Minggu, 05 Maret 2017

Run Away

Sudah lama aku tidak menulis di blog ini. Hingga suatu malam aku terbangun dari tidur setelah bermimpi lamaaa sekali, lalu aku memutuskan untuk menulis pengalaman bawah sadarku yang unik ini. Seperti mimpi2 yang lain, yang selalu tidak jelas bagaimana awalnya. Bersiaplah untuk membacanya.

Di sebuah jalan menanjak di suatu perkampungan padat terdengar letupan senapan, beberapa kali. Tidak ada korban jiwa, tapi suara letupan itu cukup mencekam, mengusik siang yang biasanya damai. Semua warga berada di dalam rumah, tidak berani keluar, demikian juga kami. 

Aku bersama sekumpulan orang yang tidak saling kenal bersembunyi di salah satu rumah warga berdinding bambu. Kami tahu rumah itu tidak cukup layak melindungi kami dari peluru senapan. Seorang laki2 paruh baya berkemeja putih lusuh, berteriak2 seperti preman.

"Ayo, menyerah saja kamu daripada seluruh penduduk desa ikut jadi korban. Tunjukkan dirimu, yang berani2nya mencuri uang kami. Cepat keluar!! 
Hey kamu, kamu ya pencurinya, aku dengar seorang dokter telah ngobrol dan ditawari musuh kami, Mr.X untuk membobol jaringan kami!"

Seorang wanita berjas putih (jas yang sering dipakai para dokter), berhijab, cukup berani menampakkan diri sambil duduk dibangku depan rumah tempat kami bersembunyi, menjawab dengan berteriak.

"Sembarangan ya, bapak ya, saya memang ditawari pekerjaan itu oleh Mr.X tapi cuma sekadar ngobrol saja. Kalo ngobrol saja ya belum tentu saya pelakunya. Pasti banyak juga yang ditawari dia (Mr.X). Sekarang mana buktinya!"

Lelaki tua menyahut "Sebentar lagi kami akan punya nama pelakunya, sebelum kami tahu lebih baik menyerahlah siapapun kamu!"  

Seketika itu pemahaman memenuhi kepalaku. Aku teringat beberapa waktu lalu tiba2 ada banyak orang asing yang bertegur sapa denganku, terlalu banyak sebenarnya, sehingga aku merasa agak janggal tapi tidak kupedulikan, ada yang bertanya alamat, tempat, dll. Bahkan ada bapak2 paruh baya yang bertemu denganku di sekolah, agak janggal laki2 berusia tua datang ke sekolah bertanya hal itu, tapi aku tidak cukup ingat siapa mereka, apa yang mereka tanyakan. Tambah lagi beberapa hari lalu aku sempat tidak bisa masuk kamar kos, aku kira kuncinya bermasalah, sampai tukang kunci memeriksa dan mencoba kunciku, ternyata tidak ada masalah dan dengan ajaib kunciku tadi tiba2 bisa digunakan kembali. Dan lagi, aku merasa kamar kosku akhir2 ini tidak aman, seperti ada orang lain yang "tinggal" disana?. Dan lebih parahnya, ada jejak orang mengotak atik komputerku, entah siapa, meski tidak ada dokumen yang hilang. Mengingat semua hal tadi aku merasa bahwa semua ini tentang aku. Akulah yang mafia2 itu cari. Dan aku sebenarnya sedang dijebak. Aku pelaku yang dibuat oleh seseorang sebagai hacker kelas kakap yang berhasil membobol jaringan mafia, dan merampas pundi2 emas mereka. Seperti pria paruh baya tadi tuduhkan: seorang dokter sebagai hacker yang membobol jaringan mereka dan menghilangkan ribuan dolar yang mereka kumpulkan. Mereka pasti sangat marah.

Aku kumpulkan semua orang yg ada di rumah persembunyian itu, aku ceritakan kegelisahanku itu. ".. jadi mereka mengincarku, aku dijebak, tapi mereka pasti tidak percaya meski aku menceritakan yang sebenarnya. Kamar kosku dimasuki orang, komputerku digunakan, aku dijebak seolah akulah yang nge-hack mafia, kalian tahu aku bukanlah hacker." Mereka terdiam. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Aku jadi sedikit tidak percaya mereka. Khawatir jika salah satu dari merekalah yang menjebakku. Aku melanjutkan. "aku akan pergi, kalian tolong aku, ulur waktu mafia, kalian pasti paham apa yang harus dilakukan. Aku akan kabur, sembunyi, aku tidak ingin tertangkap."

Lalu aku pergi lewat pintu belakang rumah, berjalan menunduk, kadang merangkak, beberapa kali melompat, dan sedikit atraksi akrobatik. Suasana sekeliling desa sangat mencekam, orang2 tidak berani menyalakan lampu rumah terang2. Sebagian besar rumah mereka bercahaya temaram, bahkan ada yang sengaja membuat gelap rumah agar dikira tidak ada penghuninya. Atau mungkinkah rumah mereka pun sudah dikuasai mafia? Ah, sepertinya seluruh desa sudah dikuasai para mafia.

. . .

Perjalananku cukup lancar. Aku tiba dirumah tanpa diketahui dan diikuti siapapun. 
Aku langsung masuk ruang bawah tanah, tanpa ba-bi-bu, tanpa menyapa org tuaku. 
. . .

Malam itu aku tidur diruang bawah tanah, ditemani kelelawar besar. Seketika aku merasakan hawa dingin yang aneh, lebih menusuk daripada biasa. Sendiri. Menghindari kejaran org2. Tegang. Mencekam seperti menunggu maut (mungkin). Ah. aku tidak suka suasana ini. 
Dalam situasi ini aku tiba2 teringat bahwa aku di dunia mimpi. Kalau begitu.. aku bisa mengubah cerita ini kan??
. . .

Aku reset waktunya ke beberapa jam sebelum ini, ketika aku sampai dirumah:
Aku tidak ke ruang bawah tanah. Aku mendatangi kedua ortuku. Aku ceritakan situasinya kepada mereka. Orang tua adalah orang2 yang paling aku percaya. Awalnya mereka menyuruhku sembunyi di loteng, tapi kucing kami tidak bisa diajak kompromi, dia mengeong2 dan selalu menempel padaku. Aku tidak mungkin sembunyi dengan kondisi begini. 

Setelah berdiskusi panjang, malam itu akhirnya diputuskan skenario luar biasa. Menurut kedua ortuku, aku harus disembunyikan, selamanya, agar mafia tidak mengejarku lagi. Aku harus "dibuat mati." 

Pagi harinya, skenario itu dijalankan. Aku mati. Dikuburkan. Diumumkan secara luas. Para tetangga tahu, orangtuaku sudah menyiapakan skenario terbaik jika orang2 mempertanyakan anak gadisnya yang mati muda. Dan sepertinya para mafia pun tahu. 
. . .

Tahun2 setelah itu para mafia sudah tidak terlihat lagi. Mereka sudah menyerah karena orang yg mereka anggap salah sudah mati atau mungkin mereka justru sudah berhasil mengembalikan harta mereka lagi. Entah yang mana, yang jelas akhirnya aku dan keluargaku aman. Rasanya aku ingin bilang The End, tetapi tunggu dulu. Kisahku masih berlanjut tidak cukup sampai disitu.

Minggu, 24 April 2016

InDiGo?? "PSYCHO" session 2 HaHaHa

Jari-jari lentikku terlalu sibuk memencet keyboard laptop. Memaksaku membuat tugas essay dari guru yang cukup menyiksa. 'Aku tidak suka menulis. Oh, ayolah ini segera berakhir'.  Aku stagnan dan baru dapat satu paragraf awal. Hmm.. tak ada ide.

Aku masih terus mengetik, sebenarnya pura-pura mengetik, karena ada yang lebih menarik disimak. Siang ini gadis cantik, berambut lurus sebahu, bernama Sonya menginterogasi seorang teman prianya.

"Kau kan yang ngasih surat, coklat sama bunga di mejaq. Udah deh ga usah sok misterius, ngaku aja."

Dan si pria langsung mengangguk. Kini si gadis malah semakin bingung. Mukanya tertekuk.

Ini adalah kali ketiga dia menanyai teman prianya satu persatu. Lebih tepatnya memaksa si pria mengaku. Terang saja semua pria itu malah jadi mengaku sebagai 'pria misterius penggemar si gadis.' Aku tak sengaja mengikuti cerita ini, karena Sonya selalu memilih tempat yang sama saat menginterogasi. Perpustakaan. Tepat 2 meja arah jam 9 dari tempatku (selalu) berada.

Sonya ternyata juga menyadari keberadaanku, karena setelah si pria ketiga pergi dia mendekati mejaku. "Siapa namamu?" tanyanya ketus.

"Rana."

"Jangan ceritakan ke siapa-siapa ya. Terutama teman2q. Jangan sampai mereka tahu, mereka tidak membantu. Sepertinya kau bisa dipercaya. Kalau teman2q sampai tahu, awas kau. Kutandai kau ya."

Aku hanya mengangguk. Dia sudah beringsut sambil mengibaskan rambutnya yg hitam mengkilat dan lembut. Tetiba aku ingin menyampaikan ini, kepadanya:

"Hey, namamu Sonya kan? Pria kedua. Dia adalah pria misteriusmu."

Dia tertegun sejenak "Kau serius? Darimana kau tahu.. Jangan2 kau bersekongkol dengannya untuk menjebakq?! Bisa kau buktikan?! hee!"

"Yaaah, hanya jika kau percaya padaku. Cari tahu sendiri kalau kau tidak percaya."


. . . . .

Dua minggu kemudian, aku masih di meja yang sama. Kali ini mengerjakan r-e-v-i-s-i essay. hmmmff.. Oh God, sampai kapan ini akan berakhir..

Aku sedang sibuk2nya, ngebut 5 paragraf terakhir essay. Dua hari lalu sudah kubuang jauh2 idealismeku, dan membuat essay sesuai "selera" guruku.
Lalu...
"Heey,, Rana.. Gokil lho!!"
Si Sonya berteriak didepanku, wajahnya bersinar girang. Dan cantik. "Anyway, thanks ya.. berkat saran kau, sekarang aq jadian sama Indra. Gokil kau bisa tebak dengan benar. Kok bisa c? Aq tanya Indra dia ga kenal samsek sama kau. Jangan-jangan kau yg kepoin Indra ya? penggemar beratnya ya.. haaa!!?
Mmm... apa jangan2 kau ini.. cenayang??? kasih tahu rahasianya? kamu kepoin aku ya?
Wait.. wait.. plis.. jangan bilang kamu punya kemampuan aneh itu. Tunggu dulu.. mereka nyebutnya apa.. I.N.D.I.G.O??"

. . . . .

Berita mengenai aku dan dugaan aku indigo tersebar luas. Gara2 si cantik Sonya. Awalnya aku tidak terima. Beberapa teman agak menjauhiku. Bahkan ada yang sengaja menghindar tatapan muka jika bertemu. Hanya Kania satu2nya orang yang kupercaya.

"... aku tetep nggak percaya Ran, apapun kata mereka. Kamu bisa tetap mengandalkanku dan mempercayaiku."

"Iya Kan, makasih." (makasih sudah mau mempercayaiku, meskipun perkataan Sonya ada benarnya).

. . . . .

Aku memang tidak sepenuhnya jujur, aku tidak sekedar menebak pria misteriusnya Sonya, seperti ceritaku kepada teman2.
Aku diam2 melakukan riset, tanpa Sonya tahu, hanya dengan duduk didepan laptopku dan mendengarkan percakapan dia dg ketiga prianya. Aku "membaca" mereka.
Hal serupa juga kulakukan kepada guru Bahasa Indonesiaku, terkait essay.

Aku menyelidiki kecil2an kebiasaannya. Trauma di masa lalunya. Dia seorang guru, single parent, penikmat musik jazz, hobby memasak, dan penyuka traveling.

Cukup mudah membuatnya tersentuh jika aku mengambil essay yang beririsan dengan pengalaman hidupnya. 'Pengkhianatan dalam sebuah hubungan rumah tangga.' Kurang lebih begitu temanya. Setidaknya itu yang dia percaya. Dia (merasa) sebagai korban. Dia trauma. Peristiwa itu mengubahnya menjadi pribadi yg tidak mudah percaya kepada orang. Hmm.. cerita yang merefleksikan diri si pembaca mungkin akan menyentuh di awal tetapi ujungnya akan menjadi sulit diselesaikan.
Bisa2 aku diajaknya berlama2 menulis essay ini, hanya untuk memuaskan perspektifnya, mencari pembenaran atas keputusan dirinya, menjadi tempat curhatnya atau apalah.
Akhirnya kuputuskan mengganti topik essay menjadi "traveling". Traveling adalah obat saat ia bersedih.

Sonya benar soal aku punya kemampuan berbeda. Jelas bukan indigo. Sebenarnya aku tidak tahu apa namanya, pokoknya aku mudah "membaca" orang.

Aku adalah salah satu dari 7 murid di sekolah yang tidak pernah mengikuti remedial. Sejak pertama masuk, sampai kelas 3 semester 1 ini. Aku selalu menggunakan strategi "probabilitas". Asal sekolah masih menggunakan "standar deviasi" dalam menyaring siswanya yang remedial.
Untuk bisa lolos dari remedial aku harus menjadi salah satu dari 33% siswa dengan nilai tertinggi. Dari soal2 yang meragukan aku harus menargetkan 60-70% jawabanku kira2 sama dengan jawaban terbanyak teman2ku. Tentunya selama sekolah aku sudah mengetahui karakter dan pola pikir mereka. Dengan asumsi 30% dari mereka menjawab soal secara random.
Selain itu, untuk lulus ujiam, aku harus tahu hal2 penting tentang guruku. Aku harus tahu apa yang mereka sukai. Asal mereka menjadi penilai ujianku, dipastikan aku (selalu) lulus ujian.
Dan mereka yang tidak menyadari tipuanku, akan bilang bahwa aku pintar.

. . . . .

Selama satu bulan rumor itu tersebar, dan pada bulan2 berikutnya, aku menjadi kebanjiran klien. Ada yang meminta saranku bagaimana cara menang lomba essay dimana jurinya adalah wali kelasku, ada yang ingin saran lulus setiap ujian, tetapi sebagian besar meminta saranku tentang masalah cinta, memahami pasangannya. Zzzzz.. Sulit.
Bahkan di suatu siang, saat aku sudah selesai mengemasi laptopku dan bergegas pulang. Seorang guru Bahasa Inggris menghampiriku.

"Rana, bisakah kali ini aku menikah dengannya?" kata si guru yang sudah berusia.. ehm.. hampir kepala 4, sambil menyodorkan foto seorang lelaki kepadaku.

Atau pengalaman ekstrim lain. Seorang adek kelas, super atletis, flower boy, anak mama mendatangiku. "Bisakah kau beri tahu aku kak, apa yang disukai gebetanku ini, aku ingin memberinya kejutan."

"....siapa namanya?"
Daaan.. dia menunjuk.. aku." zzzzzzzzzzzzz.....

. . . . .

Di usiaku yang ke 22 aku bertemu dengannya.
Awal pertemuan adalah di tempat yang sangat tidak romantis. Angkringan.
Petang itu gerimis, aku pulang kuliah. Lapar.. Aku mampir disebuah angkringan. Ibu pedagang baru saja membuka dagangannya.
Aku mengambil (beberapa) bungkus nasi, lauk, memesan susu coklat hangat untuk dibawa pulang. Sialnya si ibu lupa membawa gula. Dia pamit membeli gula, duh aku keburu lapar. Mana gerimis lagi.

Ditengah2 kelaparan, aku melihat dia. Tegap, gagah, tinggi, berbaju necis. Hhaha.. aku sempat berpikir, masnya salah kostum untuk ukuran makan (hanya) di angkringan.

Selama sekian menit perut kosong plus pikiran ikut kosong, imajinasiku masih tertuju pada pria necis itu. Tetiba aku ingat perkataan Kania. "Kalo kamu liat pria necis di angkringan kemungkinannya cuma 3: pegawai yg lagi ngirit, penagih utang, atau intelijen." Hhaha.. aku makin geli membayangkan kemungkinan ketiga. Pria begini, datang ke angkringan yang sangat biasa begini, mau cari2 informasi rahasia?

Duuh, ibunya lama sekali. Aku keburu lapar. Kuputuskan makan di tempat. Saat bungkus kedua aku buka, pria muda itu membuka percakapan dengan bapak disebelahnya. Seorang pria yang kutebak sebagai tukang ojek atau tukang becak. Si pria muda bertanya acak. Yang bisa kusimpulkan mereka sudah kenal lama.

Aku mulai mengikuti alur pembicaraan mereka. Acak, sangat acak pertanyaan si pria muda ini. Bungkus nasi ketiga aku buka dan kembali aku mendengarnya.. dia menyebut angka2.. tahun.. Si pria membuatnya seolah membicarakan tentang tahun, tetapi anehnya angka2 itu berpola. Iseng aku ambil hape, browsing kode2 kepolisian/ militer. Tapi tidak membantu.
20 menit disitu dan aku tahu si pria muda adalah semacam intelijen. Si tukang ojek adalah informan. Dan si pemilik angkringan adalah informan lainnya. Wow. Angkringan ini tiba2 menjadi sangat menarik.

Bulan berikutnya aku sering menyambangi angkringan itu, dan dimulailah perkenalanku dengan si pria muda.

Dan segala hal takdinyana yang menimpaku setelahnya, memaksaku untuk (harus) semakin mengenalnya.
Dialah Rendra.

FLASHBACK SELESAI...
. . . . .

Rendra datang ke kamar berjeruji besi tempat tinggalku selama hampir 10 bulan ini. Di malam sebelum hari eksekusiku, Sebulan pasca aku melahirkan anak keduaku.

Tap..tap..tap..

Suara derap langkah bersepatu memecah keheningan, membuyarkan keteganganku membayangkan hari eksekusi.

Rendra datang. "Rana, aku minta bantuanmu. Jika kamu bisa membantu (kami). Kamu akan dibebaskan dari hukuman."

Aku terdiam.
Rendra melanjutkan. "Aku membutuhkan kemampuanmu. Tolong (kami) mencari tahu siapa mata-mata di sini. Siapa pengkhianat yang berani bercokol di bawah hidung pemerintah ini."

Hmmm... Aku tahu. Aku sudah mencium kebusukan ini. Aku tahu sebenarnya keberadaan Rendra terancam akan hal ini.

Aku masih terdiam. Tatapan Rendra yang dalam, memaksaku mengingat kenangan kami.

Lalu, aku mengangguk perlahan.

Bersambung

Jumat, 26 Februari 2016

Anak lelaki yang Sok Pahlawan

"Selamat siang Pak Darmawan, silakan duduk." Sang kepala sekolah mempersilakan pria itu duduk. Suasana di ruang kepala sekolah cukup menegangkan. Ada 6 guru (2 laki- laki, dan 4 perempuan), kepala sekolah, dan pria itu.

Pria itu mulai bicara. "Selamat siang bapak ibu guru dan bapak kepala sekolah, saya disini terkait surat peringatan yang diberikan kepada anak saya. Hari Rabu, sepulang sekolah, anak saya menangis dan bercerita kepada ibunya, kalau dia dimarahi oleh seorang pak guru. Saya ingin mengetahui duduk perkaranya."

"Ini terkait kejadian yang menimpa seorang murid kita pak. Kejadian saat ada tawuran antar kelas. Putra anda dipanggil dan ditanyai oleh pak guru mengenai kejadian tersebut. Apa yang dia lihat dan siapa saja anak yang membawa batu. Begitu pak."

"Dari cerita anak saya, ada 2 orang guru yang bertanya. Dihari pertama dia ditanya pak guru Sony, dia bercerita kronologi detilnya anak kelas 9 yang membawa batu. Lalu di hari kedua dia dipanggil lagi. Yang menanyai pak Burhan. Oleh pak Burhan dia dikatai 'mencla-mencle', digebrak meja, dan diminta mengaku kalau dia pelakunya. Anak saya otomatis takut."

Pak Burhan mulai angkat bicara. "Mohon maaf sebelumnya pak, saya memang keras, bicaranya langsung, anak saya tanyai kalau memang dia pelakunya ya ngaku saja." 

"Pak, setahu saya, posisi anak saya sejak awal adalah saksi. Tetapi dia jadi diperlakukan seperti tersangka. Setahu kami pak, yang biasa menyidik, sesama penyidik harus koordinasi. Jika pertanyaan yang diajukan ke saksi kontennya sama ya pasti jawabannya sama, tapi jika kontennya berbeda ya pastinya jawabannya berbeda. Kalau seperti itu tidak bisa dikatakan 'mencla-mencle' lalu dituduh pelaku anak saya."

Semua terdiam..

"Kronologinya, dari cerita anak saya begini:"

Siang itu....

Anak-anak kelas 7h diharapkan semua kumpul di dalam kelas.
Suara TOA menggema diseluruh sekolah.

Anak-anak 7h sebagian besar sudah berkumpul di dalam kelas. 

Ibu guru: "Anak-anak, ibu guru prihatin dan kecewa. Kalian sudah diingatkan, masih saja kalian berbuat gaduh. Tadi siapa saja yang ikut lempar2an?"

"Semuanya bu... kami cuma pakai biji-bijian kok." Suara anak-anak bersahutan menjawab pertanyaan guru. 

"Teman kalian ada yang terkena matanya, sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit, mau dioperasi, doakan semoga masih bisa pulih. Kalian semua sekelas ini, ibu beri sanksi. Ibu akan buatkan surat peringatan. Besok akan ada pertemuan dengan orangtua murid."

Anak-anak mulai ribut... sebagian cemas memikirkan sanksi dari sekolah. 

"Sudah-sudah jangan ribut, jadikan pelajaran lain kali tidak boleh bermain2 sembarangan lagi. Ibu dengar ada yang sampai melempar dengan batu. Kemungkinan batu itu yang mengenai mata teman kalian. Sebagai wali kelas ibu prihatin dengan kelakuan kalian. Kelas ini dari dulu selalu bermasalah."

"Buuu.." seorang anak lelaki mengacungkan tangan.

"Ada apa Gus?"

"Yang lempar2an ga cuma kelas 7h bu. Kelas 9f juga. Kami cuma pake biji, anak 9f yang bawa batu."

"Kamu lihat siapa yang membawa batu?"

"Lihat bu."

"Nanti kamu ketemu di ruang guru ya."

"Ya bu."

. . . . 

"Sini Gus, duduk sini." Pak Sony menyuruh anak didiknya duduk. "Ceritakan Gus yang kamu lihat. 

Bagus menceritakan kronologi kejadian dengan detil. Awalnya siswa kelas 7h iseng main perang-perangan dengan biji-bijian. Lalu ada sekawanan kelas 9f lewat, terkena lemparan. Anak kelas sembilan yang merasa lebih gagah daripada adek kelasnya merasa tersinggung. Mereka ikut terlibat 'peperangan'. Anak kelas 9f mengambil batu. Anak kelas 7h ketakutan. Sebagian bubar. Termasuk Bagus yang ikut lari dari halaman sekolah melewati depan kelas 8 lalu menuju kedalam kelasnya. Saat ia lewat ia melihat ada anak kelas 9 yang membawa batu berdiri di sekitar temannya yang nantinya menjadi korban. Si temannya yg jadi korban itu ikut bermain lempar-lemparan. Tetapi Bagus tidak melihat jelas batu siapa yang mengenai mata temannya.

"Yang taklihat gitu pak." 

"Ya sudah sekarang boleh balik ke kelas."

. . . .  

Hari berikutnya..

"Gus, sekarang ceritakan kamu melihat kejadian kemarin. Gimana ceritanya?"

Bagus mengulang cerita.

"Loh kamu melihatnya didepan kelas 7 apa kelas 8?"

"Eh, maksud saya kelas 8 pak."

"Lho.. kamu itu gimana to? Katanya kemarin di kelas 7 sekarang kelas 8. 'Mencla-mencle' kamu. Sudah kalo kamu yang nglempar batu, mending ngaku saja. Ayo ngakuu!" Braak!! Pak Burhan menggebrak meja dengan emosi.

Bagus ketakutan. Matanya merah dan mulai akan menangis

. . . .

"Anak saya diperlakukan seperti itu. Ya saya tidak terima. Anak saya itu saksi.. ee malah dituduh tersangka dengan desakan. Ya anak saya syok pak. Anak saya sekarang ketakutan karena dituduh. Niat dia ingin menceritakan yang dia lihat, malah dituduh. Anak saya anak mami, memang betul pak. Sedikit sedikit ibunya. Mentalnya kecil. Tapi ibunya juga yang sudah menjadikan dia begini pak. Berani 'ngacung' dan bilang apa yang dia lihat. Lama lho pak, mental anak saya dibentuk begitu. Tahunan. Sampai dia berani bilang jujur. Tapi sekarang dia takut, pak."

"Memang benar pak, tetapi ada keluarga lain juga pak yang anaknya terkena musibah."

"Oh lha iya pak. Memang benar ada korban. Tapi bukan caranya juga mencari-cari kambing hitam, anak saya itu saksi pak. Dia berani mengadu ke anda. Apa ya kalo anak yang salah berani datang ke anda menceritakan kronologinya. Saya yakin enggak pak. Jangan karena pihak sekolah prihatin dengan korban, lalu mendesak anak lainnya supaya jadi pelaku. Jangan sampai anak saya karena ditekan lalu ketakutan dan mengatakan hal yang tidak benar." 

Kepala sekolah bicara lagi. " Baiklah Pak Darmawan kami paham maksud bapak. Sekarang begini saja. Kiranya pihak sekolah tidak ingin peristiwa ini sampai telinga luar. Sebaiknya bagaimana kami menyikapinya. Anda seorang penyidik pasti lebih sering menangani hal begini."

"Kalau masalah itu, lebih baik sekolah melakukan pendekatan ke keluarga korban. Dalam bentuk moril maupun santunan, kompensasi."

"Baik pak. Terimakasih 'njenengan' telah datang ke sini. Mohon maaf atas perlakuan kami terhadap anak bapak.

"Sebaiknya memang cukup pendekatan kekeluarga, bagaimana setelah operasi jaminan pendidikan terhadap anak ini. Dan sepertinya juga sulit pak, kalo mau cari tahu pelaku.. karena posisiny semua anak saling lempar. Semoga keluarganya ikhlas." 

. . . .

Di rumah..

"Gimana pah? Anak kita masih disalahkan?" 

"Engga mah dah beres. Malah pihak sekolah minta dibantu biar ga masuk ke ranah hukum." 

"Waaahaha.. ya sudah." Sambil menyiapkan makan siang si ibu berkata ke anak. "Gus, pokoknya mamah bilang, kalo kamu lihatnya A ya A, jangan karena didesak atau temene bilang B kamu jadi ikutan. Apa yang kamu lihat itu yang kamu sampein. Udahlah besok2 lagi ga usah mau jadi pahlawan Gus. Jujur malah keblasuk. "

Si bapak bilang. "Ga papa Gus. Yang penting kamu jujur. Dan berani bilang. Kamu dah 'ngacung' dan bilang ke bu guru tu dah siip. Sing berani, ga usah ciut nyali. Mental cowok tu ya gitu."

"Oke Mah, Pah."

--Inspirasi dari Kisah Nyata--

Kamis, 18 Februari 2016

Aku Hamil "PSYCHO" Intermezzo

Dooook.. tolong dok, selamatkan isteri saya!! Pria muda berdandan parlente itu terlihat panik, mengikuti laju brankar (tempat tidur pasien) yang membawa isterinya yang sedang hamil menuju instalasi gawat darurat.
Dokter mendekat, lalu memanggil-manggil wanita hamil itu. Bu.. bu.. bangun bu.. namanya siapa? bu... buuuu...
Dokter dengan cepat memeriksa ini itu, kemudian berteriak, memanggil semua perawat untuk membantunya. Seketika para perawat datang membawa berbagai peralatan. Ada alat yang ditempatkan di hidung, ada yang membawa infus, layar monitor, dan sang dokter menempelkan alat itu. Ah, ya, yang aku tahu, itu alat untuk memacu jantung. Apakah berarti wanita itu hampir ma...ti...

Selama kurang lebih 15 menit, aku menunggu di luar ruangan, lalu sang dokter keluar dan mengumumkan bahwa si wanita hamil 8 bulan telah meninggal, beserta bayinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasakan kesedihan yang mendalam. Wanita yang paling kucintai telah meninggal dunia. Wanita itu adalah ibuku.

Setidaknya itulah panggilanku kepadanya. IBU. Dia adalah wanita cantik dan cerdas. Dialah yang mengasuhku sejak aku bayi karena ayah kandungku meninggal. Begitulah kira-kira cerita tentang hidupku yang aku percaya, entah kenyataannya benar atau tidak.
Ibuku meyakinkanku untuk percaya bahwa aku adalah korban dari perbuatannya, sehingga dia menebus kesalahan dengan mengasuhku, menjadi ibu angkatku.

Dari ceritanya, aku dikatakan anak seorang pejabat negara. Pejabat yang terlibat skandal politik besar yang melibatkan ibu angkatku ini. Ibu angkatku berperan "menawarkan solusi" dengan berpura-pura sebagai tangan kanan pemimpin negeri. Dia berhasil membuat ayah kandungku terlalu mempercayai dan mencintainya, hingga ayah sadar dirinya ditipu dan meninggal ditangan musuh politiknya. Ibu angkatku berhasil menjalankan misinya, tetapi dia menyesalinya. Lalu aku yang masih 8 bulan diasuh dan tinggal bersamanya. Kala itu usianya masih muda, 27 tahun.

Dia menikah 5 tahun kemudian dengan seorang pria 'biasa'. Lalu, di usianya yang ke-34, dia meninggal saat hamil, meninggal bersama bayinya. Kematian yang mendadak, yang belakangan aku paham bahwa ibu angkatku mengalami HELLP SYNDROME, sebuah peristiwa patologis dan gawat dari suatu kondisi fisiologis, yaitu kehamilan.

Mulai detik itu, saat aku berhasil memahami apa yang dialami ibu angkatku yang meregang nyawa di usianya yang muda, sebuah pemahaman mengakar. Betapa besar perjuangan seorang wanita, hamil lalu melahirkan. Perjuangan antara hidup dan mati. Meski hamil adalah sebuah peristiwa wajar (fisiologis), tetapi ada risiko menjadi abnormal (patologis).

Lantas aku berjanji, untuk selalu mencintai ibu kandungku, yang menurut cerita, meninggal setelah melahirkanku. Meski aku tidak ingat siapa namanya, aku akan selalu mendoakan dia. Bukankah Tuhan menerima doa anak sholeh kepada orang tuanya?

Aku selalu merasa hamil itu keren, kuat. Sangat kuat. Namun juga rentan. Orang hamil membutuhkan dukungan orang- orang disekitarnya. Terutama orang yang dicintainya.

Pesanku untukmu Rendra. Jika aku lebih dulu mati, aku ingin kau selamanya mengingatku setiap melihat anak-anak kita. Mengingat seorang wanita yang rela membawa janin 9 bulan dirahimnya, rela melahirkan dengan pertaruhan nyawa. Aku rela karena aku yakin kamu pantas menjadi ayah dari anakku. Inilah yang bisa kulakukan sebagai bukti cintaku kepadamu.
Terimakasih Rendra, telah selalu mendukung dan melindungiku disaat aku hamil. Aku kadang takut, tetapi aku menjadi kuat karena kamu.

Dan hari ini, 30 Oktober, H-1 hari kelahiran putri kita, anak kedua kita. Aku tuliskan isi hati ini. Besok aku siap. Semoga Tuhan melancarkan segalanya.

--Bersambung--

Minggu, 07 Februari 2016

Bukan Sianida

Minggu siang, sehabis kondangan, saya bersama 2 teman sengaja tidak makan berlebihan biar di lambung masih tersisa banyak tempat untuk wisata kuliner.

Siang itu di jogja, kota yang magnetis (terbukti banyak orang dari luar kota dan bule juga berwisata ke kota ini) ditambah hujan gerimis, ah jadi romantis, kami mengendarai 2 motor, menyapu jalanan kota. Dengan di bantu sobat saya yang bisa meramal, sebut saja waze, kami mencari sebuah tempat nongkrong asik, juga sehat, bertajuk 'fruit bar'.

Kira- kira pukul 14:00 kami sampai di tempat kejadian. Kenapa disebut tempat kejadian? Karena disini ada kejadian menarik...

Kami masuk disambut pramusaji, disodori menu sebelum sampai tempat duduk. Sekilas teman saya, sebut saja N melirik ke meja kasir.

Kami bertiga duduk di sebuah meja (tinggal 2 meja tersisa). Perlu saya terangkan disini, tidak ada adegan seseorang diantara kami yang melihat2 atas seperti berusaha mencari cctv. Tidak ada adegan pilih tempat duduk dengan pertimbangan 'karena paling jauh dari cctv'. Kami bertiga duduk begitu saja. Melepas jaket dan menaruh tas. Sebagai catatan, kami meletakkan tas di kursi, bukan meja.

Lalu kami bertiga mulai melihat menu. Ada 2 daftar menu, karena sebelumnya, saya yg masuk pertama disodori menu oleh si mbak2 pramusaji, dan teman saya yg satunya, berinisial T, meminta satu daftar menu lagi, mungkin pikirnya ini langkah yang efisien. Awalnya saya tidak punya pikiran apa-apa, hanya mengira teman saya ini cukup cerdas (cantik, badan model, dan cerdas). Mungkin juga dia sering hangout rame2 sehingga dia tahu apa yang harus dilakukan.

Oke, kembali ke adegan saat kami sudah di meja. Seseorang dari kami mulai ribut, yaitu si N, merasa bahwa tempat duduk kami kurang cozy, tidak valuable, terlalu pojok, atau apalah. Dia ribut sendiri (karena tidak pegang daftar menu sendiri), mengajak kami pindah, setidaknya memutari cafe, untuk mencari tempat kosong lain, dan memastikan bahwa ada tempat lain yg lebih layak ditongkrongin. Sementara itu saya dan T tidak menjawab, sibuk melihat2 menu.

Setelah N puas ribut sendiri tapi tidak dijawab, dia meminta daftar menu saya, dimana saya belum memilih satu menu pun. Fine. Saya kasihkan sambil sedikit ngambek. Sementara si T dengan cepat memilih menu. Hmm,, sepertinya dia sudah sangat terbiasa disini, ah tidak, dia juga belum pernah tahu tempat ini.

Tidak sampai 10menit kami selesai memilih menu. Lalu dengan cekatan si T bilang, sini aku aja (menawarkan diri untuk membawa si menu dan daftar pesanan ke kasir). Tetapi dengan sigap si N menyela, eh, biar D aja yang kekasir. Dan rencana si T gagal. RENCANA? R-E-N-C-A-N-A?? Memangnya si T merencanakan apa?? Nanti, deh, sabar, perlahan-lahan akan terkuak.

--Bersambung aah, mo naek kereta soalnya--


Jumat, 29 Januari 2016

Blind Date

Ah, berapa kali harus kubilang, aku lagi males, lagi ga mood tauk! tapi kamu selalu sewot, dan nyuruh aku nulis dalam kondisi apapun. Mau lagi ga mood, lagi galau, lagi happy, kamu tetep nyuruh aku nulis. Dan tiap kali begitu, kamu pasti sukses ngebuat aku ngambek tapi tetep nulis.
Tapi, kali ini beda... Kali ini aku tahu maksudmu memintaku begitu.
Ahh, aku happy. Makasih deh buat kamu. Aku jadi ga sabar buat cerita ke orang-orang.
Begini ceritanya.....

Malam itu malam minggu. Malamku waktu itu, sama kayak malam kebanyakan cowok cewek seusiaku. Malam yang romantis.

Aku duduk didepan sebuah meja bundar, sendiri, menunggu dia. Sesekali aku ngelirik jam tangan.

'Dasar si tukang ngaret! Plis ini udah sejam!'

Badan sama mata udah mau nyerah, gegara abis les vokal lanjut les nari sore tadi, dia ga datang-datang.
Dan pas waktunya datang, dia pasang tampang seolah-olah ga punya dosa.

"Hey dah lama Ta? makanya lain kali kalo datang ga usah buru2, nyante dikit lah" astaga kalimat yang keluar dari mulutnya.

Rasanya udah pengen jejalin sendok garpu dan seperangkat alat masak ke mulutnya, kalo ga inget dia ketua murid, ketua klub basket, murid teladan, dicintai semua guru, dan semua emak2 didunia.

"Ya uda cus aja, mo ngapain?" aku udah ga betah sama bau keringat mix deodoran, ditambah bau tanah dan celana basah. 'kayak gini murid teladan?'

Dia nyodorin sebuah kertas. "katanya kamu jago musik. Aku nemuin ini waktu bersih2 ruangan bekas kelas musik. Bisa baca ini?"

Kertas itu berisi not2 balok ditulis rapi.

"Ngapain kamu beres2 ruang angker itu?"

"Mau aku fungsiin, anak basket ga punya tempat nongkrong, masak cuman punya lapangan."

Emang kan butuhnya lapangan doank, batinku. "Ini si ga ada yang spesial, not balok kayak gini anak ekskul tingkat tiga juga bisa."

"Kalo not balok ditambah surat ini gimana?"

Dia ngasih satu kertas lagi, kertasnya jadul banget, tulisannya tegak bersambung, kecil2, seperti tulisan wanita. Tapi bukan bahasa Indonesia, ini bahasa Prancis.

"Aku ga tahu maksudnya, mungkin kamu bisa cari tahu apa ini. Udah lama aku pingin nyingkirin stigma kalo kelas itu berhantu, makanya mau kugunain lagi. Dan aku nemuin itu di dalam piano usang, terselip diantara tuts piano. Sapa tahu dengan itu jadi tahu sejarahnya kenapa kelas itu ditutup dan ngilangin rumor yang sekarang."

Hmm..

"Aku tahu kegiatanmu banyak, ga cuma diskolah, dluar skolah, les ini itu. Tapi, aku ga buru-buru. Pas senggangmu aja."

Mmm..

"Tolong ya."

Tiba-tiba aku liat jelas matanya. Aah, manis juga.

"Oke, aku traktir minum deh, mo pesen apa?" kata dia.

helloww, aku udah pesen minum 2 gelas plus 2 kali bolak balik kamar mandi, gegara nungguin elu kali!! "Cappucino aja, makasih."

Menit-menit berikutnya aku habisin ngobrol basa basi kenalan sama dia. Nyambung juga. Walo agak aneh. Dia selalu punya pikiran unik tentang lingkungannya entah guru, kelas, teman2, sampai tata cara upacara.

"Eh, udah jam 8 nih, aku ga boleh pulang malem2, sampe ketemu lagi. Pamit." 2 jari dia lambaikan didepan dahinya.

Cool..

Wait2, ngga jadi cool! Dia ninggalin aku?! aku disuruh pulang sendiri?! malem2?! aku cewek!! dan siapa yang ngundang dan siapa yang telat.

CORET!! Tanda silang besar aku kasih di atas namanya. Dia di coret dari list. Bukan cowok.

Tapi, aku ga harus sering ketemu dia kan? cuma sekali lagi pas aku udah bisa ngasih dia analisaku kan.

Tapi, kenapa aku nyesek ya, kalo cuma ketemu skali lagi. Eh plis, engga!! engga boleh ada pikiran apa2. Kudu setrong! Inget bau kringetnya, inget celana basahnya, baunya emang tahan?!

Malam itu, aku sampai rumah, mau tidur, tapi ga bisa. Uugh, gegara bibi libur nih batalnya ga da yang nyuci, bau!! jadi ga bisa tidur.

Bantalnya aku lempar, udahlah ga usah pake bantal. Tapi, aku ga bisa tidur kalo ga pake bantal, huhh. Ya udah bantalnya kuambil lagi kusemprot parfum.

Aku nyoba ngrebahin diri lagi. Pandanganku nerawang ke langit-langit kamar. 'Aku ini kenapa si? sesuatu diperut dan dadaku, ngeganjel, nyesek.'

Apa mungkin ini rindu? Rindu bau dan mata itu.. Hmm..

Tetiba aku inget kamu. Dan aku turuti nasehatmu. Aku bangkit, duduk di meja belajar dan nulis.

--Bersambung--






Jumat, 22 Januari 2016

Paradoks Psycho #5 episode terakhir session 1

Dorr..dorr..dorr..

Ada yang menembaki mobil kami dari belakang. Aku menunduk menghindar. Mencari celah untuk bisa mengambil *fanny*ku dan balik menembak mereka. Terjadi baku tembak selama 3 menit, Bobby berhasil menembak ban mobil mereka, menghambat laju mereka sementara.

Kendaraan lain masih mengejar kami dari belakang, kali ini truk tronton dengan ban-ban besar. Dan muncul satu mobil lagi dari kanan saat kami lewati pertigaan.

Hujan peluru menyerang kami. Robby dengan sigap meliak-liukkan mobil, menghindari serangan. Jalanan cukup sepi karena ini tengah malam.

Kami mulai terjepit, Robby mendadak membelok ke gang sempit. Mobil besar tidak bisa mengejar, mobil kecil masih di belakang, cukup dekat dengan kami.
 
Seketika aku punya ide. "Robby berhenti!! "what?!" "Berhenti, ini perintah!!"
"Heey, Rana diamlah, ikuti saja kami, kami agen profesional" Celetuk Bobby sambil masih menembak.

"Mereka ingin file yang kubawa, mereka menginginkan aku. Aku harus turun."

"Rana, misi kami melindungimu, kamu harus menuruti kami!!" Robby membentakku.

"Baiklah kalau kalian bersikeras begitu!" Aku membuka pintu mobil yang masih melaju. "Apa yang kamu laku......kan"

Bluk, bluk, bluk.. aku menjatuhkan diri ke jalan dan berguling beberapa kali. Aih sakit!! Lalu bangkit, berdiri di tengah jalan untuk menghentikan si pengejar sambil memberi isyarat tangan tanda menyerah. Mereka menghentikan mobil, sementara Robby-Bobby tetap melajukan mobil dan menjauh.

Mereka turun dari mobil sambil masih menodongkan pistol. Aku mengambil pistolku dan meletakkannya ke jalan. Tanganku yang satu masih terangkat ke atas.

Mereka menggunakan baju serba hitam.

"Aku tahu yang kalian inginkan, ini." Kusodorkan tangan kananku yang menggenggam disk berisi file. Salah seorang perlahan mendekat. Dia sudah dihadapanku, sangat dekat sekarang, pistol di tangan kanannya teracung ke wajahku. Tangan kirinya meraih tanganku, dan.. sraat.. Pisauku berhasil memotong nadinya, "aargh" dia mengaduh, sikuku mendorong dagunya keatas. Kurebut pistolnya, dan mengunci tangannya kebelakang. Tubuhnya kuhadapkan kedepanku untuk melindungi tubuhku sendiri. Pistolnya kuacungkan ke dahinya. Aku menyandera dia. 15 detik secara keseluruhan. 'Mas Rendra aku cukup cepat kan'.

Tiba-tiba muncul dua orang pengendara truk. 'Sial!!' Sedetik kemudian.. Dorr, salah satu pengendara truk turun dan langsung menembak sanderaku. Mati. Begitu cepat. Sekejap.

Kini hanya aku, sendiri, melawan tiga mafia ini.

Pistol diacungkan kearahku. Dorr..dorr.. aku menghindar. Mereka berdua sangat agresif. Aku lari, sambil sesekali menembak.

Dan.. "Aarghh" betis kananku tertembak. Aku terjatuh, mereka mendekat, semakin dekat. Aku terjepit...
Oh Tuhan, aku akan mati... 'ayoo, bagunlah, kamu cuma mimpi,, banguun...'
Lalu.....

DOR!! DOR!! DOR!!
Tiga tembakan, masing-masing tepat dipunggung kiri menembus jantung mereka. Robby, bukan... Bobby, telah berada di belakang kami dan menembak mati ketiga mafia dengan sekali tembakan.

"Briliant!!" Komentarku sebagai tanda terimakasih.
"Gila!! Kamu bisa mati!!" Teriak Bobby
"Trimakasih." Kutangkap ucapannya sebagai pujian.

Kami melanjutkan perjalanan..

. . . . .

Sampailah kami ditempat, yang katanya, mas Rendra berada.
Dan benar. Dia disana duduk dengan beberapa orang mengelilingi meja. Mereka sedang berdiskusi. Tapi, lengannyaa....

Satu lengan mas Rendra digips dan digendong dengan armsling.

"Patah, saat meloloskan diri, dia melompat dari gedung 10 lantai, gila." Robby menjelaskan.
"Iya kalian suami isteri sama gilanya." Komentar Bobby.

. . . . .

Hampir 5 hari mereka menerjemahkannya. File yang aku bawa, rupanya berisi kode-kode, komunikasi mafia yang disadap. Isinya kurang lebih seputar perdagangan gelap, ilegal, bebas pajak, dan narkoba. Salah satu file yang membuatku tertarik adalah 140116. Rupanya itu siasat, sebenarnya intelijen sudah tahu, akan ada teror berkedok bisnis dari mafia. Peringatan mafia kepada pemerintah yang sudah tidak mau bekerja sama dengan mereka dan ingin menjalankan ekonomi negara dengan bersih. Intelijen ingin membangun kesan bahwa seolah mafia berhasil, pemerintah kecolongan. Padahal pemerintah sudah berhasil memecahkan semua kode komunikasi mereka, termasuk mengantisipasi hal ini. Jadi teringat coventry conundrum world war II.

"Terimakasih Rana, telah membawa filenya dengan utuh. Saat Rendra berangkat dari rumah kalian, file belum selesai terdownload. Rendra sengaja meninggalkan file itu dan memproteknya. Berharap kau bisa meneruskan mendownload. Rendra pergi untuk mengecoh perhatian mafia yang membuntutinya. Dia berhasil memecah fokus dan menjadikan dirinya target. Berhasil lolos dengan sedikit luka. Dan kamu dengan sedikit luka pula berhasil membawa file itu kesini. Bagaiman kakimu pagi ini? Perawat kami jago kan?" Dia lelaki paruh baya, pemimpin misi ini, bos Rendra.

"Kamu cukup cerdas memilih orang kepercayaan." Jawabku sambil tersipu.

"Wah, aku suka gayamu. Kamu taksalah pilih Ren." Kulihat mas Rendra hanya tersenyum menunduk. Ada sesuatu lain yang dia rasakan.

. . . . .

Pagi berikutnya, aku sudah bersiap, menjemput Ryan. Mas Rendra tidak ikut. Tetapi mereka mempersiapkan beberapa orang untuk melindungiku. Kali ini, bukan Robby, atau Bobby.

Aku masuk ke mobil. Hanya aku dan sopir. Dan... seseorang...

"Psst, diam. Ayo, jalan." Dia duduk disebelahku dan berkata singkat.

Di perjalanan.. "Rana, kembalikan ysng kamu ambil." Aku hanya terdiam. Orang ini tahu bahwa semalam aku telah mencuri aplikasi peretas mereka. Alat penting yang mereka gunakan untuk memecahkan kode mafia.
"Aku tahu semalam kamu mengambilnya. Siapa bosmu? Mafia besar lainnyakah?" Dia menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan lembut, sayang.
"Rupanya aku takpernah benar-benar mengenalmu, kau punya banyak rahasia."
"Dek Rana, aku dan teman-temanku akan membantumu keluar dari masalah ini. Kamu percaya padaku, aku bisa membantumu."

Otot wajahku mengeras "Tidak, aku akan menyelesaikan masalahku sendiri." Htiku perih. "Berhenti!" Sopir menuruti perintahku.

Aku keluar mobil, dia mengikutiku. "Rana..."

Dorr.. aku menembaknya, tepat diperut. Tanpa ragu.
Aku baru saja... menembak.... suamiku, Rendra.

Aku berlari.. dan...

Sekawanan agen mengepungku, semua menodongkan pistol ke arahku.

"Menyerahlah, kami telah mengepungmu...."

. . . . .

Sekarang aku tinggal disini, di ruang 2x3 ini, sudah 6 bulan. Aku, wanita berusia 33 tahun. Inisialku PSY. Nama alias Rana Khairunia, dr., Sp.KJ. Aku mengandung anak keduaku, usia kehamilan 33 minggu.
Hari ini, aku terduduk di sini, menulis cerita hidupku dan menunggu hari eksekusi.

Enam bulan lalu, saat aku mencuri dari mereka, aku diinterogasi. Aku diam, mereka tidak mendapat satu klu pun dariku. Aku diberi pilihan, memihak mereka atau mati. Aku lebih memilih mati.

Dan disinilah nantinya, hidupku akan berakhir. Di penjara mafia ini. Aku akan dieksekusi pasca melahirkan anak keduaku. Itu permintaanku, dan permintaan lelaki yang kucintai. Mungkin, dihari eksekusi nanti,  tidak akan ada yang melayat, karena aku takpunya keluargaku. Kecuali dia, yang kucinta.

Aku bersyukur pernah menemui dia. Lelaki yang sangat kucintai. Rendra. Mungkin sekarang dia sudah tidak mencintaiku, tetapi aku tetap mencintainya. Aku taksanggup membunuhnya, hanya membuatnya berbaring koma selama 1 bulan.

Telah kutuliskan kisahku dengannya dan kusimpan dalam sebuah folder. Kenangan yang indah bersamanya. Bagi orang yang masih peduli denganku_ memangnya ada? ah, mungkin tidak ada_ akan kuberi kode untuk membukanya. Sebenarnya aku ingi  passwordnya hanya inisialku PSY, tapi aku dipaksa menulis 6 huruf. PSYCHO agar mudah diingat.

Ah, hari itu semakin dekat saja. Hari terakhir aku bisa melihat dia. Rendra. Kecuali.. takdir berkata lain.
Aku sedikit berharap gadis itu menyelamatkanku. Seperti diriku yang membebaskan dia dari penjara.
Aku ingin dia membantuku, agar tidak kehilangan Rendra.

Aku menunggumu, Sarra......

--END-- Session I