah tidak up to date, tetapi data-data lama masih bisa diakses.
Dan kutemukan artikel ini:
Intan Permata, 8th, meninggal: leukimia.
Barangkali ini sahabat Sarra yang meninggal karena leukimia.
Dan kutemukan testimoni ini, satu-satunya testimoni, tertulis 3 tahun setelahnya:
Aku baru tahu sahabatku meninggal, karena kabar yang beredar Intan yang meninggal, ternyata dirimu sayang. Maaf lama aku tak mengunjungimu.
Turut berduka cita, smoga amal baikmu diterima-Nya. RIP untuk sahabat baikku Sarra.
Sudah kuduga. Sesuatu terjadi di masa lalu. Langsung aku message si pembuat testimoni. Ku ajak dia bertemu, menceritakan semua tentang Sarra.
Hari berikutnya aku kembali mengunjungi yayasan, meminta izin untuk meminjam beberapa foto jadul Sarra, bertemu dengan sahabat lama Sarra, dan berhasil mendapatkan beberapa foto Sarra yang lain.
Nah..
Sudah jelas sekarang. Bagaimana tersangka Sarra, menipu semua orang. Dan aku bisa membuktikannya.
Bersambung...
Sabtu, 16 Januari 2016
File Rahasia Psycho #2
"Nak, Sarra... Apakah Sarra sayang sama mama?"
Bocah 5th itu menggangguk, "Sarra sayang mama." Wajahnya kini telah pulih, bekas lebam dimatanya sudah tak terlihat, kesedihan dan ketakutan karena trauma sama sekali tidak tampak di wajahnya.
Ia berjalan ke arah ibunya dan mencium tangannya. Sang ibu mencium kening Sarra tanpa ekspresi.
Suasana haru menyelimuti ruang persidangan. Hari itu adalah hari ditetapkannya keputusan hukuman terhadap seorang ibu yang diduga menganiaya anak kandungnya....
. . . . .
Rrrr...rrr..rrrr
Dering telepon rumah membangunkanku. Rupanya aku ketiduran setelah capek membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, dan mengantar Ryan ke sekolah.
"Hallo, dengan ibu Rana? Ini Sisca gurunya Ryan bu, maaf bu, anak- anak kami larang membawa handphone bu, karena piknik hanya setengah hari saja, nanti guru yang mengabari orang tua kalau anak tiba-tiba sakit, atau rewel. Maaf ya bu, hape Ryan saya simpan di sekolah, demi keamanan juga."
Telepon langsung kututup setelah mengiyakan permintaan guru. Biasanya aku sedikit kritis, tetapi kali ini pikiranku sedang kurang fokus.
Sudah 3 minggu sejak kepergian mas Rendra, aku jadi sedikit terlalu bersemangat jika ada dering telepon dan langsung kecewa begitu tahu telepon itu bukan dari mas Rendra.
Tambah lagi, putusan sidang kasus Sarra akan ditetapkan minggu depan, tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal.
Siang ini adalah kali kedua aku bermimpi tentang Sarra 5 tahun, saat aku menjadi saksi ahli di persidangan kasus penganiayaan Sarra oleh ibu kandungnya. Kala itu ibunya dijatuhi hukuman penjara, dan Sarra diasuh oleh ayahnya, aku sudah tidak tahu nasib anak itu setelahnya. Dan sekarang, saat Sarra 16 tahun takdir mempertemukanku dengannya. Hanya saja aku tidak merasa menemui gadis yang sama. Aku merasa Sarra yang sekarang bukanlah Sarra yang kutemui dulu. Bukan karena pribadinya yang sudah berubah dewasa.
Aku merasa Sarra yang kutemui dulu dan sekarang adalah 2 orang yang berbeda.
. . . . .
Tiga hari lalu, aku sengaja menyelidiki masa lalu Sarra, dimana dia tinggal setelah ibunya dipenjara. Aku mendapatkan sebuah alamat dari wali kelas SMP nya. Ku sambangi alamat itu.
"Selamat siang, saya dokter Rana, saya mendapat alamat ini dari ibu guru Sarra, saya ingin menemui ketua yayasan, dan apakah benar bu, Sarra Natalie pernah diasuh disini?"
"Sebentar bu, saya carikan datanya, jika ads keperluan, silakan anda tunggu disana, kami akan lapor ketua yayasan."
Dan selama hampir 4 jam, aku mendapat cerita keseluruhan tentang Sarra, mulai dari bagaimana ayah dan ibu kandungnya meninggal, lalu Sarra 7 tahun dibawa ke yayasan anak yatim piatu ini. Sarra tumbuh sebagai anak yang cemerlang, sopan dan sangat penyayang. Sarra bahagia tinggal disana, sampai akhirnya dia memutuskan ingin melanjutkan sekolah dengan beasiswa. Ketua bercerita bagaimana dia bisa masuk SMP dan membiayai hidupnya.
"Paginya sekolah, siang sampai malam dia berjualan makanan ringan, dia tinggal di sebuah keluarga yang berwirausaha, home industri makanan ringan. Kebetulan keluarga itu anaknya sudah besar-besar, sudah sukses semua. Sarra menawarkan diri membantu usaha dan diizinkan tinggal disana."
Hidup yang sungguh berat, batinku.
"Sarra sempat menengok saya, terakhir saat akan naik kelas 2 SMP, dia bercerita kalau dirinya bahagia. Dia bilang selalu bersyukur dengan hidupnya. Hanya satu hal yang dia sesali dan sempat membuatnya sedih, dia tidak bisa membahagiakan papa mamanya. Dan dia sedih karena tidak punya saudara. Pernah Sarra mempunyi teman dekat disini, tetapi kemudian meninggal karena leukimia, mereka sudah seperti saudara, bahkan mereka berbagi nama, Sarra sering memanggilnya dengan nama belakangnya, *Natalie*."
"Dua sejoli Sarra dan Natalie. Apakah Anda punya foto mereka?"
Dan kunjungan itu ditutup dengan melihat foto-foto jadul Sarra.
. . . . .
Nguuing..nguuiing... nguuing.. plok!!
"Yaah, kena kepala mama, jatuh deh pesawatnya."
"Ryan sayang, sini nak, minta maaf sama mama udah ngenain kepala mama"
"Iya deh, maaf ya ma." Muka Ryan masam dan tertekuk.
"Anak mama jangan ngambekan gitu donk, sini, sini, mama gelitikin."
"Aww, aww,, hihihi,, mama, geliii,, hihihi, hehehe,,aww"
"Mama gemees deeh"
"Maaa, papa kok ga pulang-pulang sih, luar kotanya jauh ya ma."
Aku tersenyum masam, "Doain papa ya sayang, moga selamat, dan bisa kembali cepat, ntar papa pulang naik pesawat kayak gini, nguing, nguing, trus sampe deh di depan rumah."
"Papa naik pesawat? Sampe depan rumah? Kata bu guru pesawat turunnya di bandara, kalo habis dari bandara naik mobil sampe rumah."
"Iya, sayang, harus ke bandara dulu, nanti sampe bandara Ryan sama mama jemput papa, trus sampe rumah deh. Good boy, tidur dulu ya, udah malem, besok bangun pagi, trus sekolah deh." ku kecup keningnya, dan ku antar dia sampai tempat tidur.
Kupungut kertas mainan pesawat-pesawatan yang dia buat, hmm.. anakku sudah pandai melipat, sangat presisi, persis seperti ayahnya.
Daan..
Daan..
Simbol itu membuatku tercengang, di sayap kanan kiri pesawat ada simbol titik dan coret.
"Ini kaan.. (· · · – – – · · ·) kode morse, SOS!!
Aku baru tersadar, kalau kertas itu berwarna kuning, dengan tulisan kecil-kecil, kertas pesan mas Rendra. Rupanya, mas Rendra telah menggunakan kode morse coret dan titik berderet tiga-tiga ini, sebagai border kertas, hatiku mencelos, aku baru menyadarinya.
Aku langsung ke kamar tidur kami, memeriksa apa saja yang janggal.
Ada note berisi kertas-kertas kuning, disana ada bekas sobekan kertas, kertas itu yang digunakan mas Rendra menulis pesan. Dan sesuatu yang lebih menarik ada di sampingnya. Salah satu koleksi buku mas Rendra, agak mencuat keluar dibanding buku-buku lainnya, ini tidak biasa mengingat mas Rendra sangat teliti dan presisi. Itu artinya buku ini baru selesai dibaca dan dikembalikan dengan terburu olehnya, atau mas Rendra ingin aku membacanya.
Mas Rendra sengaja melakukannya sebagai petunjuk.
Mas Rendra sengaja melakukannya sebagai petunjuk.
Kubuka dengan terburu-buru, takada apapun terselip, takada sesuatu yang janggal. Hanya saja... buku itu adalah buku berisi penjelasan berbagai jenis senjata api dari seluruh dunia. Aku teringat mas Rendra pernah bilang kalau penting aku harus tahu jenis-jenis senjata, suatu saat aku harus mahir menggunakan senjata.
Lalu kulihat laptop mas Rendra, coba kubuka lagi laptopnya. Setelah beberapa hari belakangan kubuka file-file pekerjaannya. Aku teringat ada sebuah file yang diprotect, dan memerlukan password untuk membukanya.
Hatiku tiba-tiba tergerak membuka file itu, mencoba memasukkan password. Ada 6 digit yang harus kumasukkan.
SOS: Help--> TOLONG
Kuketik kata tersebut..
Hmm belum bisa terbuka, aku masih punya 2 kesempatan lagi.
Mungkin... MAYDAY...
Huff, bukaan.. satu kesempatan lagi..
SOS.. SOS.. SOS.. SOS.. SOS.. SOS!! JERMAN!!
Dengan keyakinan dan sedikit ketakutan, kuketik kata ini...
Dan...
Klik, correct pasword...
Yeaah, teringat mas Rendra yang sering menceramahiku soal ini, "kita harus tahu sejarah dek, karena sejarah adalah masa lalu dan masa depan"
SOS pertama kali digunakan di jerman, NOTRUF adalah bahasa jerman, 6 huruf.
Satu persatu file-file itu terbuka..
Satu persatu file-file itu terbuka..
Tapii... apa-apaan ini... file ini......
Deretan foto-foto, artikel, cuplikan berita, video...
Deretan foto-foto, artikel, cuplikan berita, video...
Beberapa gambar yang familiar di televisi, dan iii..iniiii..
140116
Berita yang sedang hangat di televisi, akhir-akhir ini, 3 minggu lalu sebelum mas Rendra menghilang..
Mas... kamu tidak... terlibat.. iniii kaan....
Rrrr..rrr..rrr.. telepon rumah berbunyi
Aku bersegera beranjak ke bawah.
Tap..tapi.. ada firasat buruk.. haruskah kuangkat telepon ini.....
Tap..tapi.. ada firasat buruk.. haruskah kuangkat telepon ini.....
Haruskah!!!
Ting tong ting tong... aku tersentak, kaget dan terhenyak..
Apa yang harus kulakukan.. mengangkat telepon,, membuka pintu...
Seseorang, bukaan ada dua orang....
Maaas tolong, tolong aku, akuuuu takut!!
Bersambung..
Kamis, 14 Januari 2016
Psycho
Seperti biasa, pukul 22:00, dia sudah sampai di Hek Pojok Kota. Sebuah angkringan dengan menu nasi kucing, gorengan, sate, dan berbagai minuman hangat, berdiri didepan gang di daerah pinggiran ibukota. Adalah rutinitasnya selepas pulang kerja mampir disana, dia dengan kemeja biru panjang, digulung sampai lengan, celana panjang necis, dan sepatu hitam mengkilat.
"Mas Rahmat.. monggo mas pinarak, seperti biasa nggih mas..."
"Tambah kopi hangat, dek"
"Tumben ngopi mas, dulu njenengan bilang kalau sudah dilarang isteri minum kopi, atau malah sedang *ngidam* ini?"
"Mboten dek, cuma nanti mau begadang, nemenin ibunya Ryan yang juga begadang"
"Wah, ada pasien sulit lagi mas? Mbok dibilangin isterinya, jangan capek2, nanti adeknya Ryan ga jadi-jadi..hehe"
"Iya dek, memang tumben ini, sepertinya kasus pasiennya cukup melibatkan emosi isteri, saya ikut menjaga saja, supaya ada teman saat kerja"
Pukul 22:45 dia sudah pamit, 20 menit lebih cepat dari hari sebelumnya. Kali ini dia sedikit cemas dengan kondisi isterinya, dia harus setidaknya menenangkan sang isteri, karena besok adalah hari yang penting bagi isterinya.
. . . . .
"Dokter Rana, apakah benar Anda sudah mengenal Sarra sejak usia 5 tahun?"
"Iya Yang Mulia"
"Bagaimana Anda mendeskripsikan Sarra 5 th?"
"Tidak ada yang istimewa, Yang Mulia, seperti anak perempuan sebayanya."
"Apakah Anda menduga adanya gangguan psikis pada Sarra usia 5 th?"
"Setelah kejadian tersebut, dan kondisi fisiknya pulih, tidak ada, Yang Mulia"
"Saudari Rana, apakah menurut pengetahuan Anda sebagai seorang ahli Psikiatri, pada kondisi Sarra yang sekarang, terdapat bukti adanya gangguan kejiwaan?"
"Secara umum, perilaku Sarra sesuai dengan usianya sekarang, yaitu 16 tahun, Sarra dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan jujur, kemampuan kognitifnya baik."
"Bisakah Anda simpulkan, kondisi kejiwaan Sarra baik?"
"Tidak sepenuhnya, Sarra mengalami gangguan mood yang intermitten atau hilang timbul, dan jenis kepribadian skizotipal yang potensial memicu skizofrenia, meski begitu hal ini belum sampai mengancam nyawa diri sendiri maupun orang lain, Yang Mulia."
"Terimakasih dokter Rana Khairunia spesialis kejiwaan, selaku saksi ahli, keterangan Anda kami rasa cukup, kasus ini akan kami...."
"Maaf, Yang Mulia, mohon izin, sebagai teman lama, saya ingin.. paling tidak.. membantu Sarra secara moril, bisakah saya diizinkan menemui tersangka?
"Kami pertimbangkan, tetapi Anda tidak diizinkan menemui Sarra di luar tahanan, selama kasus ini masih bergulir."
"Baik, Yang Mulia"
. . . . .
"Dok, suara itu datang lagi, dok, suara itu lagi, tolong dok"
"Apa yang kamu dengar Sarra?"
"Lelaki tua itu bilang, Dok, kalau saya harus mati, saya harus bertanggungjawab, Dok, saya tidak pernah mendorong Maky, tolong saya Dok, saya tidak salah."
"Suara itu tidak nyata, Sarra saya tahu kamu tidak salah. Saya akan membersihkan namamu."
"Terimakasih Dokter Rana, Anda membantu saya untuk kedua kalinya"
"Sarra, ada yang ingin saya tanyakan padamu." Kali ini mataku beradu tajam dengan matanya. "Sarra apakah kamu menyayangi ibumu?"
"Kenapa Anda tanyakan ini pada saya Dok? Anda tahu sendiri kan? Ibu saya sudah memberi saya kenangan pahit, ibu saya..."
"Sarra, apakah kamu menyayangi ibu kandungmu?" Mataku tak lepas tertuju pada gadis dihadapanku, gadis 16 tahun, tersangka pembunuhan, mataku perih menahan kedip untuk memastikan alat scannya bekerja baik, aku menscan isi hatimu Sarra, katakan apapun, aku pasti tahu kebenarannya.....
"Te..tentu saja aku sayang ibuku" Sarra menjawab dengan terbata setelah 5 menit kesunyian, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Baik, saya kira sudah cukup, saya harus kembali bekerja"
"Terimakasih dok, sekali lagi terimakasih dokter mau membantu saya. Oh ya dok, hati-hati di jalan dan jangan capek-capek ya dok, dokter harus jaga kandungan. Semoga calon putri Anda secantik dan sebaik diri Anda Dok."
Sekali lagi, aku harus terkejut, gadis ini memang mengejutkan sejak pertama bertemu, "Terimakasih Sarra, tapi dari mana kamu tahu saya hamil Sarra?" Aku tersenyum padanya, menyembunyikan keterkejutan.
"Hanya feeling Dok, aku sayang dokter, dokter seperti menggantikan mama, ada disaat aku butuh." Sarra tersenyum sangat manis. Gurat wajahnya yang lembut membuat setiap orang yang melihatnya tidak akan percaya bahwa dia menjadi tersangka pembunuhan. Sama seperti ketika pertama aku melihatmya.
Tetapi hari ini aku tidak mempercayainya, ada sesuatu yang dia sembunyukan. Aku tahu hari ini, dia telah berbohong.
"Aku berjanji Sarra, aku akan membantumu, aku akan membersihkan namamu." Aku berjalan menuju pintu keluar Rutan.
Aku masih terngiang perkataan gadis itu, dia tahu aku hamil, bahkan suamiku sendiri belum aku beri tahu. Gadis itu selalu membuatku terkejut, wajahnya manis, sorot matanya terlihat cerdas, tetapi hatinya terasa dingin, beku. Salah satu tipe orang yang "tak tergapai". Tipe kepribadian yang sulit sulit didekati, dan cukup membuatku waspada, membuatku gentar dan sedikit takut.
. . . . .
Aku sampai dirumah lebih cepat. Aku membawa beberapa bahan makanan, hari ini aku ingin memasak yang spesial, steamed abalone with fruit salad , kesukaan Rendra. Aku langsung ke dapur. Saat aku akan meletakkan bahan makanan di kulkas, dari sudut mata kulihat ada sesuatu yang menarik diatas meja dapur. Setangkai bunga dengan sepucuk surat dibawahnya.
Dek Rana sayang...
Saat kamu baca surat ini, aku sudah berada bermil-mil atau lebih jauhnya, atau bahkan tak terhingga jarak kita.
Semalam, sepulang kerja ada orang membuntutiku sampai depan rumah, tetapi aku tidak memberitahumu agar kamu tidak cemas karena kamu harus menghadapi persidangan. Aku tahu beberapa minggu ini kamu sedikit lebih cemas dan gugup dari biasa, sehingga kuputuskan setiap malam menemanimu begadang dengan beralasan banyak pe-er kerjaan.
Aku berpikir ada sesuatu yang tidak beres akan terjadi, pagi ini aku tulis surat ini, untuk meminta maaf.
Maaf belum bisa membuatmu bahagia, maaf belum bisa melindungimu, maaf aku tidak bisa berjanji akan kembali lagi.
Dek, mungkin aku tidak bisa kembali, titip Ryandra, dan titip calon putri manis kita, jaga kesehatan agar Rana junior lahir sehat dan selamat.
Terimakasih atas semuanya.
Suami yang sangat mencintaimu,
Syairendra Rahmat
Hatiku mencelos, serasa dunia ini akan runtuh, kakiku bergetar hebat. Dalam kepanikan aku keluar halaman rumah, memanggil-manggil Rendra dengan bingung.
Seketika itu aku melihat dirinya, gadis perempuan berambut ikal, berponi, Sarra. Sarra naik sebuah metromini, dia tersenyum kepadaku. Sontak aku menuju mobil, menstater mobilku, dan kukejar metromini itu.
Aku merasa harus mengejar Sarra, aku merasa dia tahu dimana Rendra berada.
Aku mengendarai mobil dengan menggila. Setelah 10 menit, metromini itu berhasil kukejar, kubawa mobilku kedepan metromini dan mengerem mendadak, memaksa sopir menghentikan metromini.
Aku masuk metromini dan mecari-cari Sarra, tetapi dia tidak ada......
Bersambung..
Langganan:
Postingan (Atom)