Jari-jari lentikku terlalu sibuk memencet keyboard laptop. Memaksaku membuat tugas essay dari guru yang cukup menyiksa. 'Aku tidak suka menulis. Oh, ayolah ini segera berakhir'. Aku stagnan dan baru dapat satu paragraf awal. Hmm.. tak ada ide.
Aku masih terus mengetik, sebenarnya pura-pura mengetik, karena ada yang lebih menarik disimak. Siang ini gadis cantik, berambut lurus sebahu, bernama Sonya menginterogasi seorang teman prianya.
"Kau kan yang ngasih surat, coklat sama bunga di mejaq. Udah deh ga usah sok misterius, ngaku aja."
Dan si pria langsung mengangguk. Kini si gadis malah semakin bingung. Mukanya tertekuk.
Ini adalah kali ketiga dia menanyai teman prianya satu persatu. Lebih tepatnya memaksa si pria mengaku. Terang saja semua pria itu malah jadi mengaku sebagai 'pria misterius penggemar si gadis.' Aku tak sengaja mengikuti cerita ini, karena Sonya selalu memilih tempat yang sama saat menginterogasi. Perpustakaan. Tepat 2 meja arah jam 9 dari tempatku (selalu) berada.
Sonya ternyata juga menyadari keberadaanku, karena setelah si pria ketiga pergi dia mendekati mejaku. "Siapa namamu?" tanyanya ketus.
"Rana."
"Jangan ceritakan ke siapa-siapa ya. Terutama teman2q. Jangan sampai mereka tahu, mereka tidak membantu. Sepertinya kau bisa dipercaya. Kalau teman2q sampai tahu, awas kau. Kutandai kau ya."
Aku hanya mengangguk. Dia sudah beringsut sambil mengibaskan rambutnya yg hitam mengkilat dan lembut. Tetiba aku ingin menyampaikan ini, kepadanya:
"Hey, namamu Sonya kan? Pria kedua. Dia adalah pria misteriusmu."
Dia tertegun sejenak "Kau serius? Darimana kau tahu.. Jangan2 kau bersekongkol dengannya untuk menjebakq?! Bisa kau buktikan?! hee!"
"Yaaah, hanya jika kau percaya padaku. Cari tahu sendiri kalau kau tidak percaya."
. . . . .
Dua minggu kemudian, aku masih di meja yang sama. Kali ini mengerjakan r-e-v-i-s-i essay. hmmmff.. Oh God, sampai kapan ini akan berakhir..
Aku sedang sibuk2nya, ngebut 5 paragraf terakhir essay. Dua hari lalu sudah kubuang jauh2 idealismeku, dan membuat essay sesuai "selera" guruku.
Lalu...
"Heey,, Rana.. Gokil lho!!"
Si Sonya berteriak didepanku, wajahnya bersinar girang. Dan cantik. "Anyway, thanks ya.. berkat saran kau, sekarang aq jadian sama Indra. Gokil kau bisa tebak dengan benar. Kok bisa c? Aq tanya Indra dia ga kenal samsek sama kau. Jangan-jangan kau yg kepoin Indra ya? penggemar beratnya ya.. haaa!!?
Mmm... apa jangan2 kau ini.. cenayang??? kasih tahu rahasianya? kamu kepoin aku ya?
Wait.. wait.. plis.. jangan bilang kamu punya kemampuan aneh itu. Tunggu dulu.. mereka nyebutnya apa.. I.N.D.I.G.O??"
. . . . .
Berita mengenai aku dan dugaan aku indigo tersebar luas. Gara2 si cantik Sonya. Awalnya aku tidak terima. Beberapa teman agak menjauhiku. Bahkan ada yang sengaja menghindar tatapan muka jika bertemu. Hanya Kania satu2nya orang yang kupercaya.
"... aku tetep nggak percaya Ran, apapun kata mereka. Kamu bisa tetap mengandalkanku dan mempercayaiku."
"Iya Kan, makasih." (makasih sudah mau mempercayaiku, meskipun perkataan Sonya ada benarnya).
. . . . .
Aku memang tidak sepenuhnya jujur, aku tidak sekedar menebak pria misteriusnya Sonya, seperti ceritaku kepada teman2.
Aku diam2 melakukan riset, tanpa Sonya tahu, hanya dengan duduk didepan laptopku dan mendengarkan percakapan dia dg ketiga prianya. Aku "membaca" mereka.
Hal serupa juga kulakukan kepada guru Bahasa Indonesiaku, terkait essay.
Aku menyelidiki kecil2an kebiasaannya. Trauma di masa lalunya. Dia seorang guru, single parent, penikmat musik jazz, hobby memasak, dan penyuka traveling.
Cukup mudah membuatnya tersentuh jika aku mengambil essay yang beririsan dengan pengalaman hidupnya. 'Pengkhianatan dalam sebuah hubungan rumah tangga.' Kurang lebih begitu temanya. Setidaknya itu yang dia percaya. Dia (merasa) sebagai korban. Dia trauma. Peristiwa itu mengubahnya menjadi pribadi yg tidak mudah percaya kepada orang. Hmm.. cerita yang merefleksikan diri si pembaca mungkin akan menyentuh di awal tetapi ujungnya akan menjadi sulit diselesaikan.
Bisa2 aku diajaknya berlama2 menulis essay ini, hanya untuk memuaskan perspektifnya, mencari pembenaran atas keputusan dirinya, menjadi tempat curhatnya atau apalah.
Akhirnya kuputuskan mengganti topik essay menjadi "traveling". Traveling adalah obat saat ia bersedih.
Sonya benar soal aku punya kemampuan berbeda. Jelas bukan indigo. Sebenarnya aku tidak tahu apa namanya, pokoknya aku mudah "membaca" orang.
Aku adalah salah satu dari 7 murid di sekolah yang tidak pernah mengikuti remedial. Sejak pertama masuk, sampai kelas 3 semester 1 ini. Aku selalu menggunakan strategi "probabilitas". Asal sekolah masih menggunakan "standar deviasi" dalam menyaring siswanya yang remedial.
Untuk bisa lolos dari remedial aku harus menjadi salah satu dari 33% siswa dengan nilai tertinggi. Dari soal2 yang meragukan aku harus menargetkan 60-70% jawabanku kira2 sama dengan jawaban terbanyak teman2ku. Tentunya selama sekolah aku sudah mengetahui karakter dan pola pikir mereka. Dengan asumsi 30% dari mereka menjawab soal secara random.
Selain itu, untuk lulus ujiam, aku harus tahu hal2 penting tentang guruku. Aku harus tahu apa yang mereka sukai. Asal mereka menjadi penilai ujianku, dipastikan aku (selalu) lulus ujian.
Dan mereka yang tidak menyadari tipuanku, akan bilang bahwa aku pintar.
. . . . .
Selama satu bulan rumor itu tersebar, dan pada bulan2 berikutnya, aku menjadi kebanjiran klien. Ada yang meminta saranku bagaimana cara menang lomba essay dimana jurinya adalah wali kelasku, ada yang ingin saran lulus setiap ujian, tetapi sebagian besar meminta saranku tentang masalah cinta, memahami pasangannya. Zzzzz.. Sulit.
Bahkan di suatu siang, saat aku sudah selesai mengemasi laptopku dan bergegas pulang. Seorang guru Bahasa Inggris menghampiriku.
"Rana, bisakah kali ini aku menikah dengannya?" kata si guru yang sudah berusia.. ehm.. hampir kepala 4, sambil menyodorkan foto seorang lelaki kepadaku.
Atau pengalaman ekstrim lain. Seorang adek kelas, super atletis, flower boy, anak mama mendatangiku. "Bisakah kau beri tahu aku kak, apa yang disukai gebetanku ini, aku ingin memberinya kejutan."
"....siapa namanya?"
Daaan.. dia menunjuk.. aku." zzzzzzzzzzzzz.....
. . . . .
Di usiaku yang ke 22 aku bertemu dengannya.
Awal pertemuan adalah di tempat yang sangat tidak romantis. Angkringan.
Petang itu gerimis, aku pulang kuliah. Lapar.. Aku mampir disebuah angkringan. Ibu pedagang baru saja membuka dagangannya.
Aku mengambil (beberapa) bungkus nasi, lauk, memesan susu coklat hangat untuk dibawa pulang. Sialnya si ibu lupa membawa gula. Dia pamit membeli gula, duh aku keburu lapar. Mana gerimis lagi.
Ditengah2 kelaparan, aku melihat dia. Tegap, gagah, tinggi, berbaju necis. Hhaha.. aku sempat berpikir, masnya salah kostum untuk ukuran makan (hanya) di angkringan.
Selama sekian menit perut kosong plus pikiran ikut kosong, imajinasiku masih tertuju pada pria necis itu. Tetiba aku ingat perkataan Kania. "Kalo kamu liat pria necis di angkringan kemungkinannya cuma 3: pegawai yg lagi ngirit, penagih utang, atau intelijen." Hhaha.. aku makin geli membayangkan kemungkinan ketiga. Pria begini, datang ke angkringan yang sangat biasa begini, mau cari2 informasi rahasia?
Duuh, ibunya lama sekali. Aku keburu lapar. Kuputuskan makan di tempat. Saat bungkus kedua aku buka, pria muda itu membuka percakapan dengan bapak disebelahnya. Seorang pria yang kutebak sebagai tukang ojek atau tukang becak. Si pria muda bertanya acak. Yang bisa kusimpulkan mereka sudah kenal lama.
Aku mulai mengikuti alur pembicaraan mereka. Acak, sangat acak pertanyaan si pria muda ini. Bungkus nasi ketiga aku buka dan kembali aku mendengarnya.. dia menyebut angka2.. tahun.. Si pria membuatnya seolah membicarakan tentang tahun, tetapi anehnya angka2 itu berpola. Iseng aku ambil hape, browsing kode2 kepolisian/ militer. Tapi tidak membantu.
20 menit disitu dan aku tahu si pria muda adalah semacam intelijen. Si tukang ojek adalah informan. Dan si pemilik angkringan adalah informan lainnya. Wow. Angkringan ini tiba2 menjadi sangat menarik.
Bulan berikutnya aku sering menyambangi angkringan itu, dan dimulailah perkenalanku dengan si pria muda.
Dan segala hal takdinyana yang menimpaku setelahnya, memaksaku untuk (harus) semakin mengenalnya.
Dialah Rendra.
FLASHBACK SELESAI...
. . . . .
Rendra datang ke kamar berjeruji besi tempat tinggalku selama hampir 10 bulan ini. Di malam sebelum hari eksekusiku, Sebulan pasca aku melahirkan anak keduaku.
Tap..tap..tap..
Suara derap langkah bersepatu memecah keheningan, membuyarkan keteganganku membayangkan hari eksekusi.
Rendra datang. "Rana, aku minta bantuanmu. Jika kamu bisa membantu (kami). Kamu akan dibebaskan dari hukuman."
Aku terdiam.
Rendra melanjutkan. "Aku membutuhkan kemampuanmu. Tolong (kami) mencari tahu siapa mata-mata di sini. Siapa pengkhianat yang berani bercokol di bawah hidung pemerintah ini."
Hmmm... Aku tahu. Aku sudah mencium kebusukan ini. Aku tahu sebenarnya keberadaan Rendra terancam akan hal ini.
Aku masih terdiam. Tatapan Rendra yang dalam, memaksaku mengingat kenangan kami.
Lalu, aku mengangguk perlahan.
Bersambung